Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen | Percakapan di Akhir Malam

28 November 2018   16:32 Diperbarui: 28 November 2018   16:58 351
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak, terdengar suara Maut menjawabnya entah dari mana. Suara tanpa tubuh. Adam membatin, apa suara itu hanya dalam benaknya?

Aku sedang mengingatkanmu. Lihatlah.

Adam melayang. Di bawahnya tampak suatu ruangan yang tak asing. Karpet coklat bermotif bunga-bunga merah. Dua buah sofa beludru hitam, satu panjang dan satu pendek. Di atas sofa panjang duduk sepasang pria dan wanita paruh baya. Ayah dan Ibu, batin Adam. Di sofa kecil tampak seorang pria muda berseragam putih-abu. Adam pun tahu siapa itu. 

Ketiga sosok itu bercakap, mulut-mulut bergerak tanpa suara. Adam tak perlu mendengar untuk tahu apa yang mereka cakapkan. Ini adalah adegan hidup yang terpatri dalam benaknya, salah satu yang tak henti-hentinya ia sesali.

"...jangan di sana. Itu hobimu, nak. Pendidikan itu untuk penghasilan, makan-minum mu. Jika kau lanjutkan niatmu ini akan jadi apa kau nanti?" kata ayahnya di bawah sana.

"Bapakmu benar nak. Kau memang berbakat melukis, tapi berapa penghasilan seorang pelukis? Kau bermimpi menjadi Piccaso tapi berapa pelukis yang mampu menjadinya? Satu dari seribu? Ibu yakin lebih sedikit dari itu. 

"Hidupmu ini bukan perjudian. Kau perlu kepastian untuk dapat makan dan minum. Untuk itu kau perlu pendidikan tinggi, tak bisa kau taruhkan hidupmu dengan cat dan kuas semata," timpal Ibu.

"Adam, kami sudah mulai tua dan kau anak kami satu-satunya. Kami tak ingin menghabiskan penantian ajal sambil memikirkanmu, mengkhawatirkan apa yang akan kau makan esok hari. Demi ketenangan orang tuamu ini, menurutlah."

Inilah detik-detik Adam memutuskan mengubur kuas. Sebagai gantinya, kau mengambil buku eksakta dan belajar ilmu alam. Ia melukis pemandangan dengan bangunan, menggunakan batu dan beton sebagai catnya. Ia pikir arsitektur adalah ilmu eksakta yang paling menyerupai lukis-melukis. Tapi hatinya tetap memberontak, merindukan kesederhanaan merupa di atas bersihnya kanvas.

Kau lihat? Kau tidak dipaksa untuk mengambil keputusan itu, kata Maut dalam benaknya.

"Tidak terpaksa? Buta kah kau, Maut? Tidak kah kau lihat sedihnya aku membuang kuas itu? Aku hanya setuju demi kebahagiaan Ayah dan Ibu! Tak sedikit pun ini mauku," kata Adam kukuh.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun