Mohon tunggu...
Benny Wirawan
Benny Wirawan Mohon Tunggu... Mahasiswa -

Mahasiswa kedokteran dan blogger sosial-politik. Bisa Anda hubungi di https://www.instagram.com/bennywirawan/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerpen | Perpisahan di Bandara

26 November 2017   20:57 Diperbarui: 26 November 2017   21:33 2643
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senin, 30 Januari. Pukul 17.20.

Mobil baru saja berhenti di zona drop offterminal keberangkatan. Dimas menurunkan koper besar milik Sita, kekasihnya. Berat juga, pikirnya. Memang sudah seharusnya berat sih. Maklum, koper itu berisi baju untuk 90 hari. Di kursi penumpang Sita menggeledah tas ranselnya, pemeriksaan terakhir sebelum menuju tempat baru.

Sambil menunggu Dimas mengeluarkan sebatang rokok. Gudang Garam. Pria punya selera. Sambil ngebul, ia termenung. Ini pertama kali ia akan berpisah dengan sita selama tiga bulan.

Sejak pertama bersama satu setengah tahun lalu mereka selalu sekampus, sekota. Lagi pula, sudah 6 bulan mereka tinggal satu kamar kos, peduli setan kata tetangga dan orang tua. Toh hidup punya mereka berdua.

Sekarang... tiga bulan lamanya mereka tak akan bertemu. Hampir setengah durasi mereka hidup bersama.

Komunikasi pun mereka tak akan bisa. Bagaimana mau komunikasi, Sita dikirim tugas ke pedalaman Papua. Ke tengah hutan, membawa bantuan kemanusiaan. Jangankan sinyal, air bersih saja belum tentu ada.

Dalam dunia yang serba terhubung Dimas sulit membayangkan terputus hubungan selama tiga bulan. Biasanya kabar hanya sejauh smartphone. Tak perlu ditanya bahkan, tinggal periksa story Instagram terbarunya. Sekarang percintaan Dimas dan Sita dibawa ke ranah primitif tanpa sinyal dan handphone.

Sama siapa nanti ia di sana? Apa ada bule ganteng dalam rombongan sukarelawan ini? Terus, apa Sita akan ba-

Hush!

Dimas membuayarkan lamunan galaunya. Kan sudah merokok Gudang Garam? Pria kok galau? Tegar dong!

"Sayang! Yuk, ke terminal! Flightnya sudah mau berangkat nih!" panggil Sita. Ranselnya sudah siap.

"Yee, siapa yang nungguin siapa sih? Kan kamu yang lama ngecekin tas," balas Dimas sambil mencubit pipi kekasihnya.

Dengan sigap ia ambil koper besar Sita. Rokok di tangan kanan dibuangnya di tempat sampah. Kasihan, masih setengah. Tapi lebih baik dari pada didenda karena merokok di smoking free zone.

"Sayang udah siap nih? Barang bawaan udah lengkap?" tanya Dimas sambil berjalan. Kalau ada yang belum masih ada Indomaret bandara, pikirnya.

"Sudah kok. Tadi kan sudah kuperiksa," jawab Sita. "Kamu gimana? Sudah siap ditinggal sebulan? Hahaha!"

"Eh ngeledek ya? Siap lah. Aku hidup-hidup aja sebelum pacaran sama kamu. Ga bakal mati lah ya kalau kamu tinggal!"

Dimas sadar itu tidak sepenuhnya benar. Sebelum Sita, Dimas anak lelaki pingitan. Spesies langka, biasanya anak perempuan yang dipingit. Tapi, apa daya jadi anak lelaki bungsu dengan 3 saudara perempuan. Anak mahal.

Saat hubungannya dengan Sita ditentang, Dimas sudah tak tahan lagi. Ingin bebas. Pendidikan sudah selesai, pekerjaan sudah mapan, maka ia memutuskan untuk pergi saja. Lagi, persetan kata orang.

Kini hubungan dengan keluarganya hanya dipertahankan dengan kakak perempuannya yang ketiga, yang paling sayang padanya. Ayahnya sudah tak mau lagi berhubungan. Ibunya rindu, tapi tak mau bertengkar dengan suaminya.

"Kamu tuh yang bakal ke pedalaman! Coba periksa lagi barangnya! Alat mandi udah lengkap? Deterjen? Camilan? Di sana engga ada toko lho!" balas Dimas.

"Sudah sayaaang! Cerewet amat dah. Yang biasa ngurus kamar kost siapa coba," jawab Sita sambil merajuk manja.

Sita memang wanita mandiri. Sebatang kara, mantan anak panti asuhan. Ia berpendidikan tinggi hanya dari beasiswa dan dermawan sponsor panti asuhannya. Toh sekarang pekerjaannya sama mapannya dengan Dimas, di sebuah LSM kemanusiaan dengan sumber dana berlimpah.

Dimas merangkul kekasihnya itu, gemas. Saking gemasnya koper yang ditariknya sampai terjatuh, membuat orang yang dibelakangnya tersandung. Sita hanya tertawa melihat Dimas rikuh meminta maaf.

Tak terasa mereka tiba di ujung jalan. Gerbang terminal domestik sudah di depan mata. Tinggal satu jam menuju jam keberangkatan.

"Sudah sampai nih," kata Sita. Wajahnya tersenyum, tapi di matanya terlihat berbagai emosi lain. Takut. Sedih.

"Iya, sudah sampai. Kamu baik-baik ya disana." Dimas berusaha tegar. Kalau keduanya galau, mau bagaimana nanti?

Sita menabrakkan diri ke Dimas, memeluknya erat. Dimas pun memeluk balik tak kalah erat. Saling tatap, mata mereka bertemu... diikuti bibir. Mereka berciuman mesra di depan gerbang keberangkatan. Menabung cinta yang tak akan dapat diisi lagi selama tiga bulan.

Jadi tontonan orang? Persetan.

"Kamu baik-baik disana, hati-hati. Jaga kesehatan," kata Dimas penuh emosi.

"Iya sayang. Nanti aku kabari kamu disana. Handphone jangan pernah mati, aku tak tahu kapan bisa plesir ke kota dan dapat sinyal," kata Sita sambil membenamkan wajah ke dada Dimas.

Keduanya tak mau menyebut bahwa akan berpisah tiga bulan. Mungkin jika tidak diucapkan dan didengar semuanya akan terasa lebih mudah.

Rasanya waktu berhenti saat mereka berangkulan, ditonton orang yang lewat. Tapi toh jam terus berputar. Jam keberangkatan kian dekat. Sita melepas pelukannya. Ia mengambil koper dan memperbaiki gantungan ransel. Lalu, ia berjalan ke arah gerbang. Dimas mengikuti di sebelahnya, sama-sama membisu.

Dari dalam gerbang Sita melambaikan tangan. Itulah kontak terakhir untuk tiga bulan. Tanpa kabar. Tanpa telepon. Tanpa surat. Apalagi bertemu, mustahil.

Dimas tak begitu sadar berjalan kembali ke mobilnya. Ia berpikir, apa yang akan dilakukannya di kota ini sendiri tanpa Sita?

Ia pindah ke sini karena Sita. Ini bukan kotanya. Teman ia belum punya. Saudara? Tak usah ditanya. Jika Ayah dan Ibu saja tak mau bersapa, apalagi paman dan bibi? Yang tersisa hanya kerja. Dan hobinya: membaca, menulis.

Ia nyalakan mobil cicilannya. Tangan kiri memasukkan perseneling, tangan kanan merogoh saku. Ia keluarkan sebatang Gudang Garam, menyematkannya di bibir.

Pria tak boleh galau kan?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun