Mohon tunggu...
Benni Indo
Benni Indo Mohon Tunggu... Wartawan -

Orang Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama FEATURED

Yana, Pejuang Pancasila yang Menjaga Buku-buku Kiri

19 Mei 2016   17:40 Diperbarui: 9 Januari 2019   20:42 2974
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagian depan toko buku milik Yana. Dokumentasi penulis

Isu kebangkitan Partai Komunis Indonesia (PKI) belakangan merebak di masyarakat. Pemicunya ketika Kementerian Koordinator Politik, Hukum, dan Hak Asasi Manusia memfasilitasi simposium nasional bertema “Membedah Tragedi 1965, Pendekatan Kesejarahan” di Hotel Aryaduta Jakarta, 18-19 April 2016.

Ketua panitia acara itu tak lain ialah Letnan Jenderal (Purn) Agus Widjojo, putra Pahlawan Revolusi Mayjen (Anumerta) Sutoyo Siswomiharjo. Agus juga menjabat sebagai Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional. Acara itu juga menggandeng Forum Silaturahmi Anak Bangsa.

Pasca berlangsungnya acara itu, banyak orang membicarakan Komunis dan PKI. Ada pro-kontra dari isu itu. Sebagian besar pihak kontra selalu mengaitkan dengan kejahatan PKI. Kejahatan yang dimaksud adalah dicurigainya PKI menjadi dalang pembantaian 10 prajurit TNI yang kemudian mendapat gelar Pahlawan Revolusi.

Sementara yang pro, lebih banyak menyuarakan tentang kemanusiaan dan fakta-fakta sejarah yang menurut mereka dibelenggu selama kediktatoran Soeharto berkuasa selama 32 tahun. Tidak hanya di dunia nyata, dunia maya pun juga ramai oleh isu itu.

Pihak militer langsung bergegas mengambil sikap. Militer ketakutan bukan main. Seakan tidak ada arti latihan fisik yang mereka lakukan selama bertahun-tahun di dunia kemiliteran. Mereka takut pada kebenaran. Pada kenyataan. Pada kejujuran. Bahwa ternyata telah terjadi pelanggaran HAM berat atas hilangnya jutaan nyawa.

Diskusi dibubarkan oleh militer. Nonton bareng sebuah film juga dibubarkan. Orang-orang yang mengenakan atribut Komunis, palu dan arit, serta PKI di tangkap. Kekonyolan yang sangat menggelitik tatkala dua aktivis Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (Aman) Maluku Utara, Adlun Fikri dan Yunus Al Fajri ditangkap karena mengenakan kaos PKI alias Pecinta Kopi Indonesia. Di mana hubungan pecinta kopi dengan komunis? Di mana akal sehat?

Pada Jumat 13 Mei 2016, mereka dibebaskan oleh Kepolisian. Namun keduanya masih dikenai wajib lapor.

Tidak sampai di situ, belakangan juga marak penyitaan buku-buku yang disebut beraliran kiri. Buku-buku bergambar palu arit disita. Buku yang ada judulnya Marxisme, Leninisme, komunis, PKI, G 30 S, diambil paksa. Sebuah tindakan yang tidak terpuji dan tidak patut ditiru ketakutan seperti itu.

Minggu 15 Mei 2016, bersama seorang teman kami jalan-jalan ke toko buku. Sebuah toko kecil yang menjual buku-buku bekas terlihat sepi. Di rak kaca toko itu terpampang buku-buku lawas. Judul-judul bukunya berbau kiri. Mulai dari buku tentang Tan Malaka, Marxisme, Komunis, dan PKI terlihat jelas dari luar kaca.

Tapi yang menarik perhatian saya adalah buku berjudul Hoakiau Indonesia yang ditulis Pramoedya Ananta Toer. Itu karena memang aku adalah pramisme.

Yana (50) adalah pemilik toko itu. Sementara temanku sibuk mencari buku, aku bergegas mengeluarkan kamera dari tas. Kuambil gambar dari beberapa sudut. Setelah itu duduk di depan toko.

Berselang beberapa menit, Yana datang menghampiri. Ia duduk di sebelah kiriku. Jaketnya merah merona berlogo Kota Malang di dada kiri. Rambutnya sebagian putih , kulitnya hitam dan giginya ompong pada bagian depan. Di situlah, perbincangan kemudian dimulai.

“Tidak takut jualan buku seperti itu,” tunjukku pada buku-buku di rak kaca.

Yana tidak melihat ke arahku. Matanya tertuju pada ujung jariku yang menunjuk. Bersamaan dengan itu, segera ia menjawab pertanyaanku.

“Tidak,” jawabnya singkat.

“Kan saat ini sedang ramai penyitaan buku-buku komunis?” kelakarku dengan senyum kecil.

“Buku-buku itu adalah ilmu. Kita tidak bisa tertutup terhadap ilmu,” kata Yana.

Saat Yana berbincang dengan temanku
Saat Yana berbincang dengan temanku
Sejak Yana mengatakan hal itu, aku yakin kalau orang yang duduk di sebelahku itu adalah sosok yang realis. Tidak tertutup pada kebenaran dan hal-hal yang jujur.

Yana pun terus bercerita tentang pengalaman hidupnya. Ternyata ia pernah bekerja di BP7. BP7 ialah Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila. Tugas Yana menanamkan, mendoktrin nilai-nilai Pancasila ke tengah masyarakat. Mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Mulai dari tingkat kelurahan hingga tingkat pejabat daerah.

Tapi di balik itu, menurut cerita yang disampaikan Yana padaku, Yana juga didoktrin. Dicuci otak. Ditanamkan nilai-nilai Pancasila.

“Pancasila benar, PKI salah. Soekarno salah, Soeharto benar,” begitu kata Yana padaku.

Siapa yang pahlawan di hadapan Pancasila?
Siapa yang pahlawan di hadapan Pancasila?
Siapa yang Pahlawan di Hadapan Pancasila?

Di tengah pembicaraannya, beberapa orang singgah di toko. Mereka mencari buku, tapi dari sekitar empat orang yang datang, tidak satu pun yang dapat menemukan buku yang dicari. Tapi Yana terlihat tidak begitu kecewa.

“Kalau buku anak-anak di samping itu, Bu. Biasanya jualan buku bacaan untuk anak,” kata Yana sambil menggunakan jempolnya menunjuk toko di sebelah.

Ia kembali duduk dan melanjutkan cerita. Pasca Soeharto lengser pada 1998, BP7 dibubarkan, Yana pun pensiun dini dari pekerjaannya. Ia lantas memilih berjualan buku di kemudian hari hingga akhirnya bertemu denganku. Yana menyimpan beberapa buku yang sangat langka.

“Inilah beberapa buku yang menjadi propaganda pemerintah terhadap Komunis,” katanya sembari menyodorkan padaku koleksi bukunya yang berjudul Siapa Menabur Angin (G30S-PKI dan Peran Bung Karno).

Bersama buku-buku itu, Yana semakin banyak mengenal ilmu. Ia pun menyadari kalau kebencian yang ditanamkan padanya terhadap PKI dan komunis sangat bermuatan politik. Kepentingan. Tidak berbicara tentang kemanusiaan. Tidak berbicara lagi tentang persahabatan, apalagi ramah tamah. Semuanya tentang pengaruh kekuasaan.

Yana dan buku propganda itu.
Yana dan buku propganda itu.
Aku sangat mengapresiasai Yana. Ia tidak memiliki rasa minder meskipun buku-buku yang ia jual beraliran kiri. Yana yang bersahaja mengajarkan padaku, kalau tidak yang absolute di dunia ini kecuali kematian.

Yana mengerti. Semuanya adalah tentang kepentingan segelintir orang. Kebencian diciptakan hanya untuk alat kekuasaan. Baginya, menjaga nilai Pancasila itu juga berarti menjaga buku-buku yang kaya akan ilmu.

“Kalau TNI mau menyita buku-buku itu, ya silakan,” tegasnya.

Sementara kehidupan sendiri bukanlah untuk Komunis, Kapitalis, atau sebagainya. Kehidupan di dunia ini adalah untuk makhluk hidup. Bagaimana menjaga, bagaimana menyayangi dan bagaimana melindungi.

Mereka semestinya berkaca. Semestinya instropeksi diri. Di tengah keniscayaan terbukanya informasi pada era ini, orang semakin paham. Informasi tidak hanya di buku, tapi juga internet. Maka, penyitaan buku-buku adalah tindakan yang sangat mencederai akal sehat.

Dilatih militer bukan untuk takut pada kebenaran. Bisakah kita hidup saling membenci karena dipaksa membenci? Dilatih disiplin bukan untuk menghilangkan suara nurani!

Kalau negara ini tidak menerima Komunis, bahkan tidak boleh tahu tentang apa itu Komunis, tapi ternyata, Indonesia menjalin kerja sama baik dengan Tiongkok. Negara Komunis. Negara yang memiliki satu partai, yaitu Partai Komunis Cina.

Jika kereta api cepat Jakarta-Bandung dan rencananya akan berlanjut ke Surabaya itu rampung, maka tak lain itu adalah jasa negara Komunis, Tiongkok.

Yana bisa mengerti kenapa begitu Komunis dibenci. Kenapa banyak orang mati hanya karena Komunis. Kenapa orang saling membenci karena Komunis.

Dan aku berbicara di sini bukan lagi tentang ideologi. Jauh lebih bermartabat dari itu adalah tentang kemanusiaan. Mereka yang kehilangan nyawa hanya karena dituduh Komunis. Keluarganya hidup sengsara di negeri sendiri. Bahkan tak boleh memeluk ibu pertiwi.

Bisakah terbayangkan di benak orang waras, ketika ia mengetahui sedetik kemudian dia akan tewas tanpa bisa memiliki peluang berbicara tentang kejujuran. Mereka tewas hanya karena tuduhan, fatalnya tuduhan yang keliru!

Hari itu kami pulang dengan dua buah buku karangan Marx dan buku tentang sebuah cerita gunung berapi yang angker.

“Kau bisa saja berbohong, tapi kejujuran itu keabadian.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun