Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sujiwo Tejo: Seniman Sufi

7 Oktober 2016   12:30 Diperbarui: 7 Oktober 2016   12:42 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apakah itu berkait dengan kemungkinan kehilangan daya hidup, etos kerja, dan kreativitas kita sebagai bangsa?

Sejatinya kita bangsa yang kreatif. Lihatlah anak-anak kita yang telah menemukan energi surya. Anak SMP di berbagai tempat yang memenangi berbagai olimpiade fisika, matematika, dan olimpiade keilmuan lain di tingkat dunia. Atau, bagaimana anak-anak di Pasuruan bisa menjadi nomor satu dalam tanding ilmu pasti. Intinya, banyak potensi di negeri ini, banyak ahli komputer yang tak tertandingi. Etos kerja kita sangat punya, hanya masalahnya etos kerja itu tidak   disebut oleh orang kita sendiri. Karena, kita berkecenderungan lebih gemar menyebut etos kerja orang Jerman, Jepang, Korea.

Seharusnya  kita, juga para guru-guru, bercerita betapa hebat etos kerja para petani Indonesia, yang harus bangun subuh untuk pergi ke sawah dan ketika matahari terbit para istri berdatangan ke sawah membawa sarapan untuk para suami. Bagaimana para nelayan mempunyai ketabahan dan keberanian sangat luar biasa. Meski harga solar melambung tinggi, mereka tetap melaut, meski tangkapan tidak pasti dan bisa saja mati tertelan ombak bersama perahu. Atau, bagaimana pedagang di pasar-pasar tradisional itu pada pagi-pagi buta bergelantungan di mobil bak terbuka. Melanjutkan mimpi di atas tumpukan sayur yang hendak dijual di pasar atau di mana pun. Apakah kita tidak bangga dengan etos kerja sedemikian luar biasa itu? Atau bagaimana para mbok itu dengan barang dagangan di pinggul yang melebihi berat tubuhnya berjalan berkilometer-kilometer demi keuntungan tak seberapa, tetapi semua itu mereka lakukan secara sukacita.

Pokok ceritanya, kita lebih gemar menyebut bangsa lain dari pada melihat diri sendiri. Itulah yang berdampak terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan budaya. Politik kita sudah tak percaya pada para pelakunya, budaya kita sudah tak percaya pada diri sendiri. Secara ekonomi, kita lebih suka mengimpor produk dari mancanegara daripada berproduksi sendiri. Karena untuk memproduksi, biaya dan kendalanya jauh lebih tinggi daripada sekadar mengimpor. Contoh konkret, akhirnya kita mendatangkan film Harry Potter and Deathly Hollow Part 2, padahal masih ada yang mengemplang pajak film. Kenapa kita takut tidak dapat menonton film impor itu? Bukankah masih ada Riri Riza, Hanung Bramantyo, dan sutradara-sutradara bagus yang lain?

Ke manakah kecenderungan hidup kita sebagai bangsa, makin kohesif-integral atau justru makin tak berkepastian?

Ketakberkepastian itu mengemuka, karena kita melupakan spirit sebagai bangsa, sebagaimana dulu Bung Karno mampu menggalang negara-negara Asia-Afrika. Spirit seperti yang ditunjukkan dalam marhaenisme; bukan partainya. Itulah yang kita butuhkan sekarang. Karena sebagaimana kita harapkan, kalau negara tak mampu dan bisa memberikan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, minimal paling tidak memberikan perlindungan, rasa aman, dan keadilan. Tapi sekarang bahkan rasa aman yang paling mendasar pun sudah tak ada. Itu ditunjukkan dengan bukti, agama mayoritas di negeri ini bisa berperilaku seenaknya sebagaimana terlihat dalam kasus Cikeusik. Kalau kepastian rasa aman sudah tidak ada, buat apa kita bernegara?

Apa penyebab semua itu?

Rasa minder itu! Output-nya ketidakpastian. Seperti sistem negara kita yang presidensiil dan parlementer. Kenapa kita tidak kembali ke Pancasila, sila kelima. Siapa tahu dengan begitu kita mempunyai sistem pemerintahan sendiri, karena sistem demokrasi presidensiil dan parlementer tidak cocok bagi sistem demokrasi kita. Meski bukan berarti kita kembali ke sistem musyawarah mufakat seperti zaman Soeharto dulu. Sistem saat ini terbukti menimbulkan suasana ketidakpastian. Bagaimana kita bisa merespons suasana kemerdekaan seperti sekarang, jika dalam kondisi penuh ketidakpastian.

Karena itu saya setuju NKRI menjadi harga mati, tetapi dengan syarat: pemerintah serius mengurusi negara. La ini, semua mikir partai masing-masing. Gimana mau NKRI?

Karena itu kita semua, terutama para tokoh, harus berpikir konsisten. Kalau mau nasionalisme ya nasionalisme, kalau globalisme ya globalisme. Jangan seperti sekarang, ketika salah satu tokoh bisa dengan enak mengatakan, “Kantongi saja nasionalismemu,” dengan lebih mengutamakan globalisasi atau internasionalisme, dengan dasar nasionalisme sudah mati. Terbukti, terlalu banyak pekerja asing di negeri ini, sebagaimana negeri ini banyak mengekspor pekerja ke luar negeri. Kalau nasionalisme tak mampu, globalisasi tak bisa, mending kita jadi provinsi ke-51 Amerika Serikat.

Sekarang teori dan praksis bertolak belakang. Sejak kecil kita diajari ekonomi koperasi, tapi pernahkah Anda menjumpai gedung pencakar langit di jalan utama di Jakarta dimiliki koperasi? Saya bayangkan jika klub-klub sepakbola dimiliki koperasi, keuntungan untuk anggota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun