Mohon tunggu...
Benny Benke
Benny Benke Mohon Tunggu... -

the walkers. touch me at benkebenke@gmail.com,

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sujiwo Tejo: Seniman Sufi

7 Oktober 2016   12:30 Diperbarui: 7 Oktober 2016   12:42 532
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

”Jika saya berpikir tentang narasi besar melulu, bisa edan aku. Terkadang pikiran saya melenting kepada sosok Amien Rais. Bagaimana ta kehidupan seksualnya. Apakah beres? Apakah ia masih punya cinta? Meski tidak harus cinta kepada istrinya. Apakah ia munafik dengan perasaannya? Kalau ia munafik dengan kehidupan pribadinya, bagaimana dengan kepemimpinannya? Itu, misalnya.”

Di sisi lain Tejo juga mengklaim, adalah munafik jika manusia hanya mampu jatuh cinta satu kali sepanjang hidupnya. Baginya perasaan cinta itu tumbuh seiring dengan kekayaan batin manusianya.

BERBILANG bulan kemudian, atau pada September 2003, Tejo meluncurkan Novelnya. Setelah meluncurkan album kaset Pada Suatu Ketika dan Pada Sebuah Ranjang, Tejo, yang dikenal sebagai dalang, penulis, aktor, musikus dan penyanyi itu, saat itu bersiap meluncurkan novel terbarunya. “Insya Allah, awal Oktober novel yang belum saya beri judul itu akan diterbitkan oleh EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia-Red) Publisher,” tuturnya kepada wartawan dalam peluncuran buku kumpulan cerita China Moon di Hotel Alila Pecenongan, Jakarta, Rabu (10/9/2003).

Berbeda dari dua buku yang pernah dia tulis, Kelakar Madura buat Gus Dur dan Dalang Edan, novel terbarunya ini pada dasarnya bernarasi tentang dalang dan saksofon. “Novel ini berkisah tentang apa saja, karena mungkin saya seorang dalang dan bisa main saksofon, maka sepertinya berkeniscayaan akan saya beri judul Dalang dan Saksofon,” papar mantan wartawan budaya Kompas ini.

Dia yang juga pernah bermain dalam film Telegram dan Kafir ini memang seniman serbabisa, sehingga tidak aneh keterlibatannya dalam peluncuran buku China Moon yang merangkum sembilan cerpen itu sangat vital. Sebagai editor, dia yang juga pernah mengikuti festival musik Roaring Hoofs Mongolia dan World Music Festival di Bali itu harus mencermati setiap karya cerpenis terkemuka Tanah Air.

“Saya harus membaca dengan saksama tulisan Dinar Rahayu, Yanusa Nugroho, Putu Wijaya, Sapardi Djoko Damono, Reda Gaudiamo, Tommy F Awuy, Djenar Maesa Ayu, Richard Oh, dan Veven Sp Wardhana. Sebelum pada akhirnya bersimpulan, betapa orang Cina dan kebudayaannya terkisahkan dengan sama kayanya dengan kebudayaan lain.”

Disinggung tentang nasib album ketiganya, Dewi Ruci, dia yang masih senang membelalakkan kedua bola matanya bila sedang bersemangat itu berkata, “Bila tidak ada aral melintang, tahun depan album ketiga saya kelar. Judul masih seperti rencana semula, Dewi Ruci. Prosesnya sedang dalam finishing.”

YA, Tejo memang penuh eksplorasi. Dalam eksplorasinya, dalam banyak hal, kengawuran dengan sadar diasertakan. Intinya, selaras dengan kredonya, ngawur karena benar. Buktinya, pada 2011 dia kembali banyak bertutur tentang banyak hal. Sebagaimana kehidupan yang dihadapinya dengan sepenuh eksplorasi, Sujiwo Tejo ketika berlakon dalam sebuah film pun melakukan hal yang sama. Bahkan ketika kali pertama Zaskia Adya Mecca sebagai casting director mendapuknya untuk berlakon dalam film Tendangan Dari Langit (TDL), yang pertama dia cermati adalah, “Naskah skenarionya,” ujar aktor, sutradara, dalang, musisi, penulis, dan berbagai sebutan lainnya yang merangkumnya menjadi seorang budayawan.

Beranjak dari skenario yang ditulis Fajar Nugros itulah, Tejo memberikan penambahan, pengembangan, sekaligus kedalaman dialog, yang akhirnya memperkaya sekaligus mempertajam dialog yang keluar dari perannya. Bahkan dalam banyak dialog, sepenceritaan Hanung Bramantyo selaku sutradara, “Mas Tejo memberikan makna baru,” ujar Hanung dalam sesi temu wartawan seusai gala premiere film TDL, Selasa (22/8).

Seperti pada diaog ketika tokoh Darto yang dilakoni Tejo menasehati Wahyu anaknya yang sedang dirundung perasaan cinta. Maka, diluar dialog resmi skenario TDL, Tejo menukil kisah Semar yang sedang kasmaran. Dikonfrontasi ihwal dialog Semar, Tejo berujar, “Iyo, kuwi tak tambahi dewe,” katanya.

Menurut dia, teks sebuah skenario tidak sepatutnya diperlakukan sebagai makhluk yang tidak bernyawa. Dia, skenario itu, harus dihidupkan, untuk kemudian diberikan pemaknaan anyar, yang tidak mengimpang terlalu jauh dengan pakem skenario aslinya. Dengan begitu, menurut dia, semua dialog menjadi lebih hidup, natural, dan bernyawa. Karena tidak dibuat-buat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun