JAKARTA -- BATAS antara kengawuran dan kesufian memang sangat tipis. Setipis benang. Tapi memang demikianlah adanya. Sebagaimana batas antara kegilaan dan kejeniusan. Paling tidak demikianlah pengalaman penulis yang belum seberapa, dan mungkin tidak ada apaapanya ini, ketika bersua pengalaman dengan seorang Sujiwo Tejo.
Pada Februari 2003 misalnya, penulis berkesempatan bersua Tejo di Ekki Karmawibangga Dance Company di kawasan Minangkabau Jakarta Selatan. Saat itu, atau 12 tahun lalu, Tejo banyak bertutur tentang kegelisahannya. Intinya, dia bingung pada eksistensi Tuhan, yang tentu saja tak terpermaknai.
Dengan jejak perjalanan berkesenian yang panjang, seniman eksentrik kelahiran Jember, Jawa Timur 1962, ayah Rembulan Randu Dahlia, Kennya Rizky Rinonce, dan Jagad itu memaknai kehidupannya dengan bersahaja; mengalir. Kemengaliran itu pulalah yang menjadikan Tejo bisa menghasilkan buku Kelakar Madura buat Gus Dur (2001) dan Dalang Edan (2002) serta menjadi penulis kolom di berbagai majalah dan koran nasional. Kemengaliran itu yang melahirkan Tejo sebagi peramu musik pentatonik Jawa dan diatonik modern yang penuh kemegahan.
Dua album musik, Pada Suatu Ketika dan Pada Sebuah Ranjang, telah dia rampungkan. Keduanya mendapatkan sambutan hangat dari para pendengar serta meraih beberapa penghargaan. Sebentar lagi dia akan muncul dengan album terbaru, Dewi Ruci. Album itu dia dedikasikan kepada kaum perempuan.
Keterkaguman dalang yang pernah berkolaborasi dengan marionette Stephan Mottram -seorang ”dalang” dari Inggris tahun 2000- itu kepada sosok perempuan tampaknya tidak dapat dilepaskan dari sosok almarhum ibunda. Hingga sekarang kain penutup jasadnya selalu ia bawa manakala mendalang. Hal itu pula yang membuat dia menilai perempuan sebagai makhluk yang lengkap; dengan segala kelemahan sekaligus kekuatannya.
Hadi Sujiwo Tejo (saat itu 41) mengaku mampu mendefinisikan semua hal di dunia, bahkan fenomena Tuhan sekalipun. ”Tapi tidak dengan wanita. Salah satu kecerdasan Tuhan yang nampak di muka bumi adalah menciptaan perempuan. Semakin kita berusaha untuk mengerti perempuan, semakin tidak mengerti kita dibuatnya. Perempuan sangat-sangat tidak konsisten tapi pada saat yang sama sangat-sangat menarik. Inilah yang membuat saya hendak menelurkan album Dewi Ruci. Belum lagi narasi-narasi kecil tentang perempuan yang selama ini luput dari perhatian kita.”
Hanya itukah? ”Saya juga banyak mendapatkan cerita dari banyak sumber. Misalnya jika ada pejabat perempuan yang hendak menyampaikan suatu pidato di sebuah acara, hal yang kali pertama ia tanyakan adalah dekat toilet atau tidak. Atau ada cerita seorang pejabat perempuan yang menolak di-interview oleh salah sebuah stasiun televisi karena belum dandan (make up). Ini bagi saya menarik sekali.”
Di kalangan kawan-kawan dekatnya seperti Nirwan Dewanto, Pramono Anung, dan Djaduk Ferianto, Tejo yang dikenal sebagai miniatur Nusantara itu mempunyai pandangan yang menarik terhadap Tuhan. Bagi seniman yang pernah mengikuti Roaring Hoofs International First Festival of Actual Music di Ulan Bataar, Mongolia (1999) itu, Tuhan adalah, ”Yang Maha Mbingungin Tapi Indah”.
”Bayangkan, Ia menciptakan kegemilangan sekaligus berbagai larangan yang menyertainya. Ia menciptakan aneka kecemerlangan sekaligus bencana yang membuntuti di belakangnya. Ia menciptkan betapa eloknya (maaf) payudara tapi seketika menyegera memerintahkan untuk menutupinya. Ia merestui kemajuan zaman sekaligus mengiringinya dengan berbagai ancaman penyakit yang menyertainya. Hayo, gimana nggak mbingungin. Jadi Tuhan itu maha… bukan asem, tapi.. apa ya, ya mbingungin itu tadi. Edanlah, pokoke Gusti Allah iku ngedab-ngedabi.”
Tejo yang juga pernah menyabet penghargaan dari MTV sebagai The Best Performance dan The Best New Artist tahun 1998 itu gemar mengoleksi narasi-narasi kecil perihal apa pun di luar skema besar atau grand naration yang kerap lebih menyita perhatian kita. Kekusyukannya dalam meluangkan pikirannya untuk menyuntuki narasi kecil itu tak lepas dari keteguhannya bahwa kehidupan dan keseimbangan hidup ini tidak melulu harus dihabiskan pada persoalan ekonomi dan politik an-sich.
Baginya persolan kerinduan, kangen, menulis surat, dan membaca surat cinta, perasaan membuncah karena terkesima oleh lawan jenisnya, tak kalah menarik dari isu-isu sentral yang selalu mendominasi hampir di setiap lini kehidupan. Bisa jadi apa yang dipikirkan ada benarnya, betapa ”kering” manusia manakala ia hanya berpikir tentang kariernya yang telah secara tidak langsung membunuh dirinya.
”Jika saya berpikir tentang narasi besar melulu, bisa edan aku. Terkadang pikiran saya melenting kepada sosok Amien Rais. Bagaimana ta kehidupan seksualnya. Apakah beres? Apakah ia masih punya cinta? Meski tidak harus cinta kepada istrinya. Apakah ia munafik dengan perasaannya? Kalau ia munafik dengan kehidupan pribadinya, bagaimana dengan kepemimpinannya? Itu, misalnya.”
Di sisi lain Tejo juga mengklaim, adalah munafik jika manusia hanya mampu jatuh cinta satu kali sepanjang hidupnya. Baginya perasaan cinta itu tumbuh seiring dengan kekayaan batin manusianya.
BERBILANG bulan kemudian, atau pada September 2003, Tejo meluncurkan Novelnya. Setelah meluncurkan album kaset Pada Suatu Ketika dan Pada Sebuah Ranjang, Tejo, yang dikenal sebagai dalang, penulis, aktor, musikus dan penyanyi itu, saat itu bersiap meluncurkan novel terbarunya. “Insya Allah, awal Oktober novel yang belum saya beri judul itu akan diterbitkan oleh EKI (Eksotika Karmawibhangga Indonesia-Red) Publisher,” tuturnya kepada wartawan dalam peluncuran buku kumpulan cerita China Moon di Hotel Alila Pecenongan, Jakarta, Rabu (10/9/2003).
Berbeda dari dua buku yang pernah dia tulis, Kelakar Madura buat Gus Dur dan Dalang Edan, novel terbarunya ini pada dasarnya bernarasi tentang dalang dan saksofon. “Novel ini berkisah tentang apa saja, karena mungkin saya seorang dalang dan bisa main saksofon, maka sepertinya berkeniscayaan akan saya beri judul Dalang dan Saksofon,” papar mantan wartawan budaya Kompas ini.
Dia yang juga pernah bermain dalam film Telegram dan Kafir ini memang seniman serbabisa, sehingga tidak aneh keterlibatannya dalam peluncuran buku China Moon yang merangkum sembilan cerpen itu sangat vital. Sebagai editor, dia yang juga pernah mengikuti festival musik Roaring Hoofs Mongolia dan World Music Festival di Bali itu harus mencermati setiap karya cerpenis terkemuka Tanah Air.
“Saya harus membaca dengan saksama tulisan Dinar Rahayu, Yanusa Nugroho, Putu Wijaya, Sapardi Djoko Damono, Reda Gaudiamo, Tommy F Awuy, Djenar Maesa Ayu, Richard Oh, dan Veven Sp Wardhana. Sebelum pada akhirnya bersimpulan, betapa orang Cina dan kebudayaannya terkisahkan dengan sama kayanya dengan kebudayaan lain.”
Disinggung tentang nasib album ketiganya, Dewi Ruci, dia yang masih senang membelalakkan kedua bola matanya bila sedang bersemangat itu berkata, “Bila tidak ada aral melintang, tahun depan album ketiga saya kelar. Judul masih seperti rencana semula, Dewi Ruci. Prosesnya sedang dalam finishing.”
YA, Tejo memang penuh eksplorasi. Dalam eksplorasinya, dalam banyak hal, kengawuran dengan sadar diasertakan. Intinya, selaras dengan kredonya, ngawur karena benar. Buktinya, pada 2011 dia kembali banyak bertutur tentang banyak hal. Sebagaimana kehidupan yang dihadapinya dengan sepenuh eksplorasi, Sujiwo Tejo ketika berlakon dalam sebuah film pun melakukan hal yang sama. Bahkan ketika kali pertama Zaskia Adya Mecca sebagai casting director mendapuknya untuk berlakon dalam film Tendangan Dari Langit (TDL), yang pertama dia cermati adalah, “Naskah skenarionya,” ujar aktor, sutradara, dalang, musisi, penulis, dan berbagai sebutan lainnya yang merangkumnya menjadi seorang budayawan.
Beranjak dari skenario yang ditulis Fajar Nugros itulah, Tejo memberikan penambahan, pengembangan, sekaligus kedalaman dialog, yang akhirnya memperkaya sekaligus mempertajam dialog yang keluar dari perannya. Bahkan dalam banyak dialog, sepenceritaan Hanung Bramantyo selaku sutradara, “Mas Tejo memberikan makna baru,” ujar Hanung dalam sesi temu wartawan seusai gala premiere film TDL, Selasa (22/8).
Seperti pada diaog ketika tokoh Darto yang dilakoni Tejo menasehati Wahyu anaknya yang sedang dirundung perasaan cinta. Maka, diluar dialog resmi skenario TDL, Tejo menukil kisah Semar yang sedang kasmaran. Dikonfrontasi ihwal dialog Semar, Tejo berujar, “Iyo, kuwi tak tambahi dewe,” katanya.
Menurut dia, teks sebuah skenario tidak sepatutnya diperlakukan sebagai makhluk yang tidak bernyawa. Dia, skenario itu, harus dihidupkan, untuk kemudian diberikan pemaknaan anyar, yang tidak mengimpang terlalu jauh dengan pakem skenario aslinya. Dengan begitu, menurut dia, semua dialog menjadi lebih hidup, natural, dan bernyawa. Karena tidak dibuat-buat.
Maka tidak berlebihan juga, jika dibanyak dialognya, Tejo yang Darto atau sebaliknya tokoh Darto yang Tejo kerap mengeluarkan umpatan keakraban yang biasa dikeluarkan antarsekawan di masyarakat di Jatim dan Jateng. Yang justru diadakan, demi menghangatkan suasana, dan mempererat tali silaturahmi antarsekawan. Bukan semata menyumpah apalagi menyerapah.
URUSAN film kelar, tanyakan kepada Tejo urusan lainnya. Maka dia akan bernarasi tentang kondisi kebangsaan di negeri in. Sebuah negeri yang menurut dia, sebagai sebuah bangsa, sudah tak pede lagi. Sebagai bangsa kita sudah kehilangan rasa percaya diri (pede). “Kita pun sudah kehilangan kepercayaan pada para tokoh di negeri ini. Akhirnya, negeri ini pun kehilangan kedaulatan,baik secara politik, ekonomi, maupun kultural,” katanya Jumat (12/8/2011).
Kenapa kini kita tak berdaulat secara ekonomi, kultural, dan politik?
Karena kita tak percaya lagi pada para tokoh di negeri ini. Nah, ketika kita tak percaya lagi pada para tokoh itu, tiba-tiba seperti dipaksa terus dan harus percaya pada mereka. Meski kita semua tahu, tak ada tokoh yang bisa dipercaya lagi.
Contoh terkini kasus Nazaruddin. Banyak tokoh di negeri ini, juga Presiden, mengatakan sebaiknya kasus Nazaruddin diserahkan ke jalur hukum. Namun siapa percaya sistem hukum di Indonesia saat ini dapat berjalan baik dan adil? Siapa mampu menjamin kasus hukum Nazaruddin tidak dipermainkan sedemikian rupa? Sebagian tokoh menyatakan alangkah baik Nazaruddin diserahkan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), karena lebih terjamin keobjektifannya. Siapa bisa menjamin tak terjadi kecurangan di sana?
Itulah faktanya. Dan kita sedang berada dan melewati masa ketidakpercayaan pada para tokoh negeri ini, entah sampai kapan.
Mungkin kalau kita komparasikan dengan dunia anak-anak, Indonesia saat ini nggreges-nggreges atau demam. Kalau itu bisa kita lewati, kemungkinan besar Indonesia menjadi dewasa. Selain itu, ada paradigma bernegara yang keliru di negeri ini. Sebagaimana dikatakan penyair AS yang dikutip Presiden John F. Kennedy, “Jangan pernah tanyakan kepada negara apa yang telah negara berikan kepadamu, tetapi tanyakanlah pada dirimu apa yang telah engkau berikan kepada negara.” Paradigma itu sangat keliru. Seharusnya ungkapan itu dibalik, “Apa yang bisa diberikan negara kepada kita sebagai warga bangsa.” Jadi pemimpin tak akan leha-leha, kemudian berlindung di balik ungkapan itu, sementara mereka tak melakukan apa-apa. Apa gunanya negara kalau tak mampu memberikan apa-apa pada warga negaranya?
Contoh sederhana, ketika masyarakat harus mengenakan helm ketika berkendaraan di jalan raya. Apa dasarnya harus memakai helm? Supaya kalau kecelakaan, tidak celaka dan tidak mati di jalan. Namun kalau tidak mati di jalan, apakah negara memberikan sesuatu? Kalau tidak mati di jalan, negara mau apa? Apakah negara memberikan jaminan kesehatan? Pendidikan gratis? Perlindungan mendasar? Memenuhi kebutuhan pokok? Toh kalaupun mati di jalan, kita sendiri yang mengurusi semua tetek-bengek. Berarti ada yang salah dengan UU Lalu Lintas.
Apa variabel determinan yang menyebabkan ketidakberdaulatan kita?
Rasa rendah diri! Itulah yang aku ajukan sebagai syarat untuk calon presiden mendatang, yakni rasa percaya diri. Itu urutan pertama. Bukan riwayat pernah korupsi atau tidak. Kalau syarat belum pernah korupsi diajukan, tak ada orang bebas korupsi di negeri ini. Yang utama tetaplah rasa percaya diri atau jangan pernah sekalipun punya riwayat minder. Mengapa minder lekat dengan bangsa Indonesia? Karena para tokoh dan pengajar di negeri ini, juga kita secara umum, lebih senang menceritakan dan mengunggulkan bangsa lain daripada bangsa sendiri. Contohnya, kita lebih gemar bercerita tentang etos kerja bangsa China, Jepang, Korea, Amerika, dan Eropa. Kita nyaris tak pernah bercerita tentang Soekarno, yang sejak mula selalu mengatakan dengan lantang, “Berdiri di atas kaki sendiri!” Jadi sepemahaman saya, hanya Bung Karno yang tak punya riwayat minder. Anda bisa lihat bagaimana pembelaannya ketika ditahan di Bandung berjudul “Indonesia Menggugat”, tidak ada sedikit pun keminderan terbaca di sana. Beda, misalnya, dari kasus Richard Gere yang baru-baru ini mampir ke Indonesia. Seorang pembawa acara stasiun TV mengatakan, “Kita beruntung karena kedatangan Richard Gere ke Candi Borobudur, jadi pariwisata Indonesia makin dikenal di dunia internasional dan bla-bla-bla.” Seharusnya, pemikiran minder itu dibalik, “Richard Gere beruntung karena berhasil mendatangi Candi Borobudur sebagai salah satu keajaiban dunia.” Atau, bagaimana banyak instansi di negeri ini gemar meng-hire para pekerja asing, dengan harapan ketika para pekerja asing itu melakukan negosiasi bisnis dengan pejabat negara, pejabat negara minder.
Contohlah Agus Salim, yang meski senantiasa makan dengan tangan, dalam setiap perjanjian di luar negeri selalu memenangkan Indonesia. Karena itu, kerendahdirian harus kita buang jauh-jauh.
Apakah itu berkait dengan kemungkinan kehilangan daya hidup, etos kerja, dan kreativitas kita sebagai bangsa?
Sejatinya kita bangsa yang kreatif. Lihatlah anak-anak kita yang telah menemukan energi surya. Anak SMP di berbagai tempat yang memenangi berbagai olimpiade fisika, matematika, dan olimpiade keilmuan lain di tingkat dunia. Atau, bagaimana anak-anak di Pasuruan bisa menjadi nomor satu dalam tanding ilmu pasti. Intinya, banyak potensi di negeri ini, banyak ahli komputer yang tak tertandingi. Etos kerja kita sangat punya, hanya masalahnya etos kerja itu tidak disebut oleh orang kita sendiri. Karena, kita berkecenderungan lebih gemar menyebut etos kerja orang Jerman, Jepang, Korea.
Seharusnya kita, juga para guru-guru, bercerita betapa hebat etos kerja para petani Indonesia, yang harus bangun subuh untuk pergi ke sawah dan ketika matahari terbit para istri berdatangan ke sawah membawa sarapan untuk para suami. Bagaimana para nelayan mempunyai ketabahan dan keberanian sangat luar biasa. Meski harga solar melambung tinggi, mereka tetap melaut, meski tangkapan tidak pasti dan bisa saja mati tertelan ombak bersama perahu. Atau, bagaimana pedagang di pasar-pasar tradisional itu pada pagi-pagi buta bergelantungan di mobil bak terbuka. Melanjutkan mimpi di atas tumpukan sayur yang hendak dijual di pasar atau di mana pun. Apakah kita tidak bangga dengan etos kerja sedemikian luar biasa itu? Atau bagaimana para mbok itu dengan barang dagangan di pinggul yang melebihi berat tubuhnya berjalan berkilometer-kilometer demi keuntungan tak seberapa, tetapi semua itu mereka lakukan secara sukacita.
Pokok ceritanya, kita lebih gemar menyebut bangsa lain dari pada melihat diri sendiri. Itulah yang berdampak terhadap kehidupan politik, ekonomi, dan budaya. Politik kita sudah tak percaya pada para pelakunya, budaya kita sudah tak percaya pada diri sendiri. Secara ekonomi, kita lebih suka mengimpor produk dari mancanegara daripada berproduksi sendiri. Karena untuk memproduksi, biaya dan kendalanya jauh lebih tinggi daripada sekadar mengimpor. Contoh konkret, akhirnya kita mendatangkan film Harry Potter and Deathly Hollow Part 2, padahal masih ada yang mengemplang pajak film. Kenapa kita takut tidak dapat menonton film impor itu? Bukankah masih ada Riri Riza, Hanung Bramantyo, dan sutradara-sutradara bagus yang lain?
Ke manakah kecenderungan hidup kita sebagai bangsa, makin kohesif-integral atau justru makin tak berkepastian?
Ketakberkepastian itu mengemuka, karena kita melupakan spirit sebagai bangsa, sebagaimana dulu Bung Karno mampu menggalang negara-negara Asia-Afrika. Spirit seperti yang ditunjukkan dalam marhaenisme; bukan partainya. Itulah yang kita butuhkan sekarang. Karena sebagaimana kita harapkan, kalau negara tak mampu dan bisa memberikan lapangan kerja, pendidikan, kesehatan, minimal paling tidak memberikan perlindungan, rasa aman, dan keadilan. Tapi sekarang bahkan rasa aman yang paling mendasar pun sudah tak ada. Itu ditunjukkan dengan bukti, agama mayoritas di negeri ini bisa berperilaku seenaknya sebagaimana terlihat dalam kasus Cikeusik. Kalau kepastian rasa aman sudah tidak ada, buat apa kita bernegara?
Apa penyebab semua itu?
Rasa minder itu! Output-nya ketidakpastian. Seperti sistem negara kita yang presidensiil dan parlementer. Kenapa kita tidak kembali ke Pancasila, sila kelima. Siapa tahu dengan begitu kita mempunyai sistem pemerintahan sendiri, karena sistem demokrasi presidensiil dan parlementer tidak cocok bagi sistem demokrasi kita. Meski bukan berarti kita kembali ke sistem musyawarah mufakat seperti zaman Soeharto dulu. Sistem saat ini terbukti menimbulkan suasana ketidakpastian. Bagaimana kita bisa merespons suasana kemerdekaan seperti sekarang, jika dalam kondisi penuh ketidakpastian.
Karena itu saya setuju NKRI menjadi harga mati, tetapi dengan syarat: pemerintah serius mengurusi negara. La ini, semua mikir partai masing-masing. Gimana mau NKRI?
Karena itu kita semua, terutama para tokoh, harus berpikir konsisten. Kalau mau nasionalisme ya nasionalisme, kalau globalisme ya globalisme. Jangan seperti sekarang, ketika salah satu tokoh bisa dengan enak mengatakan, “Kantongi saja nasionalismemu,” dengan lebih mengutamakan globalisasi atau internasionalisme, dengan dasar nasionalisme sudah mati. Terbukti, terlalu banyak pekerja asing di negeri ini, sebagaimana negeri ini banyak mengekspor pekerja ke luar negeri. Kalau nasionalisme tak mampu, globalisasi tak bisa, mending kita jadi provinsi ke-51 Amerika Serikat.
Sekarang teori dan praksis bertolak belakang. Sejak kecil kita diajari ekonomi koperasi, tapi pernahkah Anda menjumpai gedung pencakar langit di jalan utama di Jakarta dimiliki koperasi? Saya bayangkan jika klub-klub sepakbola dimiliki koperasi, keuntungan untuk anggota.
Jadi Indonesia harus bagaimana?
Harus ada revolusi pemikiran, mindset revolution. Dan, yang mengawali adalah pemimpin karena dia mengambil sekitar 80 persen peran penting revolusi itu, sementara masyarakat hanya sekitar 20 persen. (Benny Benke)
tulisan ini pernah dimuat di laman" http://berita.suaramerdeka.com/blogjurnalis/seniman-sufi/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H