Bahkan beranjak dari tempat duduknya pun tidak Jabo lakukan. Semua mengalir dengan detail, kusyuk, terperi, dan melenakan. Di atas panggung, Jabo hanya bersila seperti orang mengaji yang takzim dengan dirinya sendiri. Aura Kedalaman. Dalam tempo lambat lagunya tak jarang dia hanya menggerak-gerakkan jarinya ke atas, sembari menggoyangkan sedikit tubuhnya ke kiri dan ke kanan. Sementara matanya cenderung terpejam seperti sedang merasakan sebuah aura kedalaman.
Bila sebuah lagu telah jeda, dia hanya mengatupkan kedua tangannya di muka dan dahinya, sembari sedikit menundukkan kepala, tanda penghormatan kepada penonton. Selanjutnya, tanpa memberikan kesempatan kepada penonton yang hendak memberikan penghormatan balik dengan tepukan tangan, dia mengalirkan lagu selanjutnya. Semua lagu hits Jabo yang terangkum dalam single album Anak Setan (1975), Fatamorgana (1994), Jula Juli Anak Negeri (2001), Musik dari Seberang Laut (1997), dan Ada Suara tanpa Bentuk (2001) mengalir dengan apik dalam aransemen baru.
Musisi pendukungnya seperti Totok Tewel, Inisisri, Gondrong Gunarto, Baruna, dan istri tercinta Susan Viper, serta beberapa nama lainnya, dengan andal dan penguasaan musik yang matang, semakin membuat bernas konser yang akan dikelilingkan di Bandung, Yogyakarta, dan Surabaya itu.”Saya hanya ingin menggambarkan konser ini dalam sebuah tarikan napas dari persenyawaan pengalaman hidup dan pengalaman batin saya,” katanya di belakang panggung.
MELOMPAT kembali pada Mei 2014, Sawung Jabo saat itu bersama Sirkus Barock lagi-lagi menyajikan makanan jiwa. Sawung Jabo, salah satu legenda hidup musik folklore Indonesia bersama Leo Kristi kembali datang. Bersama kelompoknya, Sirkus Barock (SB), musisi yang memegang peran kunci di sejumlah kelompok band seperti SWAMI, Dalbo hingga KANTATA itu, bersiap memberikan makanan jiwa kepada penontonnya.
Dalam konser ‘Akustik Perkusi’ bertajuk Sirkus Barock; Anak Wayang (Belajar Memaknai Hidup), Jabo didukung sejumlah musisi diantaranya Joel Tampeng, Toto Tewel, Ucok Hutabarat, Edi baraque dan beberapa nama lainnya.
Sebagaimana dikatakan Edi Haryono, pemikir kelompok SB, di tengah arus industri yang mendikte seniman, Jabo bersama SB masih mampu berdiri tegak sebagai seniman yang sulit dan menolak didikte kepentingan industri. Oleh karenanya Erwiyantoro (Toro)–mantan wartawan Suara Merdeka–selaku promotor menggagas kembali pertunjukan SB, yang akan digelar pada Sabtu malam, 10 Mei di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta.
Dalam konser Sawung Jabo & Sirkus Barock, yang tagline berbunyi, “Hidup semakin kering, semakin bising, dan kami menolak menjadi sinting,” itu, Jabo menjelaskan betapa susahnya mengolah ketegangan menjadi ketenangan. “Karena itulah asyiknya bersenyawa. Tidak mudah, tapi sangat seksi untuk mengolah ketegangan kreatif,” katanya ihwal sejumlah musisi muda yang terlibat dalam SB kali ini di TIM, Jakarta, Rabu (7/5/2014) petang.
Dengan proses kreatif yang panjang, marathon dan ketat, Jabo dalam latihan persiapan konser nanti, mengaku berusaha sebisa mungkin menghormati waktu teman-teman kreatifnya. Meski proses kreatif persiapan konser itu,”Latihannya seperti orang kerja kantoran dan ketat,” imbuh dia.
Edi menjelaskan, menikmati konser Jabo menurut dia, tidak sekedar menikmati keindahan panca indra, “Tapi ada greget dan rohnya,” ujarnya. Penonton, imbuh dia, diberi ruang untuk mengaktualisasi susana batinnya dalam semua keterbatasannya.
Jabo yang usianya sudah tidak muda lagi, menjelaskan, menjaga elan vital kekaryaan baginya sama saja dengan menjaga cita-cita. Dalam hidup, ujarnya, banyak pilihan, “Dan saya memilih menjadi seniman musik. Dan sekarang saya bukan sekedar bermain musik, tapi menjalankan keyakinan hidup saya”.
Toro mengatakan, perjalanan musik di Indonesia abad 21, menurut dia, sudah tidak ada legenda hidup di dunia musik Indonesia. Legenda hidup musik hanya ada di abad 20, dengan segala batasannya. Oleh karena itu, Toro yang juga sangat dekat dengan Iwan Fals, menghadirkan Sawung Jabo & Sirkus Barock ke atas panggung.