Memancing di kolam ikan adalah terma yang acap dikemukakan para ahli strategi pemasaran untuk menjual produk mereka, apapun jenisnya, pada sebuah wilayah pasar, yang sejatinya banyak pembeli atau buyernya.
Dengan memancing di kolam ikan, diharapkan, prosentase umpan yang dimakan ikan, menjadi sangat terbuka lebar, atau lebih besar. Jika misalnya, dibandingkan dengan memancing di laut terbuka, atau sungai, danau, muara dan aneka tempat ikan adabnya berada.
Demikian halnya dengan pasar penonton film di Indonesia, atau Jabodetabek, misalnya. Meski belum ada penelitian resmi, sangat dipercaya, resapan penonton film, dalam hal ini layar lebar di Indonesia, sangat baik. Meski jika dikomparasikan dengan jumlah penduduk Indonesia, berdasarkan sensus penduduk tahun 2010 adalah sebanyak 237 641 326 jiwa. Atau sederhananya, tahun 2016 ini, kita bulatkan menjadi 250 juta jiwa, jumlah penonton bioskopnya masih terhitung sangat kecil.
Ambil contoh penonton film terlaris mutakhir di Indonesia adalah Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss! Part 1 (2016), yang dalam masa pemutarannya selama 12 hari, telah mencapai angka lebih dari 5 juta penonton. Bandingkan dengan penonton bioskop di Korea Selatan, yang pada sensus tahun 2015, penduduknya di angka 50 jutaan jiwa. Tapi raihan penontonnya, mencapai angka 17,614,679pada 2014, via film The Admiral: Roaring Currents.
Setelah itu, film Ode to My Father (2014) 14,262,139, Veteran (2015) 13,413,986, The Host (2006) 13,019,740, dan The Thieves (2012) 12,983,821 penonton.
Apa yang membuat angka penonton film Indonesia, masih jauh berbanding lurus, dengan jumlah penduduknya? Banyak faktornya. Bahkan jumlah penduduk China, tahun 2015 lalu, pada angka 1.361.512.535 Jiwa. Lebih dari 1,3 miliar jiwa. Tapi jumlah penonton filmnya? Pada sensus tahun 2012, dari 745 film panjang yang diproduksi di China, 315 judul atau 42% saja yang ditayangkan di bioskop.
Atau sebagaimana data yang dikeluarkan firma media-research Entgroup, film box office di China, masih didominasi filmfilm dari Hollywood, meski tetap ada film buatan domestik, sebagaimana di Indonesia. Dan jumlah penontonnya, masih berbanding terbalik, dengan jumlah penduduknya, sebagaimana terjadi di Indonesia. Atau dalam data mereka, dikeluarkan lima (5) film terlaris di China adalah The Mermaid (2016)yang mendapatkan pemasukan sebesar 526,848,189 US Dollar, Zootopia (235,591,000), Warcraft (220,841,090), Captain America: Civil War(190,429,000), dan The Monkey King 2 in 3D (185,402,420).
Bandingkan dengan data yang dikeluarkan Motion Picture Association of America (MPAA) di AS, yang berani mengklaim, dari 818 film panjang yang diproduksi pada tahun 2011, tiga perempatnya beredar di sejumlah layar bioskop di AS. Meski China saat ini dinilai telah mengambil alih pasar Jepang, sebagai pasar film terbesar di dunia di belakang AS.
Sehingga film lokal mereka seperti “Lost in Thailand” dan “Journey to the West: Conquering the Demons” bahkan mencatatkan rekor sebagai film domestik, dengan pemasukan yang luar biasa, menyaingi sejumlah film dari AS di sana.
Melihat hal ini, fenomena jumlah penonton film di China, bisa dicerminkan dengan jumlah penonton film di Indonesia. Masih menurut Entgroup, raihan penonton bioskop yang kurang maksimal di China, dikarenakan beberapa faktor. Faktor utamanya adalah kapasitas sinema di sana, sangat terbatas. Di luar skedul sinema yang sangat ketat, berebut dengan film baru yang meminta jatah untuk bersegera meminta diputar.
China, pada tahun 2013, memiliki 3,680 sinema, dengan 13,118 total layar. Bandingkan dengan AS, yang masih menurut MPAA, memiliki 39,500 layar. Ditambah ada persoalan klise di China, karena pemerintah setempat juga gemar membuat film propaganda, yang "setengah" mewajibkan penduduknya untuk menonton film tersebut, alihalih menonton film pilihan merdeka mereka sendiri.
Seperti film propaganda buatan tahun 2009 berjudul “The Founding of a Republic” dan film buatan tahun 2011 berjudul “The Beginning of the Great Revival” yang penayangannya, mendominasi, hampir di semua layar bioskop di seantero China.
Bandingkan dengan betapa di AS, yang jumlah penduduknya pada tahun 2014, di angka 318,9 juta jiwa. Dari jumlah penduduk sebanyak ini, meski tidak disebutkan pada bilangan jumlah penonton seperti di Indonesia, tapi film seperti Star Wars: Episode VII - The Force Awakens (2015) mampu mengeruk pemasukan sebesar 2.068 miliar dolar AS! Lalu diikuti film Avatar (2009), Titanic (1997), Jurassic World (2015), dan Marvel's The Avengers (2012), sebagai film terlaris domestik sepanjang masa di AS.
Sedangkan untuk pemasukan terbesar di seluruh dunia, sebagaimana dikutip laman filmsite.org, justru diraih film Avatar (2009), Titanic (1997), Star Wars: Episode VII - The Force Awakens (2015), Jurassic World (2015) dan Marvel's The Avengers (2012).
Menjual Film di Indonesia.
Barang bagus kalau tidak dijual dengan cara bagus, hasilnya tidak akan bagus. Adagium lawas itu nenegaskan bahwa teknik menjual produk, apapun jenisnya, sepatutnya diperlakukan dengan cara yang semestinya, sepatutnya dan terukur. Agar produk barang tersebut mencapai hasil yang maksimal, atau bagus.
Marcus Taylor, seorang penggiat industri TV, dan telah bekerja di sejumlah stasiun TV seperti BBC, ITV, C4 hingga NatGeo, sebelum terjum dalam dunia pemasaran film di AS, memberikan banyak kiat bagaimana seharusnya menjual produk films dan program TV, hingga program TV Shows Online.
Dari sejumlah kiat, atau puluhan kiat yang diarumuskan, intinya dia merumuskan menjual produk film juga film TV mempunyai nilai keunikannya sendiri. Sehingga, dalam bahasanya, nyaris tidak bisa dirumuskan, kecuali diprediksi, yang hasilnya, tetap saja unsur judinya sangat besar sekali.
Meski demikian, dia tetap berusaha sangat terencana dengan kiatkiatnya. Dan penentuan waktu atau timing, menurutnya memegang peranan kunci dalam memasarkan produk film juga film TV kepada masyarakat. Dengan timing atau momentum yang tepat dalam mempromosikan produk film dan produk TV, sasaran untuk membangun awaranes publik atas kehadiran produk tersebut, menjadi terbangun.
Di atas timing atau momentum, yang tak terelakkan dan tertawarkan adalah konten dari film atau produk itu sendiri. Karena, betapapun, "content" adalah "gold mines", atau tambang emas dari produk yang hendak dijual. Sehingga adagium barang bagus, jika tidak dijual dengan bagus, hasilnya tidak akan bagus, berkolerasi dengan pernyataan Taylor.
Meski kita semua juga sangat menyadari, persoalan marketing atau pemasarn bukanlah persoalan ilmu pasti. Namun demikian, masih banyak yang bisa kita pelajari dari banyak kasus mereka mereka yang sukses memasarkan produk film mereka, juga mereka meraka yang sangat tidak sukses memasarkan produk mereka.
Karena tulisan ini, tidak akan berbicara tentang kiatkiat itu, karena akan seperti menggarami lautan dihadapan hadirin sekalian yang terhormat, yang telah makan asam garam, bagaimana menjual produk film di Indonesia, dengan berbagai dinamikanya. Yang pasti, memasarkan produk film dan TV shows bukanlah pekerjaan mudah. Karena, jika Anda sekalian ingin tampak berbeda diantara kerumuman orang banyak, Anda, seperti dikutip Taylor, harus melakukan strategi marketing yang berbeda.
Dengan ambisi marketing yang berbeda pula. Dengan melibatkan sejumlah ahli pada bidangnya masing-masing. Dan yang PALING UTAMA, jangan percaya mitos yang mengatakan, kita harus membutuhkan bujet yang tak terhingga atau tak terbatas, untuk mendapatkan hasil yang luar biasa. Uang memang sangat menolong, tapi KREATIVITAS adalah mata uang sesungguhnya dalam marketing. Salam.
---
ditulis oleh Benny Benke, dalam Forum Diskusi Lintas Komunitas. Bekraf RI bersama Demi Film Indonesia (DFI) di hotel Oria, Wahid Hasyim, Jakarta Pusat, Kamis (29/9) 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H