Pendapat Romo Frans Magnis Suseno dalam buku "Kuasa dan Moral", rasanya masih relevan. Â Romo Frans menyebutkan agar Pancasila semakin dihayati, sehingga makin menentukan pola kehidupan nasional bersama masyarakat Indonesia, masyarakat perlu mengalami nilai-nilai Pancasila. Â Jadi Pancasila perlu dilakukan dengan konsekuen. Â Masyarakat terutama harus dapat melihat sikap Pancasila pada para pemimpin mereka.Â
Romo Frans Magnis melihat adanya tiga halangan terhadap penghayatan Pancasila yang seharusnya semakin dihapus:
- Masih juga dibiarkan berlangsung pelanggaran-pelanggaran terhadap Pancasila.Misalnya, antara lain : pembatasan hak umat beragama membangun rumah ibadat. Â SelaiN itu, dalam pemberantasan pelbagai gangguan kehidupan masyarakat diambil tindakan langsung yang bertentangan dengan sila kedua atas nama efisiensi. Â Masyarakat awalnya mungkin merasa lega, namun lama kelamaan merasa ngeri. Â Kepercayaan ke dalam kemanusiaan mereka yang menganjurkan Pancasila jangan sampai goyah
- Pelbagai bentuk penyelewengan dan korupsi dalam aparatur pemerintah
- Kadang terjadi kesan di masyarakat bahwa himbauan pada Pancasila merupakan kedok untuk melindungi kepentingan pribadi atau golongan sendiri.
Patut diingat, bahwa demoralisasi di kalangan yang berkuasa, ditambah terdapat penolakan yang luas terhadap Pancasila, serta harapan yang luas pula akan keadaan baru yang lebih baik daripada kondisi saat ini, dapat mengancam eksistensi Pancasila. Â Â
Dalam hal ini, Salahuddin Wahid dalam dua tulisannya di harian Kompas tahun 2016, berjudul "Negara Pancasilais", dan di tahun 2019, berjudul "Pancasila dan Cita-Cita Proklamasi", berpendapat, bahwa pengamalan sila Pancasila yang paling lemah, adalah sila ke-5 : Keadilan Sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Â Dan di situlah, Pemerintah perlu memfokuskan daya upaya lebih keras. Â Â
Untuk itu, BPIP, sebagai bagian dari kegiatannya, perlu membuat sebuah model analisa yang dapat dipergunakan sebagai acuan dalam menilai sejauh mana berhasil atau tidaknya pengamalan Pancasila, yang melibatkan publik. Â Barangkali tidak perlu malu untuk dapat mengacu kepada indeks demokrasi sebagaimana digunakan oleh lembaga lain, misalnya "The Economist Intelligence Unit" (sebagaimana disebutkan di Kompas tanggal 23 Januari 2020)?
Momentum 100 tahun pak Sim yang selalu menyerukan PNSPP, semoga menjadi waktu yang tepat bagi BPIP dalam menjalankan tugas-tugasnya.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H