Setelah menamatkan AMS, Pak Sim awalnya ingin memasuki sekolah tinggi kedokteran. Â Niat itu terinspirasi buku Axel Munthe berjudul, "The story of Sam Michele". Â Namun demikian, perkembangan dunia setelah serangan Jerman ke Belanda, dan semangat membuktikan kesalahan sang guru sejarah, mendorong Pak Sim remaja mendaftar di Akademi Militer. Â
Di akademi militer, Pak Sim menjadi taruna yang berprestasi tinggi di bidang teori, dan diangkat menjadi krooncadet (taruna mahkota) perak. Kawilarang, dalam biografinya "Membela Merah Putih", menulis bahwa Pak Sim pasti memperoleh mahkota emas andaikata ia adalah orang Belanda. Â Â
Membangun TNI di tengah badai perang kemerdekaan dan revolusi
Orang yang bagaimanapun pintarnya, kalau tidak mendapat kesempatan untuk mempergunakan kepintarannya itu dari suatu kedudukan yang cukup penting dan berpengaruh, maka potensi kecerdasannnya belum tentu bisa berkembang penuh, dan Sejarah akan melewati dia begitu saja.
Dalam diri pak Sim, berlakulah "man meets opportunity, and consequently history", dan kesempatan itu tiba di zaman revolusi fisik bersenjata Indonesia, ketika pada usia yang masih sangat muda, 28 tahun (tahun 1948), menjadi Wakil Jenderal Sudirman. Â
Jabatannya saat itu adalah Wakil Kepala Staf Angkatan Perang. Â Pak Sim dipandang sebagai teoretikus militer dan layak menduduki posisi itu dengan latar belakang mengenyam pendidikan akademi militer Belanda, serta pemahaman atas dunia kemiliteran dan revolusi melalui berbagai literatur yang dipelajarinya, khususnya karya Carl Von Clausewitz ("Vom Kriege" / "On War". Â
Penonton film "Crimson Tide" barangkali ingat dialog antara Capt. Ramsey, komandan kapal selam nuklir, dengan Commander Hunter (diperankan Denzel Washington), yang mengutip Clausewitz : "War is a continuation of politics by other means") dan Karl Marx. Â Â
Kisah Pak Sim dalam perang kemerdekaan, khususnya, periode Agresi II Belanda 19 Desember 1948 hingga pengakuan kedaulatan 27 Desember 1949, dituangkan dalam bukunya "Laporan Dari Banaran". Â
Dalam negosiasi dengan pihak Belanda di Konferensi Meja Bundar (KMB), pak Sim berada di delegasi kemiliteran, dan dalam salah satu perundingan hingga larut malam di "de roode kamer" (kamar merah) , salah satu ruang dari kementerian Angkatan Laut Belanda, sukses membuat Belanda menyetujui likuidasi KNIL (Tentara Hindia Belanda) dan meleburkannya ke dalam TNI. Â
Mengingat awalnya pihak Belanda menginginkan TNI lah yang dibubarkan, mengalahnya Belanda adalah sebuah kemenangan diplomasi besar bagi kedaulatan secara militer. Â Dalam buku "Laporan dari Banaran", Pak Sim menyebutnya sebagai "malam kemenangan TNI atas KNIL".Â
Julius Tahija, seorang eks-KNIL yang bergabung dalam Republik (dan menjadi pengusaha di era kemerdekaan, dengan salah satunya mendirikan Bank Niaga), yang menjadi bagian dari delegasi militer Republik, dalam biografinya, "Beyond Horizon" (judul Bahasa Indonesia : Melintas Cakrawala), menuliskan, "Aku banyak belajar dari cara Jenderal Simatupang menghadapi pasangan lawannya dari pihak Belanda. Â