Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Tutor - Petani - Marhaenis

Marhaenism affiliate with IKA

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengurai Polemik PPN 12%: Apakah Daya Beli Masyarakat akan Bertahan?

30 Desember 2024   04:00 Diperbarui: 30 Desember 2024   23:16 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengolah data makro ekonomi (Sumber: GrokAI/prompt pribadi)

Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12% mulai 1 Januari 2025. Menurut Telisa Aulia Falianty, Guru Besar FEB UI, kebijakan ini dianggap berpotensi menambah beban masyarakat, terutama di tengah tekanan ekonomi global yang belum sepenuhnya pulih. Kekhawatiran terbesar muncul dari dampaknya terhadap daya beli masyarakat, salah satu tulang punggung utama kestabilan ekonomi domestik.

Namun, apakah benar kenaikan PPN otomatis akan melemahkan daya beli? Untuk menjawab pertanyaan ini, penting untuk melihat kembali pengalaman serupa pada tahun 2022. Pengalaman kenaikan PPN dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022 dapat memberikan perspektif berharga. Saat itu, meskipun sempat menuai kritik, data ekonomi menunjukkan bahwa daya beli masyarakat tetap stabil, bahkan pertumbuhan ekonomi Indonesia berhasil mencatatkan tren positif. Hal ini mengindikasikan bahwa kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN tidak selalu berdampak negatif seperti yang banyak dikhawatirkan.

Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga (y-o-y) dalam persen (Sumber: BPS/olahan pribadi)
Laju pertumbuhan konsumsi rumah tangga (y-o-y) dalam persen (Sumber: BPS/olahan pribadi)

Artikel ini akan membahas lebih dalam dampak kenaikan PPN dari perspektif ekonomi makro, mengulas data dan fakta yang relevan, serta memberikan analisa apakah kebijakan ini akan benar-benar mengancam daya beli masyarakat. Dengan memahami konteks yang lebih luas, diharapkan polemik ini dapat dilihat secara lebih objektif, tanpa terjebak pada asumsi semata.

Rasionalisasi Fiskal

Keputusan pemerintah Indonesia untuk menaikkan tarif PPN menjadi 12 persen, menandai momen penting dalam strategi pengelolaan fiskal negara. Dalam menghadapi kebutuhan pembangunan nasional yang terus meningkat, peningkatan pendapatan negara menjadi prioritas utama sekaligus mengurangi defisit keuangan negara. Data menunjukkan rasio penerimaan pajak terhadap PDB Indonesia cenderung menurun dari 11,3% pada 2012 menjadi 9,6% pada 2023. Oleh sebab itu PPN dipilih sebagai instrumen penerimaan negara andalan yang paling stabil—menurut tren Best International Practices—dengan cakupan basis pajak yang luas serta mudah adaptif.

Rasio penerimaan pajak terhadap PDB 2010-2023, (Sumber: BPS dan Kompas.id)
Rasio penerimaan pajak terhadap PDB 2010-2023, (Sumber: BPS dan Kompas.id)

Ekonom Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, mengungkapkan meskipun penaikan tarif PPN cenderung bergeser dari prinsip idealisme, ada sesuatu yang bisa dipahami bahwa pemerintah menghadapi keterbatasan pilihan untuk melaksanakan program strategis pemerintahan baru. Program-program strategis yang juga telah dikonseptualisasikan ke dalam delapan misi Asta Cita diantaranya: membiayai proyek infrastruktur pembangunan jalan, jembatan, dan fasilitas umum lainnya mulai dari desa; memperkuat sektor pendidikan termasuk program makan siang gratis, kesehatan, dan perumahan rakyat. Dengan pendapatan tambahan dari PPN, pemerintah memiliki kapasitas yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tanpa menambah beban utang negara.

Selanjutnya, alasan kenaikan tarif PPN juga mencakup modernisasi sistem perpajakan dan penyederhanaan administrasi perpajakan. Secara historis, postur fiskal era-era sebelumnya memperlihatkan ketergantungan penerimaan dari pajak sumber daya alam dan komoditas yang rentan terhadap fluktuasi harga global, perang dagang, maupun konflik perang konvensional yang belum berkesudahan di beberapa belahan dunia. Sebaliknya, PPN adalah pilihan praktis yang berbasis konsumsi domestik dan tidak terlalu rumit untuk diprediksi.

era-era sebelumnya memperlihatkan ketergantungan penerimaan dari pajak sumber daya alam dan komoditas yang rentan terhadap fluktuasi harga global, perang dagang, maupun konflik perang konvensional yang belum berkesudahan. Sebaliknya, PPN adalah pilihan praktis yang berbasis konsumsi domestik...

Kenaikan PPN juga berhubungan dengan penyederhanaan administrasi perpajakan di Indonesia, yang diharapkan dapat mengurangi beban administratif baik bagi pemerintah maupun wajib pajak, serta meningkatkan kepatuhan pajak. Pertama, penerapan teknologi untuk pengawasan yang lebih baik. dalam konteks modernisasi, pemerintah Indonesia juga sedang mengembangkan teknologi informasi (coretax) yang mempermudah proses pelaporan dan pembayaran pajak. Penyederhanaan administrasi ini meminimalkan interaksi manual, mengurangi kemungkinan kesalahan, dan mempercepat pengumpulan pajak.

Kedua, penghapusan atau pengurangan pajak yang lebih rumit. Sebelumnya, banyak Wajib Pajak, terutama pelaku UMKM, harus mengelola banyak jenis pajak yang berbeda dan dengan proses administrasi yang seringkali membingungkan. Dengan mengurangi jenis pajak yang diterapkan dan penyederhanaan komputerisasi, proses pelaporan, baik WP besar maupun kecil dapat lebih fokus pada kewajiban pajak mereka tanpa terbebani oleh kerumitan administrasi yang berlebihan. Penggunaan sistem digital yang terintegrasi mempercepat proses verifikasi, pengumpulan, dan pemeriksaan pajak secara efisien.

Logo coretax, (Sumber: Dirjen Pajak)
Logo coretax, (Sumber: Dirjen Pajak)

Terakhir, harmonisasi tarif PPN pada standar global. Banyak negara telah menetapkan PPN mereka pada kisaran 12% hingga 25%. Negara-negara maju seperti Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia—lebih dikenal dengan istilah kawasan pajak Nordik—telah menerapkan PPN dengan tarif yang lebih tinggi, kisaran 25%. Sedangkan, beberapa negara berkembang di Asia dan Amerika Latin juga telah menaikkan tarif PPN mereka dalam beberapa tahun terakhir. Seperti India yang menaikkan PPN menjadi 18% dan Brazil yang menaikkan multiple-rate PPN mereka dikisaran 17%-25%. 

Sejak sistem PPN diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1984, tarif PPN tidak pernah disesuaikan hingga tahun 2022. Oleh sebab itu saat ini Pemerintah berupaya untuk menyelaraskan kebijakan perpajakan Indonesia dengan standar internasional yang umum diterapkan di banyak negara. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan keselarasan sistem perpajakan Indonesia dengan praktik terbaik global, serta memperkuat basis penerimaan pajak pemerintah untuk mendukung program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.


Dampak Potensial Pada Daya Beli Masyarakat

Dampak kenaikan PPN terhadap konsumsi rumah tangga memang masih menjadi topik yang debatable. Sementara sebagian kalangan berpendapat bahwa kenaikan PPN otomatis akan mengurangi daya beli masyarakat dan atau mengalami tren negatif, vice versa. Pada dasarnya dinamika ekonomi hampir bisa diprediksi secara tepat, namun ada banyak komponen lain yang tidak selalu tergambar dalam grafik makro ekonomi, yaitu kebiasaan konsumsi (behavioural) homo economicus. 

Perlambatan ekonomi yang terlihat dari tren negatif terhadap konsumsi rumah tangga sebenarnya bisa dipahami dengan pengandaian sederhana. Misalnya, sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin tidak bisa lepas ketergantungan dari konsumsi mie instan. 

Kita asumsikan diri kita termasuk dalam populasi masyarakat yang bergantung pada produk tersebut. Efek (isu) PPN ditambah musim akhir liburan Nataru membuat produk mie instan langgangan ikut menaikkan harga. Imbasnya? Belum tentu loh kita mengurangi konsumsi mie instan bisa jadi justru mencari produk subtitusinya yang harganya—misalkan—lebih murah 2000 rupiah. Dari awalnya konsumen setia Mie Sedot kemudian beralih menjadi Mie Sariplus karena dipaksa oleh keadaan keuangan. 

Jangan pikir bahwa perilaku subtitusi ini cuma berlaku bagi kita saja, ada 200 juta masyarakat Indonesia yang masih terus menggunakan pikirannya. Bayangkan, jika ratusan juta masyarakat turut melakukan perilaku konsumtif serupa ini dan terakumulasi selama setahun?; 2000*5 (untuk per minggu)*52 minggu*200 juta=?; Belum lagi jika komoditas selain mie instan pun diperlakukan serupa ini? Betul!

Jadi meskipun aktivitas ekonomi ini tercatat oleh ekonomi atau surveyor BPS, yang tergambar dalam grafik makro ekonomi mungkin sekadar tren negatif pertumbuhan PDB berdasarkan harga konstannya saja, tetapi tidak secara eksplisit menggambarkan realitas riil bahwa konsumsi (mie instan) rumah tangga masih terus survive.

Kembali ke topik yang debatable, pengalaman Rusia menaikkan PPN dari 18% menjadi 20% juga bisa memberikan wawasan penting tentang mengelola konflik pro-kontra kenaikkan tarif PPN. Kenaikkan tarif PPN Rusia memberi gambaran mencekam atas tata kelola agenda settings kebijakan. Pasalnya tarif yang hanya naik 2 poin persen tersebut berdampak memperlambat pertumbuhan ekonomi 0,4% pada PDB, serta mendongkrak inflasi melebihi ekspetasi bank sentral Rusia (Zemlyakova, 2018)

Usut-punya-usut, inflasi Rusia tersebut diperparah oleh perilaku pengusaha di sektor produksi manufaktur/ekstraktif/hulu pos bahan baku. Kalangan ini enggan menanggung beban pajaknya sendiri dan lebih memilih untuk membebankan tarif PPN lebih tinggi kepada konsumen—inilah yang disebut sebagai pengusaha spekulan yang oportunis dalam melihat peluang aji mumpung atas isu kenaikan tarif PPN.

Apa yang pernah terjadi di Rusia nampaknya tidak begitu asing dengan dinamika yang berlangsung belakangan hari ini. Salah satu contoh hoaks yang berhasil dikonfrontasi oleh pegawai DJP misalnya soal postingan X/Twitter yang mendistorsi literasi perpajakan dengan skema penghitungan PPN ala Amerika Serikat. Padahal fungsi PPN dalam kaidah perpajakan kita adalah penghilang efek bertingkat atau berjenjang (cascading effect), seperti PPN kebanyakan yang berlaku di negara di mana Sosialisme pernah lahir.

DJP membuat keterangan sanggahan atas hoaks yang beredar (Sumber: https://x.com/DitjenPajakRI)
DJP membuat keterangan sanggahan atas hoaks yang beredar (Sumber: https://x.com/DitjenPajakRI)

…hoaks…mendistorsi literasi perpajakan dengan skema PPN ala Amerika Serikat. Padahal fungsi PPN…adalah penghilang efek bertingkat (cascading effect)

Masih ada banyak contoh komparatif negara lain, khususnya negara developing yang memiliki pengalaman penaikan tarif PPN untuk dibahas lebih lanjut. Akan tetapi tidak cukup rasanya bila kita melewatkan pengalaman bangsa sendiri saat PPN 11% pertama kali diterapkan. 

Salah satunya berdasarkan penelitian terhadap sampel populasi konsumen Indomaret di Kecamatan Caringin, Bogor, menemukan kesimpulan bahwa kenaikan tarif PPN (dari 10% jadi 11%) secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap daya beli masyarakat (Febrisha, 2023). Peneliti juga memberi catatan tambahan bahwa target sampel populasi konsumen ritel memperkecil cakupan instrumen konsumsi sebatas pada barang kebutuhan sehari-hari sehingga tidak mencerminkan asumsi pada daya beli barang atau jasa untuk kebutuhan validasi status sosial (barang mewah).

Penutup

Dalam menghadapi kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, penting untuk menyoroti peran literasi perpajakan untuk membangun pemahaman yang lebih objektif di masyarakat. Meskipun kendala polarisasi pasca pilpres masih terkristalisasi, kemanfaatan literasi perpajakan tidak hanya mencakup pemahaman teknis mengenai aturan perpajakan, tetapi juga kemampuan masyarakat untuk menilai dampak kebijakan tersebut terhadap perekonomian, termasuk daya beli mereka sendiri.

Kurangnya literasi perpajakan sering kali membuka celah bagi munculnya misinformasi yang memperkeruh perdebatan. Hal ini, pada gilirannya, dapat memperburuk persepsi publik terhadap kebijakan fiskal pemerintah, meskipun kebijakan tersebut didasarkan pada kebutuhan strategis jangka panjang, seperti meningkatkan penerimaan negara dan menyelaraskan sistem perpajakan dengan standar internasional.

Melalui peningkatan literasi perpajakan, masyarakat dapat lebih memahami bahwa PPN bukan sekadar beban tambahan, tetapi juga instrumen vital untuk mendukung pembangunan dan pelayanan publik. Pemahaman yang baik akan mendorong masyarakat untuk bersikap lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima, mengurangi ketergantungan pada asumsi yang salah, serta melihat kebijakan ini dalam konteks yang lebih luas dan berimbang. Dengan demikian, polemik kenaikan tarif PPN dapat dikelola lebih baik, membuka ruang diskusi yang lebih produktif untuk mencari solusi yang adil bagi semua pihak.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun