Terakhir, harmonisasi tarif PPN pada standar global. Banyak negara telah menetapkan PPN mereka pada kisaran 12% hingga 25%. Negara-negara maju seperti Denmark, Norwegia, Swedia, Finlandia, dan Islandia—lebih dikenal dengan istilah kawasan pajak Nordik—telah menerapkan PPN dengan tarif yang lebih tinggi, kisaran 25%. Sedangkan, beberapa negara berkembang di Asia dan Amerika Latin juga telah menaikkan tarif PPN mereka dalam beberapa tahun terakhir. Seperti India yang menaikkan PPN menjadi 18% dan Brazil yang menaikkan multiple-rate PPN mereka dikisaran 17%-25%.Â
Sejak sistem PPN diperkenalkan di Indonesia pada tahun 1984, tarif PPN tidak pernah disesuaikan hingga tahun 2022. Oleh sebab itu saat ini Pemerintah berupaya untuk menyelaraskan kebijakan perpajakan Indonesia dengan standar internasional yang umum diterapkan di banyak negara. Hal ini diharapkan dapat meningkatkan keselarasan sistem perpajakan Indonesia dengan praktik terbaik global, serta memperkuat basis penerimaan pajak pemerintah untuk mendukung program pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.
Dampak Potensial Pada Daya Beli Masyarakat
Dampak kenaikan PPN terhadap konsumsi rumah tangga memang masih menjadi topik yang debatable. Sementara sebagian kalangan berpendapat bahwa kenaikan PPN otomatis akan mengurangi daya beli masyarakat dan atau mengalami tren negatif, vice versa. Pada dasarnya dinamika ekonomi hampir bisa diprediksi secara tepat, namun ada banyak komponen lain yang tidak selalu tergambar dalam grafik makro ekonomi, yaitu kebiasaan konsumsi (behavioural) homo economicus.Â
Perlambatan ekonomi yang terlihat dari tren negatif terhadap konsumsi rumah tangga sebenarnya bisa dipahami dengan pengandaian sederhana. Misalnya, sebagian besar masyarakat Indonesia mungkin tidak bisa lepas ketergantungan dari konsumsi mie instan.Â
Kita asumsikan diri kita termasuk dalam populasi masyarakat yang bergantung pada produk tersebut. Efek (isu) PPN ditambah musim akhir liburan Nataru membuat produk mie instan langgangan ikut menaikkan harga. Imbasnya? Belum tentu loh kita mengurangi konsumsi mie instan bisa jadi justru mencari produk subtitusinya yang harganya—misalkan—lebih murah 2000 rupiah. Dari awalnya konsumen setia Mie Sedot kemudian beralih menjadi Mie Sariplus karena dipaksa oleh keadaan keuangan.Â
Jangan pikir bahwa perilaku subtitusi ini cuma berlaku bagi kita saja, ada 200 juta masyarakat Indonesia yang masih terus menggunakan pikirannya. Bayangkan, jika ratusan juta masyarakat turut melakukan perilaku konsumtif serupa ini dan terakumulasi selama setahun?; 2000*5 (untuk per minggu)*52 minggu*200 juta=?; Belum lagi jika komoditas selain mie instan pun diperlakukan serupa ini? Betul!
Jadi meskipun aktivitas ekonomi ini tercatat oleh ekonomi atau surveyor BPS, yang tergambar dalam grafik makro ekonomi mungkin sekadar tren negatif pertumbuhan PDB berdasarkan harga konstannya saja, tetapi tidak secara eksplisit menggambarkan realitas riil bahwa konsumsi (mie instan) rumah tangga masih terus survive.
Kembali ke topik yang debatable, pengalaman Rusia menaikkan PPN dari 18% menjadi 20% juga bisa memberikan wawasan penting tentang mengelola konflik pro-kontra kenaikkan tarif PPN. Kenaikkan tarif PPN Rusia memberi gambaran mencekam atas tata kelola agenda settings kebijakan. Pasalnya tarif yang hanya naik 2 poin persen tersebut berdampak memperlambat pertumbuhan ekonomi 0,4% pada PDB, serta mendongkrak inflasi melebihi ekspetasi bank sentral Rusia (Zemlyakova, 2018)
Usut-punya-usut, inflasi Rusia tersebut diperparah oleh perilaku pengusaha di sektor produksi manufaktur/ekstraktif/hulu pos bahan baku. Kalangan ini enggan menanggung beban pajaknya sendiri dan lebih memilih untuk membebankan tarif PPN lebih tinggi kepada konsumen—inilah yang disebut sebagai pengusaha spekulan yang oportunis dalam melihat peluang aji mumpung atas isu kenaikan tarif PPN.