Mohon tunggu...
Benito Sinaga
Benito Sinaga Mohon Tunggu... Tutor - Petani - Marhaenis

Marhaenism affiliate with IKA

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mengurai Polemik PPN 12%: Apakah Daya Beli Masyarakat akan Bertahan?

30 Desember 2024   04:00 Diperbarui: 30 Desember 2024   23:16 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi mengolah data makro ekonomi (Sumber: GrokAI/prompt pribadi)

Apa yang pernah terjadi di Rusia nampaknya tidak begitu asing dengan dinamika yang berlangsung belakangan hari ini. Salah satu contoh hoaks yang berhasil dikonfrontasi oleh pegawai DJP misalnya soal postingan X/Twitter yang mendistorsi literasi perpajakan dengan skema penghitungan PPN ala Amerika Serikat. Padahal fungsi PPN dalam kaidah perpajakan kita adalah penghilang efek bertingkat atau berjenjang (cascading effect), seperti PPN kebanyakan yang berlaku di negara di mana Sosialisme pernah lahir.

DJP membuat keterangan sanggahan atas hoaks yang beredar (Sumber: https://x.com/DitjenPajakRI)
DJP membuat keterangan sanggahan atas hoaks yang beredar (Sumber: https://x.com/DitjenPajakRI)

…hoaks…mendistorsi literasi perpajakan dengan skema PPN ala Amerika Serikat. Padahal fungsi PPN…adalah penghilang efek bertingkat (cascading effect)

Masih ada banyak contoh komparatif negara lain, khususnya negara developing yang memiliki pengalaman penaikan tarif PPN untuk dibahas lebih lanjut. Akan tetapi tidak cukup rasanya bila kita melewatkan pengalaman bangsa sendiri saat PPN 11% pertama kali diterapkan. 

Salah satunya berdasarkan penelitian terhadap sampel populasi konsumen Indomaret di Kecamatan Caringin, Bogor, menemukan kesimpulan bahwa kenaikan tarif PPN (dari 10% jadi 11%) secara parsial tidak berpengaruh signifikan terhadap daya beli masyarakat (Febrisha, 2023). Peneliti juga memberi catatan tambahan bahwa target sampel populasi konsumen ritel memperkecil cakupan instrumen konsumsi sebatas pada barang kebutuhan sehari-hari sehingga tidak mencerminkan asumsi pada daya beli barang atau jasa untuk kebutuhan validasi status sosial (barang mewah).

Penutup

Dalam menghadapi kebijakan kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, penting untuk menyoroti peran literasi perpajakan untuk membangun pemahaman yang lebih objektif di masyarakat. Meskipun kendala polarisasi pasca pilpres masih terkristalisasi, kemanfaatan literasi perpajakan tidak hanya mencakup pemahaman teknis mengenai aturan perpajakan, tetapi juga kemampuan masyarakat untuk menilai dampak kebijakan tersebut terhadap perekonomian, termasuk daya beli mereka sendiri.

Kurangnya literasi perpajakan sering kali membuka celah bagi munculnya misinformasi yang memperkeruh perdebatan. Hal ini, pada gilirannya, dapat memperburuk persepsi publik terhadap kebijakan fiskal pemerintah, meskipun kebijakan tersebut didasarkan pada kebutuhan strategis jangka panjang, seperti meningkatkan penerimaan negara dan menyelaraskan sistem perpajakan dengan standar internasional.

Melalui peningkatan literasi perpajakan, masyarakat dapat lebih memahami bahwa PPN bukan sekadar beban tambahan, tetapi juga instrumen vital untuk mendukung pembangunan dan pelayanan publik. Pemahaman yang baik akan mendorong masyarakat untuk bersikap lebih kritis terhadap informasi yang mereka terima, mengurangi ketergantungan pada asumsi yang salah, serta melihat kebijakan ini dalam konteks yang lebih luas dan berimbang. Dengan demikian, polemik kenaikan tarif PPN dapat dikelola lebih baik, membuka ruang diskusi yang lebih produktif untuk mencari solusi yang adil bagi semua pihak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun