"Ayah, kenapa pria ini memilih menjadi pemabuk berat yang tak dapat berkata-kata?"
Dan sang ayah menjelaskan hal yang menjadi dasar kecintaan Markus kecil pada ilmu kebijaksanaan (nantinya ia adalah pelajar ilmu hukum dan filsafat),Â
"Anakku, bila nanti kamu besar, janganlah kamu seperti orang ini yang kebanyakan minum sehingga hilang kesadaran, tak dapat berdiri dan berjalan. Ia menjadi orang yang kehilangan akal, tak bisa bicara dengan kata yang tepat, dan tak tahu lagi yang ia lakukan. Beberapa ditemukan terperosok di selokan, tenggelam, dan mati beku di tengah musim dingin. Jadi lihat, bagaimana orang ini menghina Tuhan yang mahapengasih. Pertama-tama ia menggunakan uang atas kemurahan hati Tuhan namun disia-siakan untuk makanan dan minuman yang tidak berguna dan kerusakkannya sendiri. Minuman yang disalahgunakan ini menjadikannya seperti binatang tanpa akal. Lebih-lebih ia adalah contoh buruk dari fenomena alam semesta yang menempatkan dirinya pada celaka; binatang sekalipun tidak akan pernah!"
Cerita masa hidup St. Fidelis umumnya beredar di internet, seperti halaman wikipedia, Fidelis dari Sigmaringen; dan laman Keuskupan Agung Freiburg. Saya pribadi hanyut dalam kisah hidupnya, hingga menyelesaikan catatan ini dekat tengah malam.
Populer atau kekinian
Di masa sekarang ini umat Kristen di Indonesia, baik Katolik maupun Protestan, tak banyak mewarisi konflik sejarah denominasi Kristen. Misalnya, anggapan "asalkan ia percaya dengan ketuhanan Yesus Kristus", adalah pernyataan yang familiar di telinga saya.
Dari beberapa pengalaman maupun pergaulan sesama kawan Kristen, saya mendapati pertimbangan kenyamanan liturgi adalah paling mendasar bagi pilihan bergereja. Saya misalnya, yang akrab dengan liturgi katolik merasa tak nyaman dengan liturgi sebagaian besar protestan yang kerap menggelegar sewaktu khotbah. Saya tak mendapati suasana batin yang khusuk dengan cara itu. Atau pernah juga praktik "bahasa roh", justru membuat saya masa bodo dan tetap mematung.
Psikologis saya memang memberontak, namun saya tetap ikuti proses itu sampai selesai, meskipun tidak baik-baik saja, hanya karena menjaga perasaan orang di sekitar saya.
Rupanya memang ada penjelasan teologis atas keadaan psikologis tersebut. Dasar teologis sakramen ekaristi di gereja katolik yang mengedepankan kesakralan Perjamuan Kudus adalah iman dan tradisi gereja Apostolik. Sehingga liturgi disusun sedemikian rupa oleh gereja katolik agar menjaga kesakralan upacara tersebut, dan lebih menghayati iman atas buah pengajaran Yesus Kristus di dunia yang fana; dan dalam pandangan saya, gereja katolik konsisten dalam wisdom itu (apostolik) karena imam yang berkaul selibat.
Mereka, para imam Gereja Katolik, adalah satu-satunya yang menjalankan bukan hanya tradisi gereja perdana melainkan ajaran Yesus Kristus, bahwa KerajaanNya bukanlah dari dunia ini. Geraja katolik tidak membuat liturgi yang meriah dan menarik atau unik, melainkan mengajak orang berdosa seperti saya untuk mengenal kehidupan spiritual sejati. Keteguhan iman St. Fidelis mengenai Gereja Apostolik barangkali serupa dengan pandangan saya.Â