Dean berlari sepulang dari masjid, Â nafasnya ngos-ngosan, Â Emak dan Bapak sampai panik dibuatnya.
"Ada apa Dean?"
"Orang-orang sudah mulai mendaftar, Pak. Â Apa Bapak sama Emak tidak mendaftar juga?"
Bapak dan Emak saling berpandangan dengan mimik yang begitu serius dan mulai terlihat pucat.
"Bagaimana, Pak?"
Bapak hanya menghela nafas lalu menarik kursi dan duduk tenang. Â Dean dan Emak menunggu apa yang akan dikatakan Bapak. Merasa bersalah telah membuat orangtuanya seperti itu, Â Dean pun segera meminta maaf dan pamit masuk kamar.
"Bapak takut? Â Emak takut, Pak. Belum siap. Nanti kenapa-kenapa lagi sama Emak, Â kan Bapak sama Dean jadi repot.
"Ya, Â kita bukan menolak tapi melihat kenyataan yang terjadi di berbagai berita memang membuat Bapak juga harus berpikir seribu kali."
Emak dan Bapak yang tadinya akan makan siang jadi tidak berselera lagi.
"Kalau Pak RT datang, apa jawaban kita Pak?"
"Biar Bapak nanti yang menjelaskan, Â semoga ada kemudahan untuk kita."
Dean yang mendengarkan dari dalam kamarjadi sedikit bingung.
Dalam hatinya bertanya-tanya mengapa Emak dan Bapak ketakutan.
***
Emak menyiapkan makan malam dengan tidak bersemangat, Â biasanya selalu ramai meskipun hanya bertiga malam ini meja makan seperti hutan yang sunyi. Dean memandang kedua orangtuanya bergantian. Makin penasaran ingin tahu apa sebenarnya yang terjadi. Dean jadi tidak enak hati.
"Pak, Â Mak, Â kenapa jadi sunyi begini ya, Â tidak seperti biasanya."
Emak dan Bapak berpandangan lagi. Dean makin risau melihat orangtuanya seperti itu.
"Dean boleh tahu Mak, Pak, Â ada apa, apa Dean sudah melakukan kesalahan?"
"Tidak Dean, Â ayo makan yang banyak biar sehat."
"Dean, tadi ada banyak orang yang daftar ya, kira-kira berapa orang?" Bapak bertanya untuk memulai pembicaran.
"Tadi Dean lihat di papan pengumuman ada 13 orang, Â kata Pak Ustadz, Â kurang satu lagi."
Bapak dan Emak saling memandang dan matanya sedikit mendelik.
"Kurang satu, apa jumlah peserta dibatasi?"
"Enggak sih, kalau ada yang mau ya boleh saja. Tapi kan memang masing-masing harus tujuh orang." Dean menjawab sambil mulutnya penuh makanan.
Bapak dan Emak hanya menghela nafas.
"Mungkin bertahap ya, Pak." Emak mulai membersihkan meja makan dibantu Dean
"Entahlah, Mak."
***
Dean melihat kalender, kurang 3 minggu lagi sudah Idul Adha, dia bertanya dalam hati, mengapa Bapaknya belum juga segera mendaftar untuk bergabung membeli sapi. Karena Dean pernah dengar tahun ini Bapak akan ikut kurban. Terus mengapa Bapak sama Emak seperti gamang begitu. Apa uang tabungan untuk kurban sudah terpakai buat keperluan lain. Pikiran dan hati Dean berkecamuk.
Dean ingat nasehat Ustad kalau sudah ada niat baik in shaa Allah akan dimudahkan. Penasaran sekali hatinya, sebab kalau sampai Bapak batal ikut, Dean bisa malu, Â karena sudah cerita di depan Ustad dan teman-temannya.
Kata Ustad orang yang mau menyisihkan hartanya untuk berkurban maka dia telah bersyukur kepada Allah dan berusaha mendapatkan kebaikan dunia akhirat. Â Walau orangtua Dean penghasilannya biasa tapi berusaha menabung agar bisa ikut berkurban. Â Kata Ustad lagi, bagi siapa yang diberi kelapangan harta dan tidak mau berkurban maka ketaqwaanya dipertanyakan.
Dean juga ingat Ustad menyampaikan, dengan berkurban bisa menyenangkan tetangga dan kerabat karena bisa berbagi.
"Aduh, Â kalau sampai Bapak tidak jadi berkurban, ketaqwaan Bapak bisa berkurang, Â pahala juga tidak dapat nih."Dean berbicara dengan dirinya sendiri.
"Dean!"
"Ya, Â Pak." Mendengar panggilan Bapaknya, Dean segera menghentikan pikiran dan hatinya yang kemana-mana.
"Ada apa, Pak?"
"Apa tidak ada kabar dari Pak Ustad perihal rencana kurban di masjid sini?"
"Hla, kan Dean sudah sampaikan ke Bapak beberapa hari lalu, Â kurang satu orang untuk pembelian sapi ke 2."
"O ... , jadi yang pendaftaran itu untuk kurban to?"
"Iya, Â Bapak kira untuk apa?"
Bapak tertawa terpingkal-pingkal, Â membuat Dean jadi penasaran, Â dan Emak yang ada di halaman berteriak bertanya pula, ada apa gerangan Bapak kok ngakak sampai terdengar dari luar rumah.
Bapak benar-benar terpingkal sampai keluar air dari matanya.
"Terus sekarang bagaimana, Â kata Pak Ustad?" Bapak bertanya dengan masih meninggalkan sisa tawanya.
"Ya, ditunggu hari ini terakhir, Â Bapak kalau memang mau ikut berkurban segera menghubungi Ustad."
"Ada apa, Pak? Bapak kok kenceng sekali tertawanya." Ibu masuk rumah dengan membawa rasa penasarannya.
"Hahaha, Â nanti Bapak cerita ya, Â sekarang Bapak mau ke Pak Ustad dulu.
"Bapak jadi ikut kurban?" mata Dean terlihat berbinar mendengar Bapaknya akan ke Pak Ustad.
"Iya, alhamdulillah ada kemudahan menabung, Dean mau ikut ke Pak Ustad?"
"Iya, Pak." Senang hati Dean hilang sudah gundanya karena Bapak jadi ikut kurban tahun ini.
Saat di jalan Dean sempat bertanya pada Bapaknya, "Terus Bapak sama Emak mengira pendaftaran apa ya?"
Bapak hanya menunjukkan barisan giginya, pundaknya sedikit berguncang, jemarinya menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal.
Idul Adha, Â 20 Juli 2021
Swarna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H