Kami berbincang santai, aku cukup lama menahan rasa tak nyaman, entah mengapa Johan tidak segera mengajak Sonia pulang, malah berlama-lama bercerita tentang kebahagiaan mereka. Sesekali aku menangkap mata Johan yang mencari kebenaran dari diriku. Aku berusaha rilek dan cuek, tetap berusaha berbincang santai.
"Sudah petang, Â kami permisi dulu. Mohon maaf bila ada ucapan atau tingkah kami yang kurang sopan."
"Iya, Â sama-sama."
Aku dan ibu mengantarkan mereka di halaman, Â ibu merangkulku erat. Aku tetap menyembunyikan mendung yang mulai menggantung di mataku.
Malam ini langit bahagia sekali, Â bertabur cahaya bintang, aku menikmati diriku dalam kesendirian dan pasti butiran bening tak henti mengalir di pipiku.
Aku belum siap memberi tahu pada ibu. Butuh waktu yang tepat agar tidak membuatnya makin gelisah.
Nada pesan terdengar dari gawaiku, Â Johan. Ada apa dia?
[Sari, Â bila memerlukan bantuanku jangan segan ya, bisa menelponku atau kirim pesan]
[Kamu boleh sering-sering kirim kabar]
Pesan itu hanya kubaca, Â aku tak ingin membalasnya. Jangan sampai jadi pengganggu kebahagiaan Sonia. Johan apa yang kamu rasakan, Â apakah kehilangan diriku? Â Lantas kemana hatimu saat itu? Padahal seminggu sebelum kamu bertemu Sonia lagi, sudah berkata akan melupakan perjanjian, dan aku melambung saat kamu memperlakukanku dengan istimewa. Kita bagaikan di nirwana. Tapi kamu tak perlu tahu, akhirnya malaikat kecil sudah Tuhan titipkan di rahimku yang akan menemani hari-hariku. Kamu sudah ada Sonia.
****
Perutku sudah mulai tampak sedikit membuncit, Â aku bahagia sekali, maafkan bunda nak, Â bila terlahir nanti tak kau temukan sosok ayah.
Bunda memang bodoh, Â tidak menghalangi keegoisan ayahmu, Â harusnya bisa berpikir jernih sebelum mengikuti keputusan ayahmu. Semua sudah terjadi, percuma disesali. Tapi bukan pula salah kami, Â kami tak tahu bila kau akan hadir.