Anak itu menangis.
Bukit itu angker, siapa yang berani masuk tak akan bisa keluar. Sudah banyak korbannya. Satu minggu lalu, seorang wanita juga hilang. Anak laki-laki itu duduk di atas jerami padi, memandangi bukit yang menjulang itu. Dia bertanya, apa yang sedang kakeknya perbuat? Apa benar, dia menjadi santapan raksasa penunggu bukit itu.
Anak itu menangis lagi, sampai tak keluar air matanya.
Warga desa panik dan gaduh. Dua orang hilang dalam waktu berdekatan. Raksasa penunggu bukit murka, bisa celaka bila terus dibiarkan. Ruatan besar sebagai acara pembersihan desa langsung dilakukan.
Dua bulan kemudian, hujan masih belum turun juga.
Tabrakan bus dengan gerobak menyebabkan kemacetan panjang yang mengular. Panas yang keterlaluan membuat dahaga tak tertahankan. Aku membelokan mobil pick up milikku dan memarkirnya di depan penjual es dawet ayu. Di sebelah gubuk penjual dawet ayu berjejer layang-layang berbagai bentuk dengan warna-warni yang menarik. Bayangan kakek dan cucu itu selalu muncul tiap kali aku melihat layang-layang.
Aku ingin membelikan keponakanku layang-layang berbentuk kupu-kupu.
“Yang kupu-kupu harganya berapa, pak ?”
Kampret. Si pedagang sedang bermesraan dengan pacarnya. Tua bangka masih saja bermesraan di tempat umum.
Penjual itu terkejut. “ 20 ribu mas.”
“ Mbah Karyo?”