Jika kau ikuti jalan setapak di sebelah surau kecil itu, kau akan sampai pada hamparan sawah yang dibiarkan mengering di musim kemarau. Dibiarkannya tanah yang haus akan air itu membelah lebar mengerikan. Ya. Ketika musim penghujan, sawah menjadi pengharapan bagi semua orang. Namun, ketika kemarau datang, sawah itu tak ubahnya lapangan tempat anak-anak menerbangkan layang-layang.Disaat beberapa petani mengepulkan asap dari klobotnya sembari merutuki kemarau panjang. Dari balik awan, layang-layang mengintip sambil tersenyum bahagia, merasakan kebebasan, terbang, setelah berbulan-bulan hidup di pengasingan, di dalam gudang, dikencingi oleh tikus kemudian sobek di sana-sini.
Siang itu, tak ada angin. Matahari tepat diatas kepala, bahkan bayangan saja enggan mengikuti tuannya, Ia memilih bersembunyi. Ibu-ibu bermulut lebar duduk di teras menenggak es limun sampai tetes terakhir. Ditengah kegaduhan, aku melihat mereka berdua –kakek dan cucunya, berjalan tanpa alas kaki, menuju sawah. Si anak berumur tujuh tahun itu berjalan cepat sembari melompat, kegirangan. Satu tangannya memegang layang-layang kodokan, tangan yang lainnya menggenggam tangan si kakek yang mulai mengeriput. Ah. Pemandangan yang mengharukan, bukan?
Kakeknya memegang tali senur, anak laki-laki itu berjalan jauh menuju ke utara untuk menerbangkan layang-layangnya. Dari kejauhan, terdengar sayup-sayup suara kakek tua itu memperingatkan cucunya, agar berhati-hati jangan sampai kakinya masuk pada tela sawah. Kakek itu menambahkan, berhati-hati juga pada ular sawah, jangan kau injak ekornya.
Aku beritahu, menurut cerita yang aku dengar dari kakekku, dia –kakek tua itu merupakan orang paling jago dalam hal menerbangkan layang-layang. Tak ada yang bisa menandinginya. Kakekku tidak bohong. Ya, dengan mata kepalaku sendiri, aku melihat layang-layang itu terbang tinggi, naik sampai menyentuh langit.
Tak ada angin, daun-daun mematung.
Anak laki-laki itu bersorak-sorai, girang tiada kepalang. Anak laki-laki itu berkata pada kakeknya, lebih tinggi biar dia menyentuh langit, lebih tinggi biar dia bisa bersapa dengan burung-burung, lebih tinggi biar dia bisa melihatku dan kau dari atas sana, lebih tinggi biar dia bisa berkompromi dengan awan, agar dia munurunkan hujan.
Lebih tinggi.
Lebih tinggi.
Tepat sebelum layang-layangnya menyentuh langit, bersapa dengan burung, melihatnya dari atas dan berkompromi dengan awan. Layang-layang itu putus. Lepas dari talinya. Terbang bebas entah menuju kemana.
Serupa dengan daun dan pepohonan di sekelilingnya, anak itu mematung. Dan berkata dalam hati, layang-layang tak akan pernah kembali. Ketika ia melihat kakeknya berlari mengejar layang-layangnya yang terbang ke arah bukit terlarang, ia berkata lagi, kakek tak akan pernah kembali.
Anak itu menangis.
Bukit itu angker, siapa yang berani masuk tak akan bisa keluar. Sudah banyak korbannya. Satu minggu lalu, seorang wanita juga hilang. Anak laki-laki itu duduk di atas jerami padi, memandangi bukit yang menjulang itu. Dia bertanya, apa yang sedang kakeknya perbuat? Apa benar, dia menjadi santapan raksasa penunggu bukit itu.
Anak itu menangis lagi, sampai tak keluar air matanya.
Warga desa panik dan gaduh. Dua orang hilang dalam waktu berdekatan. Raksasa penunggu bukit murka, bisa celaka bila terus dibiarkan. Ruatan besar sebagai acara pembersihan desa langsung dilakukan.
Dua bulan kemudian, hujan masih belum turun juga.
Tabrakan bus dengan gerobak menyebabkan kemacetan panjang yang mengular. Panas yang keterlaluan membuat dahaga tak tertahankan. Aku membelokan mobil pick up milikku dan memarkirnya di depan penjual es dawet ayu. Di sebelah gubuk penjual dawet ayu berjejer layang-layang berbagai bentuk dengan warna-warni yang menarik. Bayangan kakek dan cucu itu selalu muncul tiap kali aku melihat layang-layang.
Aku ingin membelikan keponakanku layang-layang berbentuk kupu-kupu.
“Yang kupu-kupu harganya berapa, pak ?”
Kampret. Si pedagang sedang bermesraan dengan pacarnya. Tua bangka masih saja bermesraan di tempat umum.
Penjual itu terkejut. “ 20 ribu mas.”
“ Mbah Karyo?”
Ya. Dia adalah kakek si bocah laki-laki itu. Dia tidak dimakan raksasa penunggu bukit. Dia dihadapanku sedang bercumbu dengan wanita yang aku panggil sebagai ibu.
Kami berdua bertatap mata, ibuku yang duduk disebelahnya lebih terkejut, bagaikan melihat setan, kulitnya pucat pasi. Aku mengeluarkan duit 100 ribuan, kubanting dihadapan mereka berdua. Langsung kunyalakan mobil dan aku tinggalkan tempat perkara itu.
Ibu. Iya Ibuku. Ibu juga hilang di bukit terlarang itu. Dia hilang satu minggu sebelum Mbah Karyo hilang.
Ibuku.
Tidak dimakan raksasa penunggu bukit terlarang.
Hey, bocah laki-laki.
Berhentilah menunggu. Berhentilah menangis. Kakekmu juga tidak dimakan raksasa penunggu bukit terlarang.
Hey, bocah laki-laki.
Mari kita bermain layang-layang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H