Di sana, rasa itu tak bicara soal sensasi lidah, tetapi teman ngobrol. Bukan lagi soal racikan kopi, tapi konteks ngopi. Di sana, kopi ala mahasiswa kere tak bicara soal kualitas tetapi kuantitas, bukan soal sajian tetapi keakraban, bukan soal kekentalan kopi tetapi manis gula. Kesederhanaan Kopi Tiwus bagi Ben, membuat kopi itu lebih nikmat dari Espresso ataupula Cappucino, apalagi sekedar Perfecto. Kopi Tiwus menggambarkan hidup yang indah, meski ia sukar sempurna. Dalam kopi hambar kami, kesempurnaan itu justru mewujud tanpa keindahan dan variasi.
Kopi bagi mahasiswa kere seolah hendak melampaui gambaran Dee tentang Kopi Tiwus. Hidup itu boleh pahit dengan bentuk-bentuk yang muram, menyedihkan, sedih, pilu, dan sebagainya, tapi tak perlu didramatisasi hingga ke rasa kopi. Bila hidup itu harus dijalani dengan getir, setidaknya kopi kami harus tetap manis hingga tetes terakhir. Kopi adalah gambaran kenyataan hidup, sementara gula adalah ideal-ideal tentang hidup. Tanpa ampas, hidup menjadi sempurna. Sebagaimana eksperimen Kaldi telah membuat makanan kambingnya menjadi produk berharga, inovasi demi inovasi akan membawa kita kesana. InsyaAllah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H