Mohon tunggu...
Jangkrik Pohon
Jangkrik Pohon Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Warga Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humor

Kenangan, Kopi, Kambing

22 Mei 2015   10:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:43 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alkisah, di sekitar tahun 800 SM, di sebuah tempat di dataran tinggi Ethiopia, seorang penggembala kambing Abbisinia dari Kaffa, melihat keanehan pada kambing-kambingnya. Kaldi, nama penggembala itu, melihat binatang peliharaannya menjadi bersemangat. Kambing-kambing itu melompat-lompat kegirangan seperti tersihir sepanjang hari. Kawanan itu malah jarang beristirahat dan terus saja mengembik pada malam hari.

Kaldi kebingungan. Ia mencari tahu musabab kambing-kambingnya jadi doyan bergadang. Diamatinya kawanan itu saban hari, dan menemukan mereka tengah mengonsumsi sejenis biji-bijian berwarna merah cerah yang tumbuh di semak-semak tak jauh dari sebuah biara. Ia menyangka, tampaknya biji-bijian itu yang telah membuat kambing-kambingnya seperti mendapat suplai energi tambahan.

Kaldi bereksperimen. Ia turut mencicipi makanan para binatang. Dan, seperti kelakuan kambing-kambingnya yang tak bisa terlelap di malam hari, biji-bijian konsumsi peliharaannya juga tak mampu membuat ia pulas. Kabar segera tersebar hingga ke biara. Jenis biji-bijian baru telah ditemukan dari kawasan tempat Kaldi biasa menggembala. Sebuah produk yang mampu memberi rangsangan pada tubuh untuk bertahan dari rasa kantuk.

Para biarawan segera merespon temuan Kaldi. Eksperimen dilakukan dengan merebus ranting buah merah cerah itu beberapa lama. Rasanya pahit. Para biarawan memasang kesangsian. "Buah setan," kata mereka. Kaldi hendak didepak. Sisa tanaman temuannya dimasukkan ke dalam api. Beruntung aroma wangi dari bakaran tanaman yang bercampur biji-bijian merah itu memberi kesadaran baru bagi para biarawan. Aroma wangi menyeruak di sekeliling mereka.

Eksperimen berbeda dibuat kembali. Ranting-ranting yang terbakar dikumpulkan dan biji-bijian merah itu diletakkan di atasnya. Saat diseduh, biji-bijian yang telah berubah menjadi hitam pekat itu, dengan aroma yang sedap, membuat biarawan takjub. Buah setan Kaldi berubah menjadi buah surga. Semenjak itu seduhan dari olahan biji tanaman temuan Kaldi mulai digunakan untuk menemani do'a malam para biarawan, menyebar dari satu biara ke biara lain.

Demikian kira-kira kisah yang dapat saya temukan dalam pencarian di internet, untuk kata kunci sejarah kopi. Produk yang telah mendunia itu, sebagaimana banyak penemuan benda-benda lainnya, nampaknya memang sukar dilepaskan dari tangan kalangan agamawan, sebelum kopi tersebar ke penjuru dunia. Beberapa sumber menyebut, dari Ethiopia pulalah orang-orang Arab pertama kali mengenal kopi.

Sebagaimana para biarawan, konon kaum sufi juga memanfaatkan kopi dan meramu konsep kopi nikmat, sebagai sajian untuk menemani proses jaga mereka kala tengah tafakkur dan ibadah-ibadah malam. Salah satu jenis kopi paling tenar di Timur Tengah disebut Kopi Mocha. Jenis ini tampaknya yang diperkenalkan dan disebarkan oleh para penjelajah Timur Tengah menuju Eropa (http://id.zulkarnainazis.com).

Ketika kolonial memasuki tanah nusantara, kopi dari Eropa itu juga ikut terbawa. Orang-orang Belanda memperkenalkan bahkan menanamnya secara massif di tanah air untuk kepentingan konsumsi dunia pada produk baru yang tengah naik daun (http://www.aeki-aice.org/page/sejarah/id). Sejak itu, kopi telah menjadi teman setia para petugas jaga, satpam, mahasiswa, pekebun, dan hampir semua kalangan di negeri kita.

Kopi dapat dinikmati siapa saja. Mulai dari pebisnis kelas atas, pedagang kelas menengah, petani kelas moderat, buruh pabrik kelas helper, hingga aktor tampan kelas Rio Dewanto. Semua menyeruput kopi sebagai sebentuk kegemaran dan penyaluran selera. Dalam kenangan saya semasa masih menjalani status sebagai mahasiswa, aktifitas 'ngopi juga jadi item yang hampir tak pernah luput dalam sehari-semalam. Agenda-agenda kampus serasa hambar tanpa kehadiran kopi. Saya tak tahu apakah kebiasaan itu masih dilakoni oleh civitas akademik saat ini.

Tempat pertama dan utama bagi kami untuk kongkow-kongkow dan ngopi bareng, adalah kedai-kedai kecil milik warga sekitar kampus yang biasanya dibuka oleh kalangan ibu-ibu. Di Makassar akrab disapa dengan sebutan 'Mace'. Tak hanya di tempat-tempat itu kopi terhidang. Di pelataran-pelataran kampus, kehadiran kopi juga menjadi penghias utama kala diskusi-diskusi mahasiswa tengah berlangsung. Fenomena 'ngopi' bahkan bisa dijumpai di sekitar kampus, bahkan saat mahasiswa telah berada di dalam kamar atau rumah kost-kostan mereka. Boleh jadi, kopi dalam ruang akademik, telah menjadi saksi sejarah dari lahirnya banyak gagasan dan gerakan-gerakan besar aktor-aktor kampus.

Dalam kecintaan pada kopi, rasanya tak ada perbedaan berarti yang bisa dilihat, baik bagi kalangan akademik atau kalangan umum. Perbedaan 'ngopi' ala kampus dan di luar kampus, terletak pada rasa kopi yang mereka minum. Sudah familiar diketahui bahwa, kopi adalah produk yang telah mengalami pengembangan dalam citarasa dan penyajian. Bila dahulu kalangan agamawan menyajikannya dalam cara yang sederhana, dengan membakar kopi dan menyeduhnya dengan air panas, kini sajian dan rasa kopi telah mengalami perkembangan yang amat memukau dan luar biasa.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun