Mohon tunggu...
Jangkrik Pohon
Jangkrik Pohon Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Warga Makassar

Selanjutnya

Tutup

Humor

Kenangan, Kopi, Kambing

22 Mei 2015   10:40 Diperbarui: 17 Juni 2015   06:43 91
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kopi Mocha Yaman - yang dulu disebut sebagai olahan kopi modern pertama - tak lagi diseduh bersendirian dengan air panas. Kini ia diracik dengan takaran yang khas antara espresso, susu, dan coklat. Beberapa sumber menyebut, racikan tradisional Kopi Mocha tertua dikenal dengan nama Mocha-Java, merupakan paduan teliti antara beberapa jenis kopi, campuran cokelat, susu panas dan busa (http://id.wikipedia.org/wiki/Kopi_moka). Perbedaan dalam takaran akan membuat jenis kopi itu bisa disebut dengan nama berbeda.

Kopi, campuran, dan sajiannya, telah menciptakan strata sosial baru di jagat mutakhir. Produk itu mampu menciptakan ragam kelas penikmatnya dapat bersangkutpaut dengan selera pada cara penyajian dan citarasa. Tapi tak setiap orang benar-benar menikmati rasa kopi dengan perbedaan-perbedaan antara tiap variannya. Bagi sebagian mahasiswa, terutama untuk mereka yang berstatus 'mahasiswa kere', adakalanya kopi itu tersaji sekedar seduhan air panas dengan gula pasir.

Saya pernah mengenang kopi sebagai rasa hambar dengan panas singkat. Campuran buatan kami bahkan lebih sederhana dari racikan para biarawan. Simak misalnya bagaimana racikan kopi dapat melahirkan varian-varian kopi yang memukau. Segelas Espresso nikmat, dihasilkan dengan mengekstraksi biji kopi yang sudah digiling dengan menyemburkan air panas di bawah tekanan tinggi; Café latte dihasilkan lewat campuran antara espresso dan susu cair dengan perbandingan satu banding dua, dimana sepertiga bagiannya adalah kopi, sedangkan dua-pertiga bagian lainnya adalah susu cair; Mochacino dibuat dengan paduan antara kopi dan coklat; sementara Cappuccino, dihasilkan dari espresso, susu cair dan busa susu di permukaannya menyerupai cap/topi (https://petitevirus.wordpress.com/2012/01/22/perbedaan-espresso-latte-moka-cappucino/).

Di tangan kami, racikan kopi itu bisa amat berbeda. Sepanjang waktu merk kopi baru bermunculan. Bila dahulu, kita hanya dapat menjumpai kopi hitam dengan merk tertentu dalam kemasan besar, paduan dan kreasi baru kopi itu mulai dibuat dan diperdagangkan dalam bentuk kemasan-kemasan menarik yang dijual dengan harga terjangkau. Variasi kopi espresso, cappucino, mochacino, luwakcino, kini dibuat dalam kemasan-kemasan mungil untuk takaran ideal satu gelas kopi.

Dalam durasi nongkrong di mace, kopi sachet itu punya takaran yang tepat. Dibuat di dalam gelas-gelas kaca dengan tambahan sedikit gula. Varian kopi itu dapat dinikmati sebagaimana kehendak produsen. Tapi, tak selamanya takaran itu bertahan. Adakalanya takaran kami hanya butuh satu sachet kopi dari jenis apapun, dan setermos air panas dengan banyak gula yang diaduk sekenanya. Selesai.

Pola hidup mahasiswa punya relasi yang kuat terhadap takaran kopi. Di awal bulan, terutama saat kiriman ransum dari kampung halaman baru saja tiba, kopi mace dan kopi apapun, bisa dipesan dengan racikan yang padat. Awal bulan adalah masa saat butir-butir coklat Cappucino dapat membentuk polanya sendiri dan memberi gambaran kecerahan di permukaan secangkir kopi. Mochacino kala itu juga akan berbentuk karamel. Padat dan kental, dengan busa-busa seperti es krim di permukaan gelas.

Tapi itu hanya bertahan seminggu. Dua minggu berikutnya, busa-busa susu itu mulai meledak, dan gambaran senyum cerah coklat cappucino di permukaan gelas mulai memudar. Di minggu ketiga dalam bulan itu, senyum coklat Cappucino dan busa-busa Mochacino tampak seperti dibuat-buat di permukaan gelas, sejurus dengan senyum kami ke mace sebelum berlalu dan melancarkan jurus pamungkas, "utang mace, besok baru bayar." Di akhir-akhir bulan, senyum Cappucino dan busa itu lenyap, kadangkala kami juga ikut-serta.

Dalam fase melenyap itu, pondokan, kost-kostan dan asrama mahasiswa akan menjadi permukiman yang padat. Seperti kawanan kambing-kabing Kaldi pecinta kopi, satu kamar bisa berisi hingga tujuh atau delapan orang. Tentu saja jadwal minum kopi kami tidak berubah. Kopi sachet akan tetap dipesan, tetapi takarannya dapat membuat produsen kopi bersedih hati. Satu sachet kopi itu dibuat cukup untuk seisi kamar. Beruntung pula gula pasir pernah ditemukan manusia, membuat kopi kami di akhir bulan itu tetap punya rasa. Setidaknya panas dan manis.

Dalam masa-masa seperti itu, kembali ke kopi hitam dan mengamalkan tradisi para biarawan, cukup pamungkas untuk mempertahankan kebiasaan ngopi. Tapi bagi mereka yang kesulitan mengatur keuangan, satu sachet kopi tanpa ampas, adalah pilihan menarik ketimbang kopi hitam dengan banyak ampas. Itu hal menarik lain yang dapat menjadi pelajaran untuk mahasiswa kere dimanapun.

Salah satu karya fiksi Dewi Lestari bertajuk Filosofi Kopi, menggambarkan kondisi demikian dengan amat ciamis. Dee menggambarkan bagaimana nikmatnya kopi hitam dengan ampas itu. Tokoh utamanya menemukan kopi ternikmat justru berasal dari rasa kopi pekat dengan banyak ampas yang disebut Kopi Tiwus. Tapi tak selamanya kopi ternikmat itu macam Kopi Tiwus.

Ketimbang memilih kopi hitam dengan banyak ampas, sejak dahulu saya lebih memilih membeli kopi sachet tanpa ampas dengan alasan-alasan praktis. Lebih mudah dibuat dan dapat diminum hingga tetes terakhir. Dalam masa-masa paling paceklik, satu sachet kopi itu bisa cukup untuk sekampung warga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun