aku lahir di pantai ini, rumahku di dalam sebuah benteng
bangunan tua, sebuah benteng kuno peninggalan Belanda
tembok itu sangat tebal berdiri menjulang di hadapanku
aku menatap keangkuhannya dengan bermacam perasaan
Â
kadang-kadang aku menganggapnya sebagai penghalang
menghalangi pandanganku menatap lurus jauh ke depan
kadang aku merasa berterima kasih pada kekokohannya
ia melindungiku dari angin kencang dan terjangan badai
Â
pada dindingnya yang kusam, berlumut, dan pias warnanya
seakan-akan penuh lukisan keberadaannya melawan waktu
dua ratus tahun lebih berdiri di sana, memagari benteng ini
entah berapa kali tubuhnya telah menahan terjangan ombak
Â
entah berapa panjang kisah peperangan yang disaksikannya
entah berapa banyak darah yang pernah tertumpah di kakinya
di sudutnya yang agak menjorok ke bibir pantai terasa angker
sering kudengar sayup-sayup suara seperti rintihan manusia
Â
sebuah tembok tebal mengelilingi sebuah benteng yang kuno
menjadi sekat pembatas antara kehidupanku dan dunia luar
tak banyak orang yang tahu apa-apa yang terjadi di dalamnya
dan sebaliknya aku pun tak tahu apa yang terjadi di luar sana
Â
ketika aku mulai menjejakkan kakiku coba hidup di dunia luar
kurasakan kebebasan, semuanya terasa serba membingungkan
tak dapat kupahami apakah hal ini yang dinamakan kemajuan
namun aku harus mengikuti arusnya, agar tak terlindas olehnya
Â
Batam, 2015
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI