Seorang bocah menatap langit dan berdoa
Namun langit tak mendengar, tertutup awan tebal
Tubuhnya berdiri di bumi dibebani ratapan kesedihan
Terdengar nyanyian dari rerumput ilalang, dideru angin
Seorang bocah menatap langit malam dalam kemurungan
Berharap ayahnya akan datang, turun dari bintang-bintang
Membawanya berjalan jauh ke luar dari tumpukan sampah
Membelikannya sepatu dan baju lalu menyuruhnya sekolah
“Tenanglah hatiku” ujarnya, sambil menyusun kardusnya
Satu per satu kardus-kardus itu dihitung dan disusunnya rapih
Bau gunung sampah menyengat, si bocah tak menghiraukannya
Tubuhnya yang kucel dan dekil seakan telah menyatu dengannya
Pagi itu dia berdiri lagi di simpang jalan itu, menanti sesuatu
Dia menantikan anak-anak yang berjalan pagi pergi ke sekolah
Matanya menatap dalam ke wajah anak-anak yang melewatinya
Diperhatikannya pula seragam merah putih dan tas sekolahnya
Betapa dalam keinginan hatinya bisa bersekolah, menggebu
Namun keinginannya itu hanya dipendamnya, hanya di angannya
Jalan terjal dan keras di kota harus dilaluinya, menekan mimpinya
Bocah sembilan tahun itu sekali lagi menatap langit dan berdoa
“Bonar kemarilah, kenapa kau melamun!?” ibunya memanggil
Anak itu tersentak dari lamunannya, bergegas pulang ke gubuknya
Dipikulnya barang-barang bekas yang berhasil dikumpulkannya
“Aku pingin sekolah mak” ujarnya sambil mendekati ibunya
“Iya nak, nanti emak sekolahkan. Kita kumpul-kumpul duit dulu.
Masuk SD sekarang uangnya bukan sikit nak, kita harus nabung”
ujar wanita separuh baya itu sambil berlinang air mata kesedihan
dan mengkhawatirkan masa depan anaknya yang semata wayang
Btm2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H