Maraknya pinjaman daring atau pinjol sebagai solusi untuk pembiayaan pendidikan tinggi seperti Uang Kuliah Tunggal (UKT) di beberapa perguruan tinggi ternama patut disikapi dengan kritis.Â
Tidak dapat dipungkiri, fenomena ini muncul sebagai alternatif cepat bagi mahasiswa yang terjebak dalam kungkungan biaya pendidikan yang melonjak.
Pertanyaannya, seberapa sehatkah langkah-langkah ini? Mengapa banyak perguruan tinggi  terpaksa atau memilih bekerja sama dengan pinjol sebagai solusi finansial bagi mahasiswanya?Â
Apakah ini merupakan refleksi dari kebijakan pendidikan oleh pemerintah yang mungkin tidak lagi dapat memberikan dukungan finansial yang memadai bagi rakyatnya?
Sementara pihak kampus dan beberapa pihak menyebut kerja sama dengan pinjol sebagai "kemudahan finansial," kita perlu merenung lebih dalam tentang hal ini.Â
Apakah memberikan akses kepada mahasiswa untuk berhutang pada lembaga non-keuangan adalah bentuk solusi yang sejalan dengan misi pendidikan tinggi?
Bukan rahasia lagi bahwa pinjol seringkali menghadirkan risiko finansial yang tinggi bagi peminjamnya.Â
Tingginya suku bunga dan persyaratan pembayaran yang kadang membebani bisa memberikan beban lebih lanjut pada mahasiswa yang seharusnya berkonsentrasi pada pendidikan mereka.Â
Mengapa sebagai seorang mahasiswa, harus kami yang langsung berurusan dengan pinjol tersebut? Mengapa bukan kampus atau pemerintah yang bekerja sama dengan pinjol tersebut untuk menghadirkan pinjaman versi resmi dari internal.
Jujur, mungkin banyak dari kita juga sudah tak lagi percaya dengan perusahaan-perusahaan pinjol tersebut. Bunga yang tinggi, tenor yang pendek, dan cara intimidatif dalam menagih, apa lagi yang harus ditoleransi?