Dalam beberapa waktu terakhir, saya rasa konflik di Palestina menjadi perbincangan hangat di media sosial dengan banyak argumen pro-kontra.Â
Sayangnya, tidak semua orang setuju bahwa memperhatikan isu tersebut merupakan tindakan yang tepat, terutama ketika masih ada banyak masalah di dalam negeri yang membutuhkan perhatian.
Beberapa orang berpendapat, "Mengapa harus begitu memikirkan konflik di sana ketika masih banyak masalah di dalam negeri?"
Namun, saya pikir pandangan tersebut perlu dipertimbangkan lebih dalam karena sebenarnya, itu mungkin suatu kesalahan dalam berpikir.
Kesalahan berpikir yang saya maksudkan di sini adalah pandangan bahwa perhatian terhadap konflik di Palestina menghilangkan perhatian terhadap masalah dalam negeri.Â
Seolah-olah, rasa empati dan kepedulian harus dibatasi dan dialokasikan hanya pada satu masalah saja.
Saya ingin menekankan bahwa pandangan ini keliru karena dapat merugikan semangat solidaritas dan pemahaman global terhadap isu kemanusiaan di Palestina.
Pertama-tama, kita perlu ingat bahwa kepedulian terhadap konflik di Palestina tidak menghilangkan kepedulian terhadap masalah dalam negeri. Solidaritas dan empati bisa berkembang secara bersamaan.Â
Mengapa harus memilih antara peduli terhadap Palestina atau masalah dalam negeri, padahal keduanya bisa menjadi fokus perhatian yang bersamaan?
Situasi seperti itu bukanlah sebuah kompetisi, melainkan panggilan untuk membuka mata terhadap kompleksitas dunia.Â
Ketika seseorang peduli terhadap konflik di Palestina, itu tidak berarti dia mengabaikan atau menolak untuk berkontribusi terhadap penyelesaian masalah di dalam negeri.Â
Kepedulian terhadap konflik di Palestina seharusnya malah menjadi pendorong untuk lebih peka terhadap isu-isu sosial di dalam negeri.
Kesadaran terhadap ketidaksetaraan dan pelanggaran hak asasi manusia di suatu tempat seharusnya membuka mata kita terhadap ketidaksetaraan dan ketidakadilan yang mungkin juga terjadi di lingkungan kita sendiri.
Sebaliknya, ketika kita hanya memusatkan perhatian pada masalah internal tanpa melibatkan diri dalam isu-isu kemanusiaan global, kita bisa kehilangan perspektif yang lebih luas.Â
Konflik di Palestina adalah bagian dari pembelajaran global yang melibatkan banyak elemen, seperti politik dan ekonomi.Â
Kepedulian terhadap isu-isu internasional juga dapat memperkaya pemahaman kita tentang perkembangan dunia dan membantu membentuk pandangan yang lebih inklusif.
Lebih lanjut, mengabaikan konflik di Palestina karena alasan masalah dalam negeri merupakan bentuk kesalahan logis yang disebut sebagai "false dilemma".Â
Mengutip jurnal The Distinction Between False Dilemma and False Disjunctive Syllogism, false dilemma adalah sebuah kesalahan logika yang terjadi ketika seseorang mempresentasikan dua pilihan sebagai satu-satunya pilihan yang tersedia, padahal sebenarnya masih ada pilihan lain yang tidak disebutkan.Â
Hal ini mengandaikan bahwa perhatian terhadap satu isu harus dilakukan dengan mengorbankan perhatian terhadap isu lainnya. Padahal, manusia memiliki kapasitas untuk membahas dan memperhatikan beberapa isu sekaligus.
Selain itu, kepedulian terhadap konflik di Palestina juga dapat menjadi sarana untuk memperkuat solidaritas antarbangsa.Â
Sebagai makhluk sosial, manusia memiliki tanggung jawab moral untuk mendukung kemanusiaan di mana pun terjadi pelanggaran hak asasi manusia.Â
Solidaritas ini menciptakan jaringan dukungan global yang dapat memberikan tekanan moral pada pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, termasuk pemerintah di dalam negeri.
Memahami dan mendukung penyelesaian konflik di Palestina bukanlah tindakan yang mengurangi rasa kepedulian terhadap negara sendiri.Â
Penting untuk menyadari bahwa peduli terhadap konflik di Palestina bukanlah kesalahan, meskipun masalah dalam negeri masih bermunculan.Â
Kepedulian terhadap isu-isu global tidak seharusnya menjadi alasan untuk mengabaikan isu-isu lokal, melainkan sebagai dorongan untuk lebih berperan aktif dalam menciptakan perubahan positif di dunia.Â
Solidaritas global dan pemahaman yang mendalam terhadap konflik di Palestina dapat memberikan kontribusi positif dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan berkelanjutan.
Kita juga selalu diajarkan untuk tidak egois, egois mungkin perlu pada saat yang tepat. Namun, menyangkut kemanusiaan sepertinya egois bukanlah pilihan.
(*B/A)
Referensi:
- Tomic, T. (2021). The distinction between false dilemma and false disjunctive syllogism. https://www.semanticscholar.org/paper/The-Distinction-Between-False-Dilemma-and-False-Tomic/ec211acaab83901da44a63995d883fbd3e3460ad
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H