Mohon tunggu...
Benazir An Nisaa Mandalika
Benazir An Nisaa Mandalika Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Sriwijaya

Greetings! I am Mandalika, currently an active student in Sriwijaya University on International Relations department.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Uni Eropa sebagai Forum Multilateral untuk Meningkatkan Efektivitas Cyber Diplomacy

3 Desember 2021   16:19 Diperbarui: 3 Desember 2021   17:46 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sources: Britannica.com

Dunia masa kini di suguhkan dengan berbagai aktivitas melalui digital. Era ini semakin berkembang sejalan dengan berkembang teknologi dari waktu ke waktu. Berbagai macam aktivitas mulai hadir dalam era digital begitu juga dengan kegiatan pemerintah. Era digital menghadirkan ruang siber (cyberspace) bagi hampir seluruh masyarakat dunia. 

Dengan begitu, akses ke dalam ruang siber ini dapat dipergunakan banyak individu. Bagi pemerintah, ruang siber sendiri terlihat sebagai suatu peluang sekaligus tantangan yang harus diperhatikan secara seksama. Namun, apa sebenarnya definisi dari ruang siber itu sendiri?

Peter Buck (dalam Hamonangan & Assegaf, 2020) menjelaskan bahwa ruang siber merupakan suatu jaringan atau domain global dimana negara-negara dan masyarakat di seluruh penjuru dunia dapat terhubung melalui berbagai cara yang memungkikan terjadinya interaksi dan per singgungan antar masyarakat maupun negara-negara. 

Sejalan dengan penjelasan Buck, tak terbatasnya dengan garis batas antara masyarakat dan juga negara, membuat ruang siber terlihat sangat luas dan penggunaannya pun menjadi gabur. Melalui ruang siber, pemerintah dapat mengakses sekaligus menjadikan ruang tersebut sebagai tempat untuk memberikan informasi kepada publiknya. Namun, dibalik kemungkinan untuk menyatukan masyarakat internasional terlepas daripada lokasi, kerentanan bagi ruang siber itu semakin nyata. 

Tindak kejahatan ruang siber juga semakin jelas didepan mata membuat hal ini harus diperhatikan dengan teliti oleh pemerintah negara. Disisi lain, kekhawatiran semacam itu juga membuat negara-negara berlomba-lomba untuk meningkatkan sektor teknologi mereka untuk menjauhi ancaman terhadap negara di ruang siber. Peningkatan keamanan ruang siber bagi pemerintah juga perlu didukung dengan infrastruktur raung siber yang memadai.

Untuk meningkatkan efektivitas ruang siber sepenuhnya, pemerintah juga dapat melakukan diplomasi sebagai alat atau instrumen bernegosiasi ataupun komunikasi terkait dengan penggunaan, perkembangan ataupun isu-isu ruang siber dimana sering dikenal dengan Cyber Diplomacy atau Diplomasi Siber. 

Banyak negara yang mempergunakan cyber diplomacy untuk mendukung kepentingan nasional negara mereka melalui hubungan bilateral maupun multilateral seperti forum organisasi. Salah satu contoh yang kerap melakukan kerjasama ataupun diplomasi multilateral melalui forum organisasi internasional adalah Uni Eropa (UE). 

Sebagai salah satu organisasi regional yang dipandang memiliki pengaruh besar oleh seluruh dunia, Uni Eropa, bersama dengan para anggotanya memiliki sejumlah keterikatan melalui regulasi-regulasi yang diluncurkan bersama. 

Uni Eropa sangat menyadari bahwa teknologi digital dalam ruang siber memiliki potensi melimpah untuk perkembangan sosial, ekonomi dan politik ke skala yang lebih besar. Akan tetapi, mereka juga menyadari kemungkinan serangan ataupun ancaman tindak kejahatan bagi kawasan regional Eropa dan para negara anggota Uni Eropa itu sendiri. 

Oleh karena itu, cyber diplomacy dipergunakan oleh Uni Eropa guna mempertahankan stabilitas kawasan tersebut dari pihak internal ataupun eksternal yang tidak bertanggung jawab. Namun, sebelum memaparkan lebih lanjut, apa itu sebenarnya cyber diplomacy?

Diplomasi sendiri memiliki maksud suatu usaha atau upaya tindakan yang dilakukan oleh representatif negara dalam hal ini bisa menjadi seorang diplomat guna mendorong kepentingan -- institusi negara melalui komunikasi serta negosiasi. Ruang siber sendiri seringkali dikaitkan dengan keamanan siber sehingga diplomasi siber bisa diartikan secara sederhana sebagai  upaya yang dilakukan aktor publik yang mendukung usaha untuk menjaga ketertiban dunia siber dengan cara bernegosiasi dan komunikasi untuk mencapai tujuan tersebut. 

Menurut (Hamonangan & Assegaf, 2020), cyber diplomacy dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk bernegosiasi, mengumpulkan informasi, dan memfasilitasi adanya komunikasi para aktor sebagai sumber daya diplomatik didukung dengan penggunaan fungsi diplomatik untuk melakukan pengamanan kepentingan nasional negara agar terhindar dari pergesekan yang ada di ruang siber. Kepentingan nasional atau negara yang dimaksud berupa agenda-agenda diplomatik yang melibatkan praktik negosiasi dalam berdiplomasi, upaya resolusi konflik, serta perjanjian yang melibatkan pengaturan tata beraktivitas atau norma dalam ruang siber. 

Secara umum, kepentingan yang mencolok perihal keamanan dalam ruang siber (cyber security) dan juga strategi ruang siber / dunia maya (cyber space). Aktor hubungan internasional yang melakukan cyber diplomacy juga tidak selamanya para diplomat sebagai aktor negara, aktor non-negara pun bisa ikut melakukan praktik cyber diplomacy ini sesuai dengan kepentingan masing-masing.

Praktik cyber diplomacy dalam ruang siber yang meluas memunculkan isu-isu yang patut dipertimbangkan dalam agenda negara-negara. Namun, beberapa isu menjadi dominan dalam pembahasan agenda cyber diplomacy yakni kejahatan siber (cybercrime), keamanan siber (cyber security), kebebasan internet (internet freedom), konstruksi kepercayaan (confidence-building) serta tata pengelolaan internet (internet governance). 

Kelima agenda diatas merupakan hal-hal yang menjadi pembahasan prioritas para aktor cyber diplomacy yang bisa lakukan dengan negara lain secara bilateral atau multilateral.

Jika berbicara mengenai cyber security, Uni Eropa sangat mengedepankan pembahasan agenda ini agar tidak ada oknum-oknum yang menyalahgunakan ruang siber pada sektor apapun. Uni Eropa juga menampilkan regulasi-regulasi untuk mendukung para negara anggota agar terhindar dari hal semacam itu. 

Jika PBB telah meluncurkan Group of Governmental Experts (GGE) dengan tujuan pembahasan mengenai aturan, norma, dan juga tata kelola dunia maya, Uni Eropa juga memiliki beberapa tujuan dalam melakukan praktik cyber diplomacy, yakni untuk memperkuat pertahanan, membangun kepercayaan, mencegah konflik, melindungi hak asasi manusia dan kebebasan, dan mempromosikan multilateralisme. 

Tujuan-tujuan tersebut akan dicapai melalui dilakukannya dialog dunia maya dengan para negara mitra UE, peningkatan kapasitas dan bantuan teknis, keterlibatan dengan masyarakat sipil dan sektor swasta, dan kampanye penjangkauan dan kesadaran perihal ruang siber.

Bagi Uni Eropa, cyber security menjadi tanggung jawab bersama dan oleh karenanya UE memastikan bahwa semua aktor cyber diplomacy -- yang membawa kepentingan masing-masing -- didukung secara memadai agar bisa merasakan efektivitas penuh era masyarakat digital tanpa harus mengkhawatirkan risiko tindak kejahatan maya (cybercrime). 

Dalam memperkuat pertahanan regional UE sendiri menerapkan beberapa infrastruktur cyber security  layaknya pengawasan oleh the European Union Cyber security Agency (ENISA) dan bertugas untuk menetapkan kerangka keamanan siber diseluruh Uni Eropa untuk produk, jasa dan proses digital yang diperkuat dengan Undang-Undang Keamanan Siber Uni Eropa.

Sejalan untuk meningkatkan keamanan ruang siber, pembangun kepercayaan juga menjadi agenda cyber diplomacy karena UE menilai bahwa kepercayaan merupakan fondasi utama dalam arus lingkungan digital masa kini. 

Untuk mendapatkan kepercayaan masyarakat regional maupun global, UE secara berkala menyesuaikan kecakapan mereka guna menagkal serangan terhadap sistem informasi, melawan tindak kejahatan seksual dan pornografi online anak-anak, pencegahan pemalsuan identitas yang mengarah kepada penipuan dan juga memberikan fasilitas akses pertukaran bukti (tindak kriminal) lintas batas negara. 

Kerja sama untuk melawan cybercrime diseluruh UE juga diperkuat melalui The European Cybercrime Centre (EC3). Selain EC3, Konvensi Budapest tentang cybercrime juga didukung penuh dan berhasil menjangkau global untuk memaparkan mengenai prosedur perlawanan cybercrime melalui kerja sama internasional.

Mencegah terjadinya konflik menjadi agenda selanjutnya yang ikut diimplementasikan UE menginat banyaknya aktivitas kejahatan di dunia maya dapat membawa pada rusaknya tatanan internasional karena risiko peningkatan konflik. Jika konflik terjadi, hal itu hanya akan menimbulkan risiko lain bagi kesejahteraan dan keselamatan warga negara. 

Pada tahun 2019, Uni Eropa meluncurkan rezim sanksi yang akan diterima para oknum yang berniat melakukan serangan siber sebagai tanggapan keseriusan UE untuk memerangi tindak kejahatan siber. 

Sanksi yang dijatuhkan tidak hanya akan menimpa pelaku, namun bagi para pendukung pelaku juga akan terkena imbas daripada sanksi tersebut. Oleh karena itu, cyber diplomacy giat diadvokasikan dan UE juga berkomitmen agar penyelesaian kontestasi internasional ditempuh melalui jalur damai.

Permasalahan ruang siber yang membuat Uni Eropa menjadi terlibat dan menaruh perhatian penuh mereka didasarkan oleh nilai-nilai kemanusiaan seperti kebebasan, kesetaraan, demokrasi, supremasi hukum dan penghormatan kepada HAM. Jelas terlihat jikalau penghormatan kepada hak dan kebebasan dasar manusia sudah terpenuhi, barulah cyber security dapat hidup secara efektif. 

Melalui European Instrument for Democracy and Human Rights (EIDHR), UE mendukung penuh proyek-proyek untuk merancang perlindungan bagi para pembela HAM baik secara individu maupun organisasi.

Bagi Uni Eropa, kerja sama dalam regional mereka merupakan hal yang penting oleh karenanya sistem multilateral semacam forum merupakan kepentingan UE dimana organisasi regional tersebut mendasarkan aturan dan hak yang melindungi kepentingan bersama. 

Multilateralisme juga dipromosikan UE sebagai bentuk wadah yang menaungi keresahan dan penemuan solusi bersama agar manfaat dapat dirasakan bagi para negara anggota UE dan juga seluruh dunia. Kerja sama multilateral dan kemitraan merupakan bukti nyata keterlibatan UE dalam permasalahan ruang siber. 

Melalui multilateralisme juga, UE mendukung sejumlah kegiatan atau gerakan dalam memerangi permasalahan dalam ruang siber seperti WePROTECT Global Alliance, Global Forum on Cyber Expertise, Global Internet Policy Observatory (GIPO), Freedom Online Coalition, dan masih banyak lagi.

Uni Eropa tidak pernah menganggap diplomasi hanyalah sebuah kata / tindakan dengan makna sederhana. Uni Eropa jelas mengambil langkah dan berupaya mengimplementasikan proyek-proyek guna mendukung organisasi internasional dan negara mitra mereka dalam mengatasi permasalah dalam ruang siber sekaligus memajukkan nilai dan kepentingan UE. Beberapa kemitraan yang dijalankan Uni Eropa dalam ruang siber bisa dilihat melalui EUNITY  bersama Jepang , EU Cyber Direct dengan Brazil, China, India, Japan, Korea Selatan, Amerika Serikat, ASEAN, OAS, dan AU, GLACY/GLACY+ dengan negara-negara Afrika, Asia-Pasifik, Latin Amerika, dan Karibia.

Uni Eropa sebagai forum multilateral sangat menyadari bahwa ruang siber akan terus berkembang dan mengaburkan batasan masyarakat internasional sehingga memerlukan pengawasan ketat oleh negara-negara diseluruh dunia. Pembahasan mengenai ruang siber memang sangat memakan diskusi jangka panjang karena tidak hanya berfokus pada satu sektor. 

Semua sektor negara yang telah memasuki ruang siber haruslah mendapat jaminan keamanan ketika mengakses ruang tersebut untuk mendapat kenyamanan berdunia maya. Sebagai organisasi "rumah" bagi negara-negara anggotanya -- bagi kebanyakan negara di Benua Eropa -- forum ini digunakan untuk memperkuat kerja sama untuk mengatasi permalasahan ruang siber melalui cyber diplomacy untuk meminimalisir tindak cybercrime dengan memperkuat infrastruktur cyber security kawasan melalui diluncurkannya beberapa regulasi terkait. 

Uni Eropa dengam kemitraannya akan terus menggiatkan diskusi ruang siber agar selalu terciptanya stabilitas dan keamanan ruang siber yang berlandaskan pada nilai-nilai pemenuhan dan penghormatan hak-hak kemanusian.

DAFTAR PUSTAKA

Brown, O., & Lavadoux, F. (2021, Juli 1). EU Cyber Diplomacy 101. Retrieved from EIPA| European Institute of Public Administration: https://www.eipa.eu/blog/eu-cyber-diplomacy-101/

European Commission. (n.d.). Cybersecurity. Retrieved December 12, 2021, from European Union Web site: https://digital-strategy.ec.europa.eu/en/policies/cybersecurity

European Union Institute for Security Studies (EU body or agency). (2019). Cyber diplomacy in the European Union. Luxemburg: EU Institutes for Security Studies. doi:10.2815/391663

Federal Foreign Office. (2020, November 19). EU Cyber Diplomacy -- working together for a free and secure cyberspace. Retrieved from Federal Foreign Office Web Site: https://www.auswaertiges-amt.de/en/aussenpolitik/themen/eu-cyber-non-paper/2418984

Hamonangan, I., & Assegaf, Z. (2020). Cyber Diplomacy: Menuju Masyarakat Internasional yang Damai Era Digital. Padjadjaran Journal of International Relations, 311-332.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun