Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

Si Kancil dan "Generasi Zaman Now"

31 Oktober 2017   14:00 Diperbarui: 31 Oktober 2017   19:23 1609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mencermati jarak zaman dari Generasi Now dengan generasi yang dulu suka dinina bobokkan dengan cerita si Kancil Cerdik yang suka nyolong mentimun pak Tani, rasanya terentang jarak yang jauh, berhalusinasi kalau saya ini dari zaman Flinstone (greenpeace.org)

Nanti akan ada tabung kaca lho yang bisa kita nonton film apa saja sesuka kita. Kita bisa lihat orang-orang di Amerika, di Belanda dan di mana saja di seluruh dunia dari tabung itu.

Itu kenangan topik obrolan saya semasa kecil saat tivi baru dikabarkan akan muncul di Indonesia awal tahun 60-an, maklum tivi hitam putih pertama baru mengudara di Amerika sendiri tahun 1947. Kendala kecepatan produksi, infrastruktur pendukung, distribusi dan kesiapan sumberdaya manusia membuat barang-barang canggih masa itu butuh waktu tahunan untuk tersebar ke seluruh penjuru dunia.

Ketika muncul pertama kali 24 Oktober 1962, TVRI menyiarkan pembukaan Asean Games langsung dari Gelora Bung Karno, Senayan. Selanjutnya waktu tayang meningkat tiga kali seminggu, dari pagi hingga siang dan malam hari daei jam 06:00 sampai jam 09:00. Film yang saya tonton adalah Superman hitam putih disusul kemudian dengan film kartun the Mighty Mouse lalu The Lucille Ball, semuanya hitam putih. Menyusul serial yang sangat populer, cerita keluarga The Little House In The Prairie dibintangi Michael Landon.

Jangan berpikir bisa pindah-pindah saluran, karena cuma satu, Televisi Republik Indonesia (TVRI) dengan seruan popler saat muncul: "Dari Senayan Jakarta Televisi Republik Indonesia mempersembahkan bla.. bla... bla.." Merekalah yang berjasa memperkenalkan nama televisi di Indonesia. Andai kata mereka mengatakan: "Dari Senayan Jakarta, Tabung Kaca Republik Indonesia...bla... bla..." Maka saya sangat yakin bahwa sekarang televisi Indonesia pasti kita sebut Tabung Kaca Republik Indonesia.

Terlepas kemudian nama ini tidak relevan lagi saat munculnya tabung kaca berteknologi cairan Dioda semacam LED atau LCD. Well, cerita-cerita teknologi masa lalu ini saja kalau diceritakan ke generasi Now mereka akan ternganga bahkan sampai ileran mendengarnya.

Jadi tidak usah ceritakan tentang Si Kancil yang cerdik mencuri metimun pak Tani. Ini cerita tidak bermoral yang mengajarkan kecerdikan itu identik dengan jago nyolong. Lihat aja akibatnya sekarang anak-anak yang dulunya suka diceritakan tentang Si Kancil pada cerdik nyolong uang negara. Kalau ketangkap juga tidak malu-malu nyengir kayak kancil di depan kamera.

Ceritakan saja bagaimana dulu kita antusias menunggu siaran iklan yang punya waktu tayang khusus bertajuk "Manasuka Siaran Niaga." Lalu setelahnya kita meniru gaya iklan untuk ditebak oleh lawan bermain kita sebagai suatu permainan yang mengasyikkan.

Itu lebih bermanfaat untuk melengkapi kepingan puzzle di kepala mereka tentang perkembangan teknologi. Soalnya anak perempuan saya sampai sekarang tidak percaya kalau waktu sekolah dulu saya tidak punya handphone.

"Lalu bagaimana ayah menghubungi teman-teman untuk kerja PR bareng?" Dan ada lagi komentar tak kelah serunya, "Bagaimana Ayah bilang ke rumah kalau terlambat pulang?"

"Tapi mbah Google sudah ada kan Yah waktu itu? Pasti sudah ada, kan pasti susah kerja PR kalau tidak dibantu sama mbah Google!" celetuknya bernada memaksa. Lalu? Haruskah saya bertengkar dengan anak saya sambil mengatakan semua itu tidak ada. Tidak Ada Google, Yahoo, Youtubu, sms, Instagram, Line, Whatsapp yang penuh komentar sok tahu dan lain sebagainya.

Saya khawatir anak saya berimajinasi Ayahnya hidup di dalam gua sambil pake celana cawat seperti Flinstone. Karena semua piranti keras dan piranti lunak yang sekarang menjadi keseharian mereka memang tidak ada di zaman saya. Broro-boro handphone, telpon rumah saja butuh waktu setahun lebih mengajukan permohonan pemasangan baru dilayani.

Andai kata saya tidak punya akte kelahiran, saya bisa jadi berhalusinasi kalau saya adalah mahluk dari zaman ribuan tahun lalu yang Immortal. Begitu jauh rasanya rentang dari ketiadaan hingga jaman keberadaan di jaman Now.

Maka cerita-cerita kami di dalam rumah tak akan jauh dari perbandingan kehidupan masa lalu dengan kehidupan generasi Now. Itu lebih merekatkan kami daripada meniru cerita ayah saya dahulu tentang banyak kisah-kisah fabel atau dunia hewan.

Karena suatu hari saya tak tahan bercerita tentang perbuatan serigala yang rakus yang membawa daging sambil berlari egois karena tak mau berbagi dengan saudaranya. Lalu saat melewati sebuah jembatan bambu di atas sungai, Sang Srigala melihat ada anjing lain yang juga membawa daging persis di bawahnya.

Maksud saya ingin memberikan pelajaran moral tentang pentingnya berbagi dengan saudara atau teman. Soalnya si Kakak ini kalau sudah duduk di depan komputer I-Mac sambil merancang game, tak mau lagi berbagi dengan adik perempuannya.

"So, what next Dad?" celetuk si Kakak sambil jari-jarinya tetap sibuk di atas keyboard. Luar biasa generasi Now ini pikirku, bisa membagi perhatian mendengar ceritaku sambil tetap mengerjakan pekerjaannya.

"Ya, akhirnya si Serigala rakus itu melompat ke dalam sungai berharap mendapatkan ptotongan daging yang lain yang ternyata itu hanya bayangannya," ujarku lega berharap moral ceritanya masuk ke hatinya. Tapi tanggapannya sebaliknya.

"What a stupid wolf! Harusnya kan Serigala itu tau kalau air itu mempunyai efek reflektif seperti cermin." Kilah si Kakak persis gaya bahasa Wikipedia.

"Moral story-nya Kakak yang kamu harus resapi", ujarku setengah berteriak.

"What was that Dad? Ayah ngomingin film kartun? I did'nt get it." Alamak, gak mudengrupanya.

"Berbagi kakak! Berbagi sama adikmu. Dia kan dari tadi juga mau kerja PR di komputer," ujarku dengan suara agak kutekan agar terkesan ini perintah.

"Oh, lima menit lagi. Saya kan sudah janjian sama dia kerja sampai jam tiga, setelahnya baru dia." Lalu sambil melirik jam yang rupanya memang beberapa menit lagi menuju angka tiga, Si Kakak mengamankan pekerjaannya di USB-nya dan segera hengkang sambil menyambar Macbook ibunya.

Problem solved ! Masalah selesai? Si Ibu yang rupanya sadar komputernya dibawa masuk ke kamar giliran berteriak.

"Jangan bikin aplikasi virus lagi ya Kakak di komputer Mama, sudah dua kali ngadat lho gara-gara aplikasi virus yang kamu simpan di komputer Mama!"

Apa lagi ini, seingat saya seusia dia saya tidak berani menyentuh property milik orangtua saya, motor butut Ayah saya saja tidak berani saya pakai.

"Siap Ma, No worries, saya simpan di USB koq," teriak si Kakak dari dalam kamar.

Ibunya terdiam, si Adik juga sudah senyap mengerjakan pekerjaan rumah sains di komputer. Tapi di atas meja makan, kabel charger hitam berserakan seperti spageti hangus. Another problem jaman Now. Mereka dililit kabel dimana-mana.

Sambil membereskan kabel yang berserakan, terlintas di benak saya, siapa sebenarnya harus belajar, anak-anak generasi Now ini atau saya? Teringat nasehat Profesor Rheinald Kasali kalau generasi saya ini sebenarnya pendatang di dunia digital, Merekalah penduduk asli, kalau tak bisa disebut pribumi dari dunia digital ini.

Di dalam kandungan saja mereka sudah punya rekaman digital hingga lahir sehingga jauh hari sudah ketahuan yang bakal datang cowok atau cewek agar bisa diasiapkan segala sesuatunya. Saya meskipun lahir di rumah sakit bersalin, tapi kejantanan saya masih menjadi kejutan bagi kedua orangtua saya sampai detik saya nongol ke bumi.

Pulang ke rumah saat masih bayi merah, mereka sudah akrab dengan berbagai dering telpon selluler di sekitarnya, bahkan tak jarang menjilati HP ibunya saat si Ibu lalai menyimpan HP dekat mereka. Padahal itu berbahaya karena gelombang elektro magnetik HP bisa mengganggu otak dan jantung.

Saya dibawa pulang ke rumah dengan senyap, boro-boro suara HP, Suara TV saja belum kebayang. Sekarang kami sering ribut berebut charger-an. Belum lagi berebut pakai komputer yang kencang wifi-nya.

Maka sebagai pendatang di dunia digital, saya yang sepertinya harus banyak sadar diri dan belajar kepada mereka, termasuk berkomunikasi dan cara berpikir.

Mereka adalah milik masa depan, kata Khalil Ghibran, maka tugas saya sebagai orangtua hanya mendukung untuk mereka eksis di jaman Now karena mereka akan menghadapi anak-anak mereka di masa mendatang yang akan menyebut diri mereka entah generasi apa.

Yang pasti mereka juga akan bergesekan dengan anak mereka, seperti kami sekarang. Tapi semuanya menjadi indah karena ada rasa sayang dan cinta di dalamnya. Rasa yang akan menjadi perekat yang kekal, apapun nama generasi dan jamannya. (@Benz369).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun