Pertamina mau tidak mau harus menempuh strategi bisnis terintegrasi dari hulu hingga hilir untuk memastikan eksplorasi dan pengembangan sumber-sumber energi baru dan terbarukan terjadi sharing cost atau berbagi beban biaya dengan pemerintah. Itulah salah satu wujud tanggung jawab Pertamina sebagai perusahaan yang sahamnya dikuasai 100 persen oleh negara.Â
Tanggung jawab Pertamina untuk memandirikan Indonesia dari sektor energi ke dapan tentu saja lahir dari kesadaran bahwa bisnis yang menguasai hayat hidup orang banyak ini tidak semata harus dilihat dari perspektif keuntungan melainkan juga harus memikul tanggung jawab negara dalam pemenuhan kebutuhan energi bagi kepentingan kemajuan dan stabilitas bangsa ini secara berkelanjutan.Â
Mewujudkan energi baru dan terbarukan memang tidak semudah mengucapkannya. Sering dalam prakteknya terjadi kesalahan interpretasi karena hanya melihat sepenggal-sepenggal. Kita sering terkesima melihat di banyak negara maju sekarang ini berseliweran kendaraan-kendaraan yang menggunakan energi listrik lalu serta merta menyebut itu contoh penerapan sumber energi baru.Â
Padahal bila ditelisik lebih dalam, tidak semuanya itu merupakan praktek penerapan sumber energi yang baru apalagi terbarukan. Betapa tidak, kebanyakan negara-negara yang kini membanggakan jumlah mobil listrik yang berseliweran di jalan, ternyata masih menggunakan pembangkit listrik dari sumber yang tidak terbarukan seperti minyak, gas, batu bara dan semacamnya.Â
Bahwa kemudian hasil dari listrik yang dibangkitkan itu digunakan untuk kendaraan roda dua, roda empat pada dasarnya tetap menggunakan sumber yang tidak terbarukan. Bahwa kendaraan-kendaraan tersebut tidak lagi mengeluarkan polusi udara, itu sangat membantu pemulihan kualitas udara di perkotaan. Tetapi di pelosok sana di mana listrik dibangkitkan dengan menggunakan energi yang tidak dapat diperbaharui dan mengeluarkan emisi karbon, tetap menjadi masalah.Â
Jadi sumber energi baru dan terbarukan seperti dari gelombang laut, angin, arus sungai, matahari, tumbuhan tertentu, sampah dan lain-lain tetap menjadi fokus perjuangan yang tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan untuk menjangkaunya.Â
Bagi Pertamina sendiri tanggung jawab ini tidaklah mudah. Bahkan mungkin tak banyak yang tahu kalau ini adalah tugas yang dilematis. Pada satu sisi Pertamina dituntut untuk meningkatkan keuntungan sebagai sebuah lembaga bisnis. Pada sisi yang lain ada tanggung jawab negara yang juga harus dikedepankan. Juga tak banyak yang tahu kalau biaya eksplorasi sumber-sumber energi konvensional sama mahalnya bahkan jauh lebih mahal untuk menemukan dan membangkitkan energi baru dan terbarukan.Â
Memang diakui bahwa pada skala perbandingan keuntungan dalam jangka pendek jauh lebih menguntungkan mengeksplorasi atau mengeksploitasi sumber energi konvensional dibanding energi baru dan terbarukan. Tetapi bila negara ini ingin selamat maka mau tidak mau harus menceburkan diri menginovasi dan mengembangkan energi yang baru dan terbarukan karena itu lebih berkelanjutan dan jauh lebih murah dalam jangka panjang.
Kebijakan Satu Harga
Selain tantangan masa depan berkaitan dengan invovasi dan produksi energi yang baru dan terbarukan, Pertamina masih dihadapkan pada tantangan pemerataan pelayanan energi. Kita tidak usah menyebutnya pemerataan distribusi minyak dan gas sebagai bahan bakar utama yang diandalkan masyarakat dari perkotaan hingga ke pelosok. Pemerataan energi berarti memastikan setiap warga negara dimanapun mereka berada seharusnya dapat memperoleh sumber energi yang dikelola pemerintah untuk peningkatan kualitas hidup mereka.Â
Bayangkanlah kita hidup di lembah Wamena atau di sekitar Puncak Jaya di papua sana yang tahu bahwa saudara-saudaranya di daerah lain bisa menikmati bahan bakar premium dengan harga Rp 7000,- per liter sementara mereka harus membayar Rp 8000 sampai 100.000 per liter. Pasti mereka merasakan ketidakadilan yang luar biasa. Harapan pemenuhan keadilan di bidang perolehan energi ini tentu saja akan mereka gantungkan kepada pemerintah.Â