Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Perusahaan Energi yang Mengayuh di Antara Kebutuhan dan Impian

25 Agustus 2017   01:29 Diperbarui: 7 November 2017   14:22 2166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Caption: Sumber ilustrasi: energybusinesseurope.com

Arti Sebuah Nama 

Mungkin saking seringnya disebut, tak banyak orang mempertanyakan apa sih kepanjangan dari Pertamina? Ditanya itu oleh anak bungsu saya yang keingintahuannya sering bikin pusing, saya mencoba menjawab dengan menggunakan common sense. 

Perusahaan Tambang dan Minyak Milik Negara, jawabku yakin sambil secepat mungkin membuka Google untuk memastikan. Dan ternyata meleset sedikit. Yang benar adalah Perusahaan Pertambangan Minyak Dan Gas Bumi Negara. Tapi disebutkan kalau itu nama yang dulu. Sekarang perusahaan milik Negara ini namanya PT Pertamina (persero). Itu saja. 

Meskipun William Shakespeare bilang apa arti sebuah nama, tetapi kalau nama kontradiktif dengan realitas, terkadang menimbulkan kegamangan tersendiri. Sebutlah seseorang bernama Gede Prima tapi sosoknya imut-imut, kan tidak nyambung. 

Bagaimana kalau namanya Perusahaan Minyak dan Gas Bumi sementara kemudian ternyata bermaksud mewujudkan visi besar menjadi Perusahaan Energi Nasional Kelas Dunia, dengan misi menjalankan usaha minyak, gas, serta energi baru dan terbarukan secara terintegrasi, berdasarkan prinsip-prinsip komersial yang kuat? Rasanya kurang menggigit kan? 

Dewasa ini Pertamina dihadapkan pada situasi dunia yang berubah dengan cepat. Bukan hanya cepat tapi sudah mengalami percepatan (accelerated). Medan pertarungan bisnis tidak sama lagi ketika Pertamina didirikan pada 10 Desember 1957. Sudah sangat jauh berubah.

pertamina2-599f142191b27104a35be3c3.png
pertamina2-599f142191b27104a35be3c3.png
Kala itu punya sumur-sumur minyak dan gas bumi saja sudah membuat optimisme sebagai bangsa yang kaya sumberdaya alam melambung tinggi. Era itu adalah era dimana memiliki dan mampu menjual sumberdaya alam meskipun hanya bahan baku sudah bisa menopang perekonomian bangsa. 

Tak heran bila hanya 5 tahun setelah Pertamina berdiri, gagasan Indonesia untuk mendirikan Organisasi Negara-Negara Pengekspor Minyak (OPEC) disambut baik oleh banyak negara terutama para pentolan negara eksportir minyak Timur Tengah. Pada tahun 1962 OPEC resmi berdiri di mana Indonesia menjadi salah satu penggagas dan menjadi anggotanya. 

Seiring bertambahnya anggota OPEC dari negara-negara pengekspor baru, kelihatannya Indonesia tak banyak bisa mengangkat produksi minyak buminya sehingga pada tahun 2009 Indonesia keluar dari OPECdengan status suspended. Indonesia tidak melihat peranannya signifikan di organisasi minyak dunia itu. Indonesia, di mana tentu saja Pertamina sebagai pemeran utama di dalamnya, lebih melihat kepentingan membenahi perminyakan di dalam negeri terutama di sektor hulunya. 

Baru kemudian pada 17 September 2015 Indonesia kembali menjadi anggota penuh OPEC setelah berhasil bangkit kembali (rebound) dari keterpurukan produksi dengan pembenahan pada sektor hulunya. Bagaimanapun Pertamina adalah salah satu BUMN kebanggaan bangsa sehingga kehadiran Indonesia di pentas internasional bidang perminyakan menjadi sangat penting untuk mengesahkan bahwa sektor minyak dan gas Indonesia masih menggeliat. 

Hanya saja, ketika Indonesia sudah merasa lebih baik dalam pengelolaan minyak dan gas bumi, baik di hulu maupun di hilir, tren dunia sudah berubah kiblat. Dengan asumsi cadangan minyak dan gas bumi yang terus mengalami penurunan akibat konsumsi kendaraan dan industri yang semakin meningkat. 

Pertamina Di EraKnowledge 

Kini dunia dihadapkan pada realitas bahwa ternyata memiliki sumber daya alam saja tidaklah cukup untuk membuat suatu negara berjaya. Kita lihat saja contoh di depan mata bahwa meskipun Belanda, Swiss, Amerika dan sejumlah negara lainnya tidak memiliki sebatangpun pohon kakao, tapi mereka mendapatkan kesejahteraan yang luar biasa dari memproduksi beragam permen dan makanan berbasis coklat. Kita memiliki sumber daya berupa bahan baku coklat, tapi tak ada nilai tambahnya.

Mereka tidak memiliki bahan baku, tapi mereka memiliki knowledge untuk hasilkan nilai tambah besar dari memproduksi barang jadi dan memasarkannya ke seluruh dunia. Hal yang sama juga terjadi di sektor perminyakan. Kita mungkin tahu kalau Singapura tidak memiliki sumur minyak, tapi mereka bisa mengekspor BBM hingga 1,3 juta barrel per hari (sumber: https://finance.detik.com/energi/3329916). Yang mereka miliki hanyalah kilang minyak (refinery) dengan kapasitas 1,5 juta barrel per hari. Dengan kebutuhan BBM yang hanya 150 ribu barrel per hari, otomatis mereka bisa mengalahkan volume ekspor BBM Indonesia. 

Kebutuhan BBM Indonesia per hari berkisar 1,4 hingga 1,6 juta barrel, sementara kapasitas produksi kilang kita hanya berkisar 800 ribu hingga 900 ribu barrel per hari. Ini berarti kita tidak bisa mengekspor BBM siap pakai, bahkan harus mengimpor dari sejumlah negara termasuk dari Singapura. Kembali lagi bahwa masalah kita lebih kepada penguasaan teknologi dan infrastruktur penunjang sehingga biaya konsumsi BBM kita menjadi semakin mahal. 

Jadi tantangan Indonesia saat ini di mana Pertamina ada di dalamnya, salah satunya adalah meningkatkan penguasaan teknologi dan ilmu pengetahuan perminyakan agar setidaknya kita bisa menambah jumlah kilang yang bisa memenuhi kebutuhan dalam negeri. 

Tantangan kedua di era ilmu pengetahuan dewasa ini adalah mendorong usaha-usaha penghematan BBM dan gas bumi yang cadangannya makin menurun. Kalau tidak ada upaya-upaya yang signifikan, maka tidak menutup kemungkinan Indonesia akan mengalami krisis energi 12 tahun dari sekarang. 

Kalau prediksi ini benar bahwa cadangan minyak dunia akan habis 70 tahun ke depan, dan Indonesia diperkirakan hanya bisa bertahan 12 tahun ke depan termasuk gas yang diasumsikan hanya mungkin bertahan 30 tahun ke depan, tentu saja krisis energi yang implikasinya bisa ke mana-mana, terutama sektor perekonomian yang tergantung pada BBM sebentar lagi terjadi kalau tidak diantisipasi lebih dini. 

Mengacu kepada prediksi-prediksi kasar tersebut di atas, tentunya Indonesia harus lebih siap lagi berpacu mengembangkan sumber energi alternatif yang biasa didengung-dengungkan sebagai sumber energi baru dan terbarukan. Pertamina memang sudah mengambil langkah-langkah konkret dan strategis beberapa puluh tahun terakhir, tetapi melihat bahwa banyak negara lain saat ini sudah jauh mengembangkan sumber energi surya, angin, nabati, gelombang dan sebagainya, rasanya kita belum melihat langkah besar (giant step) menghadapi kriris yang pasti terjadi itu.

Kembali lagi kepada pertanyaan, seberapa baik penguasaan teknologi dan pengetahuan kita dalam memproduksi dan mengolah sumber energi yang baru dan terbarukan?. Jangan-jangan kita belum melakukan pendataan kebutuhan apalagi melakukan rekrutmen sumber daya manusia besar-besaran untuk mengembangkan industri pembuatan kincir angin, turbin air dan sebagainya. 

Mau tidak mau, suka tidak suka Pertamina harus sedikit bergeser (shifting) tidak harus berhenti sekedar mengurus minyak dan gas bumi tetapi harus aktif mendorong ditemukannya sumber-sumber energi baru dan terbarukan (new and renewable). Maka kata kunci yang sudah mendarah daging seperti eksplorasi dan eksploitasi harus juga digeser ke arah inovasi dan pengembangan. 

Inovasi Energi Baru dan Terbarukan

Memang urusan masa depan energi bagi kepentingan bangsa ini adalah urusan pemerintah yang diperankan oleh Kementerian Energi dan Sumbederdaya Mineral, tapi sepertinya harapan masyarakat selalu ditumpukan kepada Pertamina. Meskipun institusi bisnis tetapi sepertinya Pertamina tidak bisa menolak untuk terseret ke dalam arus deras tuntutan penyediaan energy baru dan terbarukan ini. 

Pertamina mau tidak mau harus menempuh strategi bisnis terintegrasi dari hulu hingga hilir untuk memastikan eksplorasi dan pengembangan sumber-sumber energi baru dan terbarukan terjadi sharing cost atau berbagi beban biaya dengan pemerintah. Itulah salah satu wujud tanggung jawab Pertamina sebagai perusahaan yang sahamnya dikuasai 100 persen oleh negara. 

Tanggung jawab Pertamina untuk memandirikan Indonesia dari sektor energi ke dapan tentu saja lahir dari kesadaran bahwa bisnis yang menguasai hayat hidup orang banyak ini tidak semata harus dilihat dari perspektif keuntungan melainkan juga harus memikul tanggung jawab negara dalam pemenuhan kebutuhan energi bagi kepentingan kemajuan dan stabilitas bangsa ini secara berkelanjutan. 

Mewujudkan energi baru dan terbarukan memang tidak semudah mengucapkannya. Sering dalam prakteknya terjadi kesalahan interpretasi karena hanya melihat sepenggal-sepenggal. Kita sering terkesima melihat di banyak negara maju sekarang ini berseliweran kendaraan-kendaraan yang menggunakan energi listrik lalu serta merta menyebut itu contoh penerapan sumber energi baru. 

Padahal bila ditelisik lebih dalam, tidak semuanya itu merupakan praktek penerapan sumber energi yang baru apalagi terbarukan. Betapa tidak, kebanyakan negara-negara yang kini membanggakan jumlah mobil listrik yang berseliweran di jalan, ternyata masih menggunakan pembangkit listrik dari sumber yang tidak terbarukan seperti minyak, gas, batu bara dan semacamnya. 

Bahwa kemudian hasil dari listrik yang dibangkitkan itu digunakan untuk kendaraan roda dua, roda empat pada dasarnya tetap menggunakan sumber yang tidak terbarukan. Bahwa kendaraan-kendaraan tersebut tidak lagi mengeluarkan polusi udara, itu sangat membantu pemulihan kualitas udara di perkotaan. Tetapi di pelosok sana di mana listrik dibangkitkan dengan menggunakan energi yang tidak dapat diperbaharui dan mengeluarkan emisi karbon, tetap menjadi masalah. 

Jadi sumber energi baru dan terbarukan seperti dari gelombang laut, angin, arus sungai, matahari, tumbuhan tertentu, sampah dan lain-lain tetap menjadi fokus perjuangan yang tentu saja tidak semudah membalik telapak tangan untuk menjangkaunya. 

Bagi Pertamina sendiri tanggung jawab ini tidaklah mudah. Bahkan mungkin tak banyak yang tahu kalau ini adalah tugas yang dilematis. Pada satu sisi Pertamina dituntut untuk meningkatkan keuntungan sebagai sebuah lembaga bisnis. Pada sisi yang lain ada tanggung jawab negara yang juga harus dikedepankan. Juga tak banyak yang tahu kalau biaya eksplorasi sumber-sumber energi konvensional sama mahalnya bahkan jauh lebih mahal untuk menemukan dan membangkitkan energi baru dan terbarukan. 

Memang diakui bahwa pada skala perbandingan keuntungan dalam jangka pendek jauh lebih menguntungkan mengeksplorasi atau mengeksploitasi sumber energi konvensional dibanding energi baru dan terbarukan. Tetapi bila negara ini ingin selamat maka mau tidak mau harus menceburkan diri menginovasi dan mengembangkan energi yang baru dan terbarukan karena itu lebih berkelanjutan dan jauh lebih murah dalam jangka panjang.

Kebijakan Satu Harga

Selain tantangan masa depan berkaitan dengan invovasi dan produksi energi yang baru dan terbarukan, Pertamina masih dihadapkan pada tantangan pemerataan pelayanan energi. Kita tidak usah menyebutnya pemerataan distribusi minyak dan gas sebagai bahan bakar utama yang diandalkan masyarakat dari perkotaan hingga ke pelosok. Pemerataan energi berarti memastikan setiap warga negara dimanapun mereka berada seharusnya dapat memperoleh sumber energi yang dikelola pemerintah untuk peningkatan kualitas hidup mereka. 

Bayangkanlah kita hidup di lembah Wamena atau di sekitar Puncak Jaya di papua sana yang tahu bahwa saudara-saudaranya di daerah lain bisa menikmati bahan bakar premium dengan harga Rp 7000,- per liter sementara mereka harus membayar Rp 8000 sampai 100.000 per liter. Pasti mereka merasakan ketidakadilan yang luar biasa. Harapan pemenuhan keadilan di bidang perolehan energi ini tentu saja akan mereka gantungkan kepada pemerintah. 

Pada satu sisi, Pertamina adalah institusi bisnis yang harus memberi ruang pada berlakunya mekanisme pasar. Bahwa dengan berbagai konsekunsi biaya yang harus ditanggung untuk mendistribusikan energi sampai ke konsumen, merupakan hal yang wajar bila terjadi disparitas harga antar wilayah. Oleh karena itu, pertimbangan untuk mengeluarkan kebijakan satu harga dilakukan dengan cermat dan hati-hati di mana yang seharusnya berhak mendapatkan harga bahan bakar minyak (BBM) di daerah pelosok yang sama harganya dengan di kota besar tentu saja diperuntukkan bagi yang membutuhkan untuk kebutuhan hidup dasar, bukan untuk peruntukan komersil. 

pertamina3-599f17bcc05a1c03a1289174.png
pertamina3-599f17bcc05a1c03a1289174.png
Ini harus diberikan penyadaran kepada masyarakat bahwa tolak ukur keberhasilan dari kebijakan ini bukan dari seberapa banyak BBM yang terjual melainkan seberapa jauh distribusi BBM yang mendapatkan subsidi khusus ini menjangkau dan memenuhi kebutuhan masyarakat yang benar-benar membutuhkannya untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan untuk tujuan komersil. 

Mengapa tujuan komersil seperti industri tidak layak mendapatkan BBM satu harga yang ditugaskan oleh pemerintah disalurkan di 148 kabupaten/kota yang telah teridentifikasi hingga 2019 nanti, tak lain karena industri sebenarnya bisa mengelola kebutuhan bahan bakar mereka dengan nantinya menyesuaikan dengan harga jual barang atau jasa yang diberikan. 

Seperti bisa diprediksi, wilayah terbanyak yang membutuhkan kebijakan satu harga BBM ini adalah Papua dimana disparitas harga BBM setempat dibanding harga umum yang berlaku di kota besar sangat lebar. Sebagai contoh di Kecamatan Ilaga sebelumnya harga premium berkisar antara Rp. 50.000 -- Rp. 100.000 kini masyarakat bisa menikmati premium dengan harga Rp. 6.450,- 

Bagi yang belum pernah ke pelosok negeri ini, sulit membayangkan bagaimana beratnya tugas yang disandang oleh Pertamina untuk melaksanakan tugas yang dibebankan pemerintah. Kalau ke Papua mungkin sudah bisa diduga kalau BBM ini harus diangkut dengan pesawat dengan resiko melewati celah pegunungan yang tak jarang berkabut dan berawan tebal. Upaya ini tidak cukup membongkar drum-drum sampai di bandara perintis. BBM itu harus sampai di tempat penyalur yang telah ditunjuk pemerintah. Dan itu harus ditempuh dengan truk melewati bukan jalan aspal melainkan jalan tanah yang licin dan terjal di musim hujan. 

pertamina4-599f18e391b27103ca5a11b4.png
pertamina4-599f18e391b27103ca5a11b4.png
Tak kalah beratnya mendistribusikan BBM ke polosok Kalimantan yang sering tak bisa dilalui kendaraan roda empat sehingga drum-drum BBM harus diapungkan di sungai dan digiring ke hulu seperti menggiring itik. Itulah yang terjadi bila pemerintah dan institusi bisnis yang dikelolanya memiliki dedikasi dan kepedulian penuh bagi kepentingan rakyat. Ini jarang dipikirkan atau mungkin tidak diketahui oleh mereka yang sering berdemo membakar macam-macam di jalanan hanya karena terjadi kenaikan BBM beberapa perak, itupun bukan keinginan pemerintah melainkan karena konsekuensi pasar BBM yang fluktutif di pasar internasional. (Ben Baharuddin Nur).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun