Mohon tunggu...
Ben Baharuddin Nur
Ben Baharuddin Nur Mohon Tunggu... Profesional -

Menulis untuk berbagi, membaca untuk memahami dan bekerja untuk ibadah, Insya Allah. | email: ben.bnur@gmail.com | twitter :@bens_369

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Pergulatan Terakhir Membangun Koalisi Menjelang Deadline

15 Mei 2014   01:06 Diperbarui: 23 Juni 2015   22:31 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Deklarasi Koalisi Partai Pendukung Capres Jokowi, Rabu 14/05/14 | foto: screenshot TV-One/ Ben

Percayalah, tidak ada satupun partai yang memilih kawan koalisi yang tidak menghitung untung rugi, kalau tidak bisa dapat keuntungan jangka pendek, pasti berhitungnya jangka panjang. Dan hampir bisa dipastikan yang dikejar tentu saja keuntungan yang maksimal dengan resiko kerugian yang sekecil-kecilnya. Kesamaan platform atau ideologi partai memang penting tetapi yang terpenting adalah kebersamaan dalam menangguk kemenangan.

Maka ketika koalisi sudah terjadi, segala bentuk justifikasi bisa dikemukakan. Tentu sah-sah saja dilakukan, platformatau ideologi partai dicocok-cocokkan agar kelihatan sama atau setidaknya mirip. Demikian pula dengan program kerja dicari persamaannya, kontras bila tidak menjadi kawan seiring dalam koalisi, pasti yang terus dicari adalah perbedaannya. Sekali lagi saya katakan bahwa itu sah-sah saja dilakukan. Ibarat orangtua yang menjodohkan anaknya, meski awalnya tidak pas, tapi karena kedua belah pihak sudah merasa cocok, apalagi lamaran sudah resmi diterima, maka segala jurus justifikasi untuk membenarkan bahwa mereka memang sejodoh akan dikemukakan.

Maka mari kita amati perkembangan koalisi beberapa hari ke depan dengan mencoba menggunakan perspektif bahwa:Pertama,  ternyata batasan platform semakin cair dan bisa dijustifikasi. Kedua, siapapun yang merapat ke kubu yang disebut kubu “potensil menang” pasti didasari keyakinan bahwa kubu yang dipilih adalah yang mereka anggap paling berpotensi menang. Ketiga, kemendesakan mengejar deadline 20 Mei membuat partai-partai yang belum jelas sikapnya akan cenderung membuat pilihan yang mungkin sulit diterima nalar masyarakat pada umumnya.

Pergulatan di Kubu Jokowi

Partai asal Jokowi yakni PDI-P yang sejak awal sudah bergandengan dengan Partai Nasdem kini semakin mantap dengan masuknya PKB tanpa syarat membawa potensi suara kemenangan berdasarkan hasil rekapitulasi resmi sebanyak 9,04 % sehingga total bertiga menjadi 34,71 %. Tentu PDI-P dan Nasdem sadar bahwa angka 9,04 persen itu bukan angka yang utuh. Mengapa demikian? Harus diingat bahwa angka itu sebahagian hasil utangan dari pendukung fanatik H. Rhoma Irama, katakanlah 2,5 % dan Mafud MD katakanlah 1,5 % sehingga bawaan murni milik PKB hanya sekitar 5,04 %. Meski demikian, mengingat hubungan kesejarahan Megawati dan Gus Dur, dimana Muhaimin adalah salah satu keponakan Gus Dur yang mungkin sudah dimaafkan oleh keluarga besar Gus Dur, pertimbangan menerima PKB boleh jadi dipengaruhi juga oleh hal tersebut.

H.Rhoma Irama telah jauh hari menyatakan menarik dukungannya dari PKB dan meminta pendukungnya menentukan sikap sendiri bila PKB berkoalisi dengan PDI-P Nasdem. Sementara itu, Mahfud MD menyatakan akan melihat perkembangan terakhir sebelum menentukan sikap. Bila pada akhirnya Mahfud juga mengambil sikap, maka PKB akan kehilangan suara sekitar 4 % yang berarti secara keseluruhan koalisi ketiga partai tersebut hanya memiliki potensi real sekitar 30,71 %. Tetapi untuk perhitungan aset, maka  yang digunakan adalah angka 34,71 %.

Kalau Jokowi berharap dukungan lebih, katakanlah menargetkan perolehan suara di atas 50 % pada Pilpres mendatang, maka ada dua strategi yang harus diupayakan oleh kubu Jokowi. Pertama, memaksimalkan apa yang oleh pendukung Jokowi disebut Jokowi Effect, jargon yang secara cerdas oleh Jokowi sendiri diganti namanya menjadi “Rakyat Effect” pada beberapa kali kesempatan wawancara dengan media.

Kapan efek seperti itu efektif? Biasanya pada saat tokoh yang diam-diam disukai oleh mereka yang sebelumnya Golput, berada pada posisi terpojok atau terdzolimi. Sebutlah contoh saat Pilgub DKI dimana pasangan Jokowi-Ahok yang disebut “pendatang” dikeroyok oleh sejumlah partai besar yang mem-backup kandidat petahana (incumbent), Fauzi Bowo – Nachrowi Ramli yang mencitrakan diri sebagai “tuan rumah”. Fenomene golput turun gunung diakui memang terjadi pada saat itu.

Tak ayal pasangan Jokowi-Ahok yang diusung PDI-P dan Gerindra akhirnya menang, meskipun tidak besar-besar amat kemenangannya, tetapi itu sudah termasuk luar biasa untuk menjatuhkan Foke – Nachrowi yang tergolong kuat dalam hal segalanya kecuali dalam hal kinerja selama memimpin DKI di periode sebelumnya. Makanya kita tidak usah heran bila muncul model kampanye kontroversial model “RIP” yang mengisukan Jokowi yang “ternyata” warga keturunan itu meninggal dunia.

Tetap ada dua kemungkinan sumber dari model kampanye kontroversial seperti itu. Bisa berasal dari pendukung Jokowi yang “salah langkah”, atau memang murni dari kubu lawannya yang tujuannya sebenarnya sekedar mengejek dan ingin meyakinkan bahwa Jokowi memang warga keturunan yang identitas agamanya diragukan, ayahnya warga keturunan sehingga sangat beralasan kalau dia memang didukung oleh konglomerat hitam.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun