Terorisme, kejahatan yang terorganisir, dan kejahatan transnasional lainnya merupakan tantangan mendasar bagi penegakan hukum, perdamaian dan keamanan yang harus diperjuangkan di tingkat nasional, regional dan internasional. Perjanjian ekstradisi dapat dijadikan salah satu cara untuk menangani hal tersebut. Beberapa isu seperti perlindungan kekuatan nasional dan kedaulatan menyebabkan negara-negara yang berbeda untuk memprediksi pembatasan dan peraturan dalam undang-undang mereka yang berkaitan dengan ekstradisi. Penyerahan terpidana dalam perjanjian ekstradisi melibatkan permintaan suatu negara ke negara lain yang dilakukan melalui jalur diplomatik. Dalam melaksanakan agenda politik luar negerinya, Indonesia selalu menekankan arti penting kerjasama internasional untuk masa depan Indonesia.
Perjanjian ekstradisi lahir untuk mengantisipasi, menangkap, dan mengadili pelaku kejahatan yang berusaha melarikan diri ke negara lain untuk menghindari jeratan hukum negara tempat pelaku melakukan kejahatan kenegara yang mereka yakini sebagai tempat persembunyian yang aman. Oleh karena itu, di era modernisasi sekarang ini, lembaga hukum yang dikenal dengan istilah ekstradisi ini menjadi sangat penting. Sebagai usaha untuk menjalin hubungan atau kerjasama antar dua negara atau lebih pastinya memiliki celah tersendiri bagi suatu negara, namun untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya memberhentikan kerjasama secara sepihak maka dalam hubungan internasional dibentuklah perjanjian internasional yang bertujuan untuk melahirkan sebab akibat hukum bagi subjek-subjek yang bersangkutan. Sehingga perjanjian internasional merupakan hal yang sangat penting dalam menjalin hubungan internasional.
Kerjasama antar negara ini dibutuhkan guna mempermudah penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan inspeksi pada sidang pengadilan atas suatu kasus yang ada, baik di negara peminta maupun negara diminta. Dalam hal kerjasama pada bidang hukum dan peradilan, masalahnya adalah berkenaan dengan yurisdiksi atas orang yang sedang dalam proses penerapan aturan pidananya (penyelidikan, penyidikan, pembuatan berita acara pemeriksaannya, proses peradilannya, ataupun pelaksanaan hukuman) atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang pada beberapa aspek terkait menggunakan yurisdiksi negara lain. Dalam hal kerjasama hukum ini adalah terkait dengan kasus ekstradisi.
Dalam Pasal 27 Konvensi Wina mengenai Perjanjian Internasional (UN Convention on the law of the treaty) tahun 1969, bahwa permintaan ekstradisi wajib dipenuhi, sebagai suatu kewajiban mutlak bagi negara yang dimintakan ekstradisi. Dalam pelaksanaan ekstradisi terhadap pelaku kejahatan, praktik Indonesia mengikuti ketentuan dan mekanisme sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi.
Hal yang dapat menimbulkan kesukaran adalah apabila pelaku kejahatan tersebut bermotifkan politik, sebab dalam hal ekstradisi dikenal asas "Non Extradition of Politic Criminal". Dalam hal demikian negara-negara dapat menolak permintaan negara peminta untuk menyerahkan orang yang diminta apabila kejahatan yang dilakukan oleh orang yang diminta itu dan yang menjadi dasar untuk meminta penyerahan itu oleh negara peminta adalah kejahatan politik. Selain itu, kontradiksi muncul ketika individu yang memiliki imunitas diplomatik atau status tertentu dituntut untuk diekstradisi. Misalnya, diplomat tidak dapat diadili atau diekstradisi berdasarkan tindakan resmi mereka, sesuai dengan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961) dan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler (1963). Hal ini dikarenakan diplomat memliki proteksi terkait statusnya saat melakukan kunjungan ke negara lain sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.
Implementasi Perjanjian Ekstradisi dalam Kawasan Regional ASEAN
Dalam beberapa tahun terakhir, pelaku kejahatan semakin inovatif dalam melancarkan aksinya, melakukan tindak kejahatan di negara asal dan melarikan diri ke negara lain. Aset yang diambil sering kali ditempatkan di negara persembunyiannya. Pelarian ini bertujuan menghindari upaya penangkapan terkait kejahatan yang dilakukan di negara asal. Hal ini merugikan negara yang tidak dapat menangkap pelaku meskipun terjadi pelanggaran hukum. Komitmen internasional untuk menanggulangi kejahatan lintas batas diwujudkan melalui instrumen hukum internasional, baik yang bersifat hard law maupun soft law.
Ekstradisi memiliki mekanisme berdasarkan hukum, yang mengatur prosedur baik sebagai negara diminta (requested state) maupun negara peminta (requesting state). Sebagai negara diminta, perjanjian internasional seperti Konvensi Wina 1969 mengacu pada asas pacta sunt servanda, di mana negara wajib melaksanakan perjanjian, meski bertentangan dengan hukum nasional. Hal ini memperkuat kewajiban ekstradisi sebagai tanggapan atas meningkatnya kejahatan lintas batas. Negara-negara, termasuk Indonesia, menekankan pentingnya perjanjian ekstradisi untuk memperkuat kerja sama internasional dalam penegakan hukum.
Implementasi ekstradisi menjadi lebih mudah jika terdapat perjanjian bilateral. Sebaliknya, tanpa perjanjian, sering timbul masalah akibat kurangnya dasar hukum yang kuat. Ekstradisi sebagai bagian dari hukum internasional dan nasional melibatkan prosedur yang panjang, birokrasi yang kompleks, serta biaya dan tenaga yang besar. Proses ini sering menjadi kendala dalam memberantas kejahatan internasional yang membutuhkan kecepatan dan efisiensi.
Hingga kini, Indonesia memiliki perjanjian ekstradisi bilateral dengan empat negara ASEAN, yakni Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Pemerintah terus mendorong pembentukan perjanjian serupa di kawasan ASEAN, mengingat pentingnya kerja sama hukum untuk menghadapi kejahatan lintas batas. Perjanjian ini dinilai mendukung penegakan hukum di negara-negara anggota ASEAN dan menanggulangi kejahatan transnasional dengan semangat kerja sama, baik secara bilateral maupun multilateral.
Kerja sama antarnegara biasanya didasarkan pada kepentingan masing-masing untuk mendukung keberlangsungan negara. Perjanjian ekstradisi memberikan hak dan kewajiban yang setara bagi kedua belah pihak, menciptakan manfaat bersama, terutama dalam aspek keamanan dan penegakan hukum. Hal ini juga menjaga keseimbangan kekuatan di antara negara-negara yang bekerja sama. (Mathovani, 2022)