Mohon tunggu...
Bella Ima  Fauziyah
Bella Ima Fauziyah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Sunan Ampel Surabaya

Mahasiswa aktif UIN Sunan Ampel Surabaya yang memiliki daya tarik terkait isu hukum dan politik, memiliki hobi menciptakan puisi dan artikel opini

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Ekstradisi Dan Imunitas Negara: Dilema Negara Dalam Menangani Kejahatan Lintas Negara

30 November 2024   16:19 Diperbarui: 30 November 2024   16:19 50
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Imunitas Kedaulatan Negara

Imunitas negara adalah ketika suatu pengadilan nasional seharusnya memiliki yurisdiksi terhadap suatu kasus yang menjadi perselisihan, tetapi wajib untuk tidak melaksanakan yurisdiksinya dalam kasus tersebut karena pihak lawannya adalah negara yang berdaulat atau pemerintah. Menurut Higgins, dalam hukum internasional klasik, negara, termasuk pemerintah daripadanya, diberikan kekebalan dari yurisdiksi teritorial negara lain. Berbagai alasan untuk kebijakan telah diusulkan, dan semua saling terkait. Pertama, alasan tersebut dapat ditemukan dalam doktrin kedaulatan negara: par im parem non habet imperium. Tidak ada negara yang bisa ditundukkan kepada hukum-hukum di negara lain. Kedua, bila negara dapat tunduk pada yurisdiksi negara lain maka hal tersebut akan menyinggung martabat dari negara yang bersangkutan. (Kalalo, 2016)

Kedaulatan Negara sering digunakan untuk merujuk kepada pengertian kekuasaan tertinggi oleh pemerintah. Kedaulatan juga diberi makna sebagai kewenangan politik tertinggi yang dimiliki suatu negara untuk menentukan dan mengatur dirinya. Dalam dunia akademik tidak ada konsep tunggal mengenai kedaulatan semua tergantung pendekatan yang dipakai untuk memaknai kedaulatan tersebut. Jean Bodin menyatakan bahwa tidak ada kekuasaan yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaan negara. Menurutnya kedaulatan merupakan satu satunya kekuasaan yang dalam kehidupan berbangsa memiliki sifat-sifat berupa:

a.Asli, artinya tidak diturunkan dari sesuatu kekuasaan lain.

b.Tertinggi, tidak ada kekuasaan lain yang lebih tinggi yang dapat membatasi kekuasaannya.

c.Bersifat abadi atau kekal.

d.Tidak dapat dibagi-bagi karena hanya ada satu kekuasaan tertinggi saja.

e.Tidak dapat dipindahkan atau diserahkan kepada suatu badan lain. (Situngkir, 2018)

Imunitas kedaulatan negara adalah prinsip hukum internasional yang memberikan perlindungan kepada negara dari tuntutan hukum di pengadilan negara lain. Konsep ini berakar pada prinsip bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh atas wilayah dan urusan dalam negerinya, yang berarti bahwa tidak ada negara lain yang dapat campur tangan tanpa izin. Imunitas ini dibagi menjadi dua kategori utama:

a.Imunitas Absolut: Negara tidak dapat diadili oleh pengadilan negara lain dalam hal tindakan resmi (jure imperii) yang dilakukan oleh pejabat negara.

b.Imunitas Restriktif: Negara dapat diadili untuk tindakan non-resmi (jure gestionis), seperti transaksi komersial.

Prinsip ini bertujuan untuk menjaga hubungan antarnegara dan mencegah konflik yang mungkin timbul akibat intervensi hukum satu negara terhadap negara lain.

Estradiksi dan Kaitannya dengan Imunitas Kedaulatan Negara

Ekstradiksi adalah suatu proses formal dimana seorang pelaku kejahatan diserahkan kepada suatu negara dimana keahatan itu dilakukan untuk menjalani hukuman atas kejahatan yang dilakukannya. Dalam hukum internasional tidak ada ketentuan khusus, yang mengharuskan negara untuk mengikatkan diri ke dalam perjanjian ekstradiksi baik atas dasar suatu perjanjian ataupun dengan dasar hubungan timbal balik. Ekstradiksi dilandasi dengan adanya prinsip timbal balik, saling menghormati dan saling menghargai perbedaan yurisdiksi dan sistem hukum yang bertujuan meningkatkan kerja sama internasional dan memperkuat pemberlakuan hukum nasional ke luar batas teritorial negaranya.

Jika dikaitkan dengan adanya imunitas kedaulatan negara. Pada dasarnya seringkali hubungan diplomatik antara negara-negara dipengaruhi oleh keputusan ekstradiksi. Baik untuk mengekstradiksi maupun melakukan penolakan yang dapat menyebabkan ketegangan diplomatik. Hubungan bilateral bahkan multilateral dapat dipengaruhi oleh konflik yang berkaitan dengan ekstradiksi. Seperti yang diketahui, pelaku yang memiliki hak imunitas ialah para diplomatik yang dikirim oleh suatu negara ke negara lain untuk kepentingan bilateral maupun multilateral. Jika seorang diplomat melakukan suatu tindak kejahatan dinegara tertentu, maka negara pengirim tetap harus bertanggung jawab untuk menyelesaikan masalah yang ada dan dapat menarik diplomat tersebut untuk diadili di negara pengirim. (Zefanya Alberto Rembet et al., 2022)

Pengaruh Perjanjian Ekstradisi Terhadap Imunitas Negara

Perjanjian ekstradiksi dan imunitas negara saling mempengaruhi dalam konteks hukum internasional. Keterkaitan antara keduanya yakni: pertama, sebagai prosesur ekstradiksi, banyak negara memiliki Kebijakan yang melarang ekstradisi warga negara mereka sendiri. Ini didasarkan pada prinsip kedaulatan dan perlindungan hukum yang mendalam terhadap warga negara. Negara yang diminta untuk mengekstradisi seseorang, jika orang tersebut adalah warga negaranya, dapat menolak permintaan tersebut hal ini termasuk prinsip non ekstradiksi. Prinsip perjanjian ekstradisi sering mengandung ketentuan tentang kewarganegaraan. Perlindungan terhadap kewarganegaraan, menurut prinsip ini pengembalian seseorang ke tempat di mana mereka berisiko mengalami penyiksaan atau perlakuan buruk dilarang oleh hukum Internasional hak asasi manusia.

Kedua, sebagai ketahanan politik. Hubungan diplomatik antara negara-negara sering dipengaruhi oleh keputusan mengenai ekstradisi. Baik persetujuan untuk mengekstradisi maupun penolakan sehingga menyebabkan ketegangan diplomatik. Hubungan bilateral dan bahkan multilateral dapat dipengaruhi oleh konflik terkait ekstradisi. Terdapat pula proteksi diplomatik yaitu:

a.Imunitas fungsional, Imunitas ini melindungi diplomat dari penuntutan dan penangkapan terkait dengan tindakan resmi mereka dalam kapasitas diplomatik;

b.Imunitas personal, Imunitas ini melindungi diplomat dari penahanan dan penahanan pribadi. Ini termasuk perlindungan dari tindakan hukum sipil atau pidana yang dilakukan oleh diplomat di negara tuan rumah, kecuali jika tindakan tersebut berkaitan dengan aktivitas pribadi di luar tugas resmi mereka. (Muhamad et al., 2024)

Kontradiksi Imunitas Negara dengan Kebutuhan Ekstradisi Pelaku Kejahatan Lintas Negara

Perkembangan hubungan antar komunitas global telah mendorong berkembangnya kejahatan transnasional yang terjadi. Perkembangan pesat kejahatan transnasional menuntut negara-negara diseluruh dunia untuk memiliki instrumen hukum yang sama atau diakui secara universal berdasarkan praktik internasional dalam kerangka penerapan hukum nasional dan mempromosikan keamanan internasional untuk memerangi dan menghapus kejahatan transnasional. Salah satu kendala dalam mengatasi bentuk kejahatan transnasional tersebut adalah sulitnya menangkap pelaku kejahatan dan mengadili mereka.(Lombok, 2014)

Terorisme, kejahatan yang terorganisir, dan kejahatan transnasional lainnya merupakan tantangan mendasar bagi penegakan hukum, perdamaian dan keamanan yang harus diperjuangkan di tingkat nasional, regional dan internasional. Perjanjian ekstradisi dapat dijadikan salah satu cara untuk menangani hal tersebut. Beberapa isu seperti perlindungan kekuatan nasional dan kedaulatan menyebabkan negara-negara yang berbeda untuk memprediksi pembatasan dan peraturan dalam undang-undang mereka yang berkaitan dengan ekstradisi. Penyerahan terpidana dalam perjanjian ekstradisi melibatkan permintaan suatu negara ke negara lain yang dilakukan melalui jalur diplomatik. Dalam melaksanakan agenda politik luar negerinya, Indonesia selalu menekankan arti penting kerjasama internasional untuk masa depan Indonesia.

Perjanjian ekstradisi lahir untuk mengantisipasi, menangkap, dan mengadili pelaku kejahatan yang berusaha melarikan diri ke negara lain untuk menghindari jeratan hukum negara tempat pelaku melakukan kejahatan kenegara yang mereka yakini sebagai tempat persembunyian yang aman. Oleh karena itu, di era modernisasi sekarang ini, lembaga hukum yang dikenal dengan istilah ekstradisi ini menjadi sangat penting. Sebagai usaha untuk menjalin hubungan atau kerjasama antar dua negara atau lebih pastinya memiliki celah tersendiri bagi suatu negara, namun untuk menanggulangi hal-hal yang tidak diinginkan misalnya memberhentikan kerjasama secara sepihak maka dalam hubungan internasional dibentuklah perjanjian internasional yang bertujuan untuk melahirkan sebab akibat hukum bagi subjek-subjek yang bersangkutan. Sehingga perjanjian internasional merupakan hal yang sangat penting dalam menjalin hubungan internasional.

Kerjasama antar negara ini dibutuhkan guna mempermudah penanganan proses penyidikan, penuntutan, dan inspeksi pada sidang pengadilan atas suatu kasus yang ada, baik di negara peminta maupun negara diminta. Dalam hal kerjasama pada bidang hukum dan peradilan, masalahnya adalah berkenaan dengan yurisdiksi atas orang yang sedang dalam proses penerapan aturan pidananya (penyelidikan, penyidikan, pembuatan berita acara pemeriksaannya, proses peradilannya, ataupun pelaksanaan hukuman) atas kejahatan yang dilakukan oleh seseorang yang pada beberapa aspek terkait menggunakan yurisdiksi negara lain. Dalam hal kerjasama hukum ini adalah terkait dengan kasus ekstradisi.

Dalam Pasal 27 Konvensi Wina mengenai Perjanjian Internasional (UN Convention on the law of the treaty) tahun 1969, bahwa permintaan ekstradisi wajib dipenuhi, sebagai suatu kewajiban mutlak bagi negara yang dimintakan ekstradisi. Dalam pelaksanaan ekstradisi terhadap pelaku kejahatan, praktik Indonesia mengikuti ketentuan dan mekanisme sebagaimana yang ditentukan dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1979 Tentang Ekstradisi.

Hal yang dapat menimbulkan kesukaran adalah apabila pelaku kejahatan tersebut bermotifkan politik, sebab dalam hal ekstradisi dikenal asas "Non Extradition of Politic Criminal". Dalam hal demikian negara-negara dapat menolak permintaan negara peminta untuk menyerahkan orang yang diminta apabila kejahatan yang dilakukan oleh orang yang diminta itu dan yang menjadi dasar untuk meminta penyerahan itu oleh negara peminta adalah kejahatan politik. Selain itu, kontradiksi muncul ketika individu yang memiliki imunitas diplomatik atau status tertentu dituntut untuk diekstradisi. Misalnya, diplomat tidak dapat diadili atau diekstradisi berdasarkan tindakan resmi mereka, sesuai dengan Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik (1961) dan Konvensi Wina tentang Hubungan Konsuler (1963). Hal ini dikarenakan diplomat memliki proteksi terkait statusnya saat melakukan kunjungan ke negara lain sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.

Implementasi Perjanjian Ekstradisi dalam Kawasan Regional ASEAN

Dalam beberapa tahun terakhir, pelaku kejahatan semakin inovatif dalam melancarkan aksinya, melakukan tindak kejahatan di negara asal dan melarikan diri ke negara lain. Aset yang diambil sering kali ditempatkan di negara persembunyiannya. Pelarian ini bertujuan menghindari upaya penangkapan terkait kejahatan yang dilakukan di negara asal. Hal ini merugikan negara yang tidak dapat menangkap pelaku meskipun terjadi pelanggaran hukum. Komitmen internasional untuk menanggulangi kejahatan lintas batas diwujudkan melalui instrumen hukum internasional, baik yang bersifat hard law maupun soft law.

Ekstradisi memiliki mekanisme berdasarkan hukum, yang mengatur prosedur baik sebagai negara diminta (requested state) maupun negara peminta (requesting state). Sebagai negara diminta, perjanjian internasional seperti Konvensi Wina 1969 mengacu pada asas pacta sunt servanda, di mana negara wajib melaksanakan perjanjian, meski bertentangan dengan hukum nasional. Hal ini memperkuat kewajiban ekstradisi sebagai tanggapan atas meningkatnya kejahatan lintas batas. Negara-negara, termasuk Indonesia, menekankan pentingnya perjanjian ekstradisi untuk memperkuat kerja sama internasional dalam penegakan hukum.

Implementasi ekstradisi menjadi lebih mudah jika terdapat perjanjian bilateral. Sebaliknya, tanpa perjanjian, sering timbul masalah akibat kurangnya dasar hukum yang kuat. Ekstradisi sebagai bagian dari hukum internasional dan nasional melibatkan prosedur yang panjang, birokrasi yang kompleks, serta biaya dan tenaga yang besar. Proses ini sering menjadi kendala dalam memberantas kejahatan internasional yang membutuhkan kecepatan dan efisiensi.

Hingga kini, Indonesia memiliki perjanjian ekstradisi bilateral dengan empat negara ASEAN, yakni Malaysia, Filipina, Thailand, dan Vietnam. Pemerintah terus mendorong pembentukan perjanjian serupa di kawasan ASEAN, mengingat pentingnya kerja sama hukum untuk menghadapi kejahatan lintas batas. Perjanjian ini dinilai mendukung penegakan hukum di negara-negara anggota ASEAN dan menanggulangi kejahatan transnasional dengan semangat kerja sama, baik secara bilateral maupun multilateral.

Kerja sama antarnegara biasanya didasarkan pada kepentingan masing-masing untuk mendukung keberlangsungan negara. Perjanjian ekstradisi memberikan hak dan kewajiban yang setara bagi kedua belah pihak, menciptakan manfaat bersama, terutama dalam aspek keamanan dan penegakan hukum. Hal ini juga menjaga keseimbangan kekuatan di antara negara-negara yang bekerja sama. (Mathovani, 2022)

DAFTAR REFERENSI

Kalalo, J. J. J. (2016). Penyelesaian Sengketa Terhadap Kasus Imunitas Negara Melalui Icj (International Court of Justice) / Mahkamah Internasional. Jurisprudentie: Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah Dan Hukum, 3(2), 98--109. https://doi.org/10.24252/JURISPRUDENTIE.V3I2.2818

Lombok, L. L. (2014). Kedaulatan Negara vis a vis Keistimewaan dan Kekebalan Hukum Organisasi Internasional dalam Sebuah Intervensi Kemanusiaan. Pandecta: Research Law Journal, 9(1). https://doi.org/10.15294/pandecta.v9i1.2853

Mathovani, S. A. (2022). Pelaksanaan Kerjasama Ekstradisi Politik Luar Negeri Indonesia Dalam Meningkatkan Sistem Kekebalan Hukum Di Kawasan Asean Implementation of Cooperation in Extradition of Indonesian Foreign Policy in Improving the Immune System in the Asean Region. Constitution Journal, 1(1). https://doi.org/10.35719/constitution.v1i1.10

Muhamad, A., Nasoha, M., Atqiya, A. N., Sokhib, M. N., Kurniawati, S. D., Thazha, F., & Sari, E. (2024). Kewarganegaraan dalam Hukum Internasional: Implikasi dari Perjanjian Ekstradisi dan Imunitas Diplomatif. 2, 108--117.

Situngkir, D. A. (2018). Eksistensi Kedaulatan Negara Dalam Penerapan Yurisdiksi Mahkamah Pidana Internasional. Lex Librum: Jurnal Ilmu Hukum, 4, 659--672.

Zefanya Alberto Rembet, Roy Ronny Lembong, & Youla O. Aguw. (2022). Ekstradisi Sebagai Suatu Upaya Hukum Dalam Penindakan Terhadap Pelaku Kejahatan Menurut Uu No 1 Tahun 1979. Lex Administratum, Query date: 2023-03-27 11:41:23. https://ejournal.unsrat.ac.id/v3/index.php/administratum/article/view/41925

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun