Mohon tunggu...
Belfin P.S.
Belfin P.S. Mohon Tunggu... Lainnya - Seorang bapak yang makin tua dan bahagia

IG: @belfinpaians

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Guru (Seharusnya) Menulis supaya Eksis, Tidak Sekadar Teoritis!

21 Juni 2022   11:50 Diperbarui: 22 Juni 2022   11:59 911
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi menulis artikel. Foto: KOMPAS.com/OIK YUSUF 

"Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian" (Pramoedya Ananta Toer)

Agaknya kutipan dari Pramoedya di atas memang terkesan idealis dan hiperbolais. Bagaimana tidak, penggunaan diksi dan frasa 'pandai setinggi langit', 'hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah', serta 'keabadian' seolah-olah melebih-lebihkan betapa menulis itu menjadi penting. 

Pemberian makna pada kata 'menulis' pun menekankan sebuah interpretasi penting yang seolah-olah merepresentasikan eksistensi seseorang di dunia. Padahal logikanya, menulis bukanlah satu-satunya peninggalan sejarah semasa hidup.

Tapi ucapan itu ada benarnya, orisinalitas dan karya yang memang kita tuliskan sendiri akan terasa lebih dihargai dan bermakna apabila kita mampu meninggalkan jejak pemikiran yang bisa bermanfaat bagi orang lain. 

Kalau pun tidak ditulis sendiri, orang lain pun berhak menulis jejak-jejak hidup kita untuk dikenang orang lain asal kita memiliki pengaruh sebagai publik figur, seperti dimuat dalam berita dan lain-lain. Namun, esensinya mungkin akan terasa sedikit berbeda. 

Penghargaan kepada orang yang bisa menulis adalah penghargaan intelektual mutlak karena hasilnya akan dikenang dalam keabadian, apalagi ketika diapresiasi dan diingat oleh pembacanya, seperti yang telah dilakukan oleh Pramoedya.

Memang tak bisa kita pungkiri, ucapan Pramoedya itu bukan tanpa latar belakang, tanpa filosofi, tanpa sejarah, dan tanpa cerita. 

Siapa yang tidak mengenal Pramoedya Ananta Toer? Maestro pengarang di Indonesia ini telah mencatatkan sejarah sebagai salah satu penulis dari Indonesia yang pernah dinominasikan untuk mendapatkan penghargaan nobel. Bahkan salah satu pengarang yang mengalami penderitaan hampir seumur hidupnya karena dipenjara oleh rezim Orde Baru. 

Kalau bukan karena kualitas dan pengabdiannya pada dunia sastra dan budaya kepenulisan di Indonesia, tidak akan mungkin ia dikenang sebagai penulis besar di masanya. 

Ucapan-ucapannya itu bukan sekadar retorika yang dipakai untuk keindahan diksi dan makna saja, tetapi makna di balik ucapannya itu menjadi cambuk motivasi untuk menginspirasi pembaca dan penikmat buku-bukunya. 

Bayangkan apabila ucapan itu diucapkan oleh seseorang seperti saya, rasanya mustahil diyakini, apalagi dilakukan. Siapa saya? Orang lain mungkin akan menertawakannya.

Kekuatan identitas dan kualitas karya menjadi sangat penting untuk membuat kutipan motivasi seperti di atas. Action is louder than words memang betul adanya.

Pramoedya tidak lagi berteori tentang pentingnya menulis, tapi ia berbicara dari pengalaman dan tindakan. Ia telah menghidupi kegiatan menulis itu sendiri dan merasakan suka dukanya dizalimi oleh rezim Orde Baru. Seperti yang ia pernah katakan, "Menulis buat saya adalah perlawanan. 

Di semua buku saya, saya selalu mengajak untuk melawan. Saya dibesarkan untuk menjadi seorang pejuang." Menulis baginya bukan lagi sekadar hobi, tapi risiko perjuangan hidup itu sendiri. 

Maka tak heran bila kata-kata bukanlah sekadar kata-kata indah, tapi itu semua adalah buah pengalamannya sendiri. 

Mungkin bisa jadi, menulis baginya adalah sejarah itu sendiri. Ia dan sejarah hampir sama. Ia adalah keabadian itu sendiri. Setidaknya di dalam sejarah kesusastraan Indonesia.

Menulis memang bekerja untuk keabadian. Itu tak terelakkan. Menulis adalah bagian dari sejarah, paling tidak sejarah untuk diri sendiri, sanak saudara, dan keluarga. 

Beruntunglah mereka penulis-penulis besar yang sudah dikenal khalayak. Tapi tidaklah mustahil, Anda dan saya juga bisa seperti mereka. Syaratnya hanya dua: jangan berhenti menulis dan teruslah berdoa supaya bisa menjadi seperti Pramoedya. 

Menariknya, menulis tak harus pandai. Kita hanya perlu mengandalkan mata, tangan, dan pikiran. Semudah itu. Setelah itu, semakin banyak membaca dan menulis, Anda akan pandai dengan sendirinya. Komitmen dan konsistensi adalah ujian berikutnya.

Tulisan ini saya mulai dengan kutipan dari Pramoedya Ananta Toer karena saya jatuh cinta dengan ide dan karya-karyanya. Perkenalan saya dengannya terjadi ketika saya membaca salah satu karya tetraloginya yang berjudul Bumi Manusia. 

Kisah Minke dan Nyai Ontosoroh menjadi kisah yang tak pernah saya lupakan. Buku itulah yang menarik saya untuk membaca karya-karyanya yang lain. Brilian. Karya-karyanya berbeda dari karya pengarang lain. 

Poskolonalisme, romantisme, sejarah, poiltik, budaya, dan sisi humanisme yang terkandung dalam karya-karyanya banyak menginspirasi keingintahuan saya untuk lebih banyak membaca dan menulis. Ditambah lagi dengan kisah hidupnya yang tragis karena harus berbenturan dengan rezim yang tidak suka dengan tulisannya. 

Ironis dan sangat menginspirasi. Ia memiliki prinsip yang luar biasa. Hanya melalui tulisan saja, ia bisa dihukum tanpa vonis yang jelas. Hal itulah yang membuat dunia tulis-menulis menjadi misteri. Ternyata, menulis juga menjadi sebuah tindakan yang berbahaya.

Itulah sebabnya ia pernah berujar, "Menulis adalah sebuah keberanian!" Saya setuju! Keberanian yang dimaksud bukan hanya keberanian untuk melawan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, tetapi juga keberanian untuk mengalahkan diri sendiri dari ketakutan untuk membela sesuatu yang benar. 

Setidaknya, berani untuk melampiaskan apa yang Anda rasakan, mencurahkan isi hati untuk mendapatkan ketenangan jiwa, atau menumpahkan kekesalan atau kebahagiaan untuk mendapatkan pengakuan. 

Di level lain, berani untuk berpendapat dan menyampaikan kritik meski melalui tulisan bisa menjadi pilihan untuk menyuarakan aspirasi, membantu berkomunikasi dengan pihak-pihak lain yang tidak sensitif dengan apa yang sedang terjadi.

Nah, melalui tulisan ini, saya ingin sekali bercerita tentang pengalaman menulis saya, khususnya selama pandemi. 

Sebagai seorang guru, terutama guru bahasa, ada kalanya saya dihadapkan pada persoalan moral. 

Sebagai guru bahasa, menurutku, seharusnya ada tuntutan untuk ahli di bidangnya. Salah satunya adalah menulis, menghasilkan karya dan produktif! Setidaknya itu menjadi satu profil yang bisa dibanggakan kepada siswa. 

Saya percaya bahwa sebagai guru bahasa, memberikan contoh tulisan, mempraktikkannya, dan menjadi inspirasi bagi siswa dalam kegiatan menulis seharusnya bisa dilakukan. Tapi sayangnya, tak banyak yang bisa melakukannya. 

Guru kecenderungan bertindak teoritis dan tak sanggup membuktikannya. Hanya siswanya yang produktif! Saya menjadi bertanya-tanya, ada apa dengan kompetensi kita sebagai guru bahasa kalau masih selalu berkutat pada persoalan teoritis tanpa pernah mempraktikkannya kepada siswa. 

Siswa juga perlu bukti! Saya percaya bahwa mengajar tak sekadar teoritis, tapi juga mempraktikkan dan menghasilkan karya. 

Minimnya karya guru menjadi sebuah pertanyaan yang hingga saat ini masih misteri di benak saya. Tak banyak guru yang saya kenal di tempat saya bekerja memiliki ketertarikan untuk berkarya, setidaknya pernah menulis.

Hal ini mungkin dipengaruhi oleh banyak faktor internal dan eksternal. Beberapa guru yang saya kenal sangat konsisten dalam menulis, bahkan memiliki gairah untuk menulis karena terdorong oleh keinginan untuk menjadi bagian dari sejarah dan keabadian.

Ia ingin berbagi dan menginspirasi orang lain. Memang terdengar idealis, tapi itu wajar dilakukan untuk mengukur kemampuannya pada bidang menulis. 

Di sisi lain, minimnya dorongan eksternal dari instusi sekolah yang mewajibkan para gurunya untuk menulis juga sangat mempengaruhi motivasi guru. 

Tuntutan kerja dan beban mengajar seringkali masih menjadi alasan untuk tak sempat menulis. Padahal, di sekolah-sekolah tertentu, tuntutan untuk naik pangkat sangat memotivasi mereka untuk menulis dan berkarya. Setidaknya itu bisa mendorong mereka untuk eksis sebagai guru, juga penulis yang berani mengekspresikan dirinya lewat tulisan.

Terlepas dari tuntutan sekolah atau motivasi pribadi, menurutku, menulis adalah hal wajib yang perlu dilakukan oleh guru. Gairah untuk menulis harus dimulai. 

Saya rasa, tidaklah sulit bagi guru untuk menulis. Tidak harus menjadi guru bahasa. Semua guru memiliki dasar yang sama, bahkan mereka telah bergelut dengan dunia menulis tiap hari. 

Menulis RPP, hand out, laporan, dan lain-lain sejatinya mirip. Dasar-dasar menulis itu telah dimiliki. Tapi, persoalan motivasi, niat, dan kemauan akan menjadi persoalan tersendiri yang tak bisa dipungkiri. Kalau tidak ada kemauan, pasti tidak ada jalan. Selama merasa di zona nyaman, guru akan begitu-begitu saja.

Oleh karena itu, berkaca dari kejadian itu, di masa pandemi lalu, saya mengubah mindset saya untuk berkembang menjadi lebih baik. 

Ketika harus mengajar dari rumah dan mengajar daring, saya melihat ada kesempatan untuk belajar dan bertumbuh secara profesional dalam dunia pendidikan, terutama dalam dunia tulis-menulis. Apalagi tiap hari berkutat dengan internet, laptop, dan beberapa gawai lainnya. 

Saya memiliki waktu yang sangat banyak untuk belajar menulis. Tidak sulit untuk menemukan bacaan di internet, mencari inspirasi, dan menuliskan apa saja yang ada di kepala saya. 

Bahkan ketika saya mengalami kesulitan dalam mengajar daring, itu pun saya curahkan dalam buku kumpulan esai, cerita, dan blog saya. 

Ternyata itu sangat membantu dan menginspirasi guru-guru lain di luar sana yang juga mengalami hal yang sama. Menulis dan berbagi menjadi dunia baru yang menarik minat saya untuk menjadikannya hobi dan pengalaman baru.

Terbukti, dalam kurun dua tahun, beberapa tulisan dapat terealisasi dan diterbitkan. Saya melihat banyak keuntungan yang saya peroleh dari menulis. 

Secara tidak langsung, tuntuan moral sebagai guru bahasa terpenuhi. Keterampilan menulis saya bisa dibuktikan makin terasah. 

Selain itu, bergabung dengan komunitas guru dan kelas kreatif sangat membantu pemahaman saya tentang dunia menulis. 

Melalui sharing dan ajakan untuk menulis pun, bisa mewadahi hobi saya untuk menyalurkan keinginan saya untuk bisa menulis dan menulis lagi. Bahkan di luar dugaan saya, keinginan saya untuk bertumbuh ini malah mendatangkan banyak kesempatan baru seperti menjadi pembicara, editor freelance, dan lain-lain. Semua berkat itu tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Setelah menulis ini pun, saya jadi teringat dengan ucapan Pramoedya yang saat itu kami undang di kampus, tahun 2002 lalu. 

Waktu itu ia mengatakan, "Semua harus ditulis, apa pun. Jangan takut tidak dibaca atau tidak diterima penerbit. Yang penting, tulis, tulis, dan tulis. Suatu saat pasti berguna." Ini menjadi motivasi utama yang membuatnya saya jatuh cinta dengan dunia menulis. 

Ucapan-ucapannya itu pada akhirnya memang benar adanya. Sebagai seorang guru, saya meyakini bahwa ucapannya itu memiliki kekuatan yang memengaruhi pikiran saya untuk berbuat yang sama. 

Menulis itu membutuhkan keberanian untuk paling tidak mengalahkan diri sendiri. Apalagi di masa sekarang ini, kemudahan itu sudah bisa kita dapatkan saat kita terhubung dengan internet dan komunitas penulis yang menjadi wadah untuk berbagi dan berkarya. 

Tidak ada alasan untuk tak bisa produktif dan berkarya. Kalau memang tidak ingin hilang dari masyarakat dan sejarah, kini saatnya menulis. 

Menulislah untuk keabadian. Setidaknya untuk keabadianmu sendiri. Hanya dengan itu Anda akan dikenang! Yuk bangkitkan gairah menulismu lagi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun