Poskolonalisme, romantisme, sejarah, poiltik, budaya, dan sisi humanisme yang terkandung dalam karya-karyanya banyak menginspirasi keingintahuan saya untuk lebih banyak membaca dan menulis. Ditambah lagi dengan kisah hidupnya yang tragis karena harus berbenturan dengan rezim yang tidak suka dengan tulisannya.Â
Ironis dan sangat menginspirasi. Ia memiliki prinsip yang luar biasa. Hanya melalui tulisan saja, ia bisa dihukum tanpa vonis yang jelas. Hal itulah yang membuat dunia tulis-menulis menjadi misteri. Ternyata, menulis juga menjadi sebuah tindakan yang berbahaya.
Itulah sebabnya ia pernah berujar, "Menulis adalah sebuah keberanian!" Saya setuju! Keberanian yang dimaksud bukan hanya keberanian untuk melawan ketidakadilan yang terjadi di masyarakat, tetapi juga keberanian untuk mengalahkan diri sendiri dari ketakutan untuk membela sesuatu yang benar.Â
Setidaknya, berani untuk melampiaskan apa yang Anda rasakan, mencurahkan isi hati untuk mendapatkan ketenangan jiwa, atau menumpahkan kekesalan atau kebahagiaan untuk mendapatkan pengakuan.Â
Di level lain, berani untuk berpendapat dan menyampaikan kritik meski melalui tulisan bisa menjadi pilihan untuk menyuarakan aspirasi, membantu berkomunikasi dengan pihak-pihak lain yang tidak sensitif dengan apa yang sedang terjadi.
Nah, melalui tulisan ini, saya ingin sekali bercerita tentang pengalaman menulis saya, khususnya selama pandemi.Â
Sebagai seorang guru, terutama guru bahasa, ada kalanya saya dihadapkan pada persoalan moral.Â
Sebagai guru bahasa, menurutku, seharusnya ada tuntutan untuk ahli di bidangnya. Salah satunya adalah menulis, menghasilkan karya dan produktif! Setidaknya itu menjadi satu profil yang bisa dibanggakan kepada siswa.Â
Saya percaya bahwa sebagai guru bahasa, memberikan contoh tulisan, mempraktikkannya, dan menjadi inspirasi bagi siswa dalam kegiatan menulis seharusnya bisa dilakukan. Tapi sayangnya, tak banyak yang bisa melakukannya.Â
Guru kecenderungan bertindak teoritis dan tak sanggup membuktikannya. Hanya siswanya yang produktif! Saya menjadi bertanya-tanya, ada apa dengan kompetensi kita sebagai guru bahasa kalau masih selalu berkutat pada persoalan teoritis tanpa pernah mempraktikkannya kepada siswa.Â
Siswa juga perlu bukti! Saya percaya bahwa mengajar tak sekadar teoritis, tapi juga mempraktikkan dan menghasilkan karya.Â