"Bu Minah, itu jangan dilipat dulu, dicek dulu!" suara Pak RT menggelegar di bawah tenda TPS yang mulai gerah karena matahari siang.
Bu Minah, perempuan sepuh yang jarang keluar rumah kecuali untuk belanja dan yasinan, mengernyitkan dahi. Tangannya yang keriput tetap saja melipat kertas suara itu dengan rapi. "Dicek gimana, Pak RT? Tulisan kecilnya kaya semut begini, mana ibu bisa baca?"
Pak RT, yang sejak pagi sibuk memandu jalannya pemungutan suara, menghela napas panjang. "Ya ampun, Bu Minah. Itu kandidatnya ada lima, kan? Lihat fotonya aja, terus dicoblos yang paling cocok di hati."
Bu Minah mengangguk-angguk sambil mengeluarkan kacamata yang sudah retak salah satu lensanya. "Bentar, bentar. Mana fotonya? Ini siapa, kok mukanya mirip tukang sayur di pasar?"
"Bu Minah, itu nomor dua," sela Ibu RT sambil nyengir dari meja saksi.
"Tukang sayur juga calon pemimpin, Bu. Jangan meremehkan," kata salah satu anggota KPPS, Mas Yoga, yang sejak pagi sibuk dengan tinta ungu di jari warga.
Bu Minah tertawa kecil, lalu masuk ke bilik suara. Terdengar bunyi bolpoin klik-klik, lalu hening beberapa detik sebelum ia keluar dengan senyum puas.
"Sudah dicoblos yang paling ganteng," katanya riang, menyerahkan kertas suara yang sudah dilipat.
Pak RT memandangnya ragu. "Yakin, Bu Minah? Yang paling ganteng?"
"Iya, lah. Hidup ini udah susah, pemimpin harus enak dilihat biar hati adem," jawabnya sambil berlalu.