Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Nek, Aku Rindu

24 Oktober 2024   06:57 Diperbarui: 25 Oktober 2024   07:37 128
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Jam menunjukkan pukul 05.30. Hawa pagi di pelataran pasar kue masih dingin, embusan angin menyelip masuk di antara lapak-lapak yang baru dibuka. Aku melangkah pelan, mencium aroma manis dari kukusan kue putu yang beradu dengan gurihnya minyak goreng dari gerobak onde-onde. Pemandangan ini membawa memori yang menyesak di dadaku.

"Lihat, Nek. Aku sampai lebih pagi dari biasanya," gumamku pelan, berharap ada suara hangat yang akan menjawab dari sisiku. Tapi, keheningan hanya dibalas suara riuh pedagang yang bersiap menjajakan dagangan mereka.

Semua masih sama, kecuali satu hal---nenekku tidak lagi di sini. Pasar ini selalu jadi tempat favorit kami. Setiap Minggu pagi, kami berdua pasti akan datang, memutari kios-kios kue, dan nenek akan membelikanku apapun yang kuinginkan. Tapi kini, aku hanya bisa mengingat, merangkai kembali kenangan-kenangan itu dalam setiap sudut pasar.

Aku terhenti di depan kios onde-onde. Wajahku tersenyum tipis, mengenang bagaimana nenek selalu membelikan onde-onde pertama kali.

"Nek, aku mau yang ini," kataku dulu, menunjuk onde-onde di lapak itu. Dulu nenek selalu tertawa lembut melihatku antusias.

"Nek, satu onde-onde, ya," aku bicara pada si penjual, kali ini tanpa antusias. Perempuan tua penjaga lapak itu masih ingat aku. Dia tersenyum mengenali wajahku, mungkin karena ia sering melihatku bersama nenek.

"Apa kabar, Nak? Onde-ondenya masih seperti yang dulu," katanya sembari menyerahkan bungkusan kertas cokelat yang menghangat di tanganku.

Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. Rasanya sulit menjawab pertanyaan tentang 'kabar' ketika hati ini masih dipenuhi kesedihan. Tapi aku tahu, aku harus menerimanya, harus mengikhlaskan bahwa nenek tidak akan lagi datang bersamaku.

Langkahku terhenti di depan toko kue apem, favorit nenek. Bau manis dari tepung yang sedang dikukus menyelimuti udara pagi. Aku memejamkan mata, membiarkan ingatan itu mengalir.

"Apem ini baik buat kita. Simbol keberuntungan," kata nenek suatu hari sambil menyodorkan sepotong apem yang baru saja dibeli. Aku, yang saat itu tidak terlalu peduli dengan simbol atau keberuntungan, hanya mengangguk sambil memakannya dengan lahap.

Namun kini, aku sadar bahwa setiap kali nenek membeli apem, itu adalah cara diam-diamnya mengingatkanku untuk selalu bersyukur, bahwa dalam hidup ini ada banyak hal kecil yang perlu dihargai.

Aku membeli beberapa apem. "Untuk apa?" tanyaku pada diri sendiri. Mungkin sekadar mengenang nenek, atau mungkin ini caraku melanjutkan tradisi kecil kami. Saat apem itu berpindah ke tanganku, terasa aneh, tidak ada tawa nenek yang menemaniku seperti dulu.

***

Kemarin sore, aku duduk di teras rumah. Udara terasa berat, seperti hujan yang hampir turun tapi enggan tiba. Pikiran tentang nenek tidak pernah benar-benar jauh dariku sejak pemakamannya beberapa bulan lalu. Setiap sore, aku selalu mengingat waktu-waktu bersamanya.

"Nenekmu itu perempuan yang kuat. Dia membesarkan kita sendirian setelah kakekmu meninggal," ucap Ibu suatu sore. Aku mendengarnya dengan setengah hati, pikiranku terjebak di pasar kue.

Aku ingat betapa nenek selalu memastikan aku merasa istimewa, dengan membawa aku ke pasar kue setiap Minggu pagi. Itu bukan hanya sekadar ritual belanja, itu adalah waktu kami, waktu untuk berbagi cerita, tawa, dan terkadang nasihat-nasihat kecil yang baru sekarang aku sadari nilainya.

"Kenapa kamu sering melamun belakangan ini?" tanya Ibu yang tiba-tiba muncul di sebelahku.

Aku menoleh, kemudian menunduk. "Aku rindu Nenek, Bu. Aku bahkan merindukan pasar kue itu, tempat kami biasa pergi bersama."

Ibu tersenyum lembut. "Pasar kue itu selalu menjadi tempat kesukaan nenekmu. Mungkin karena di sana, dia merasa hidup dengan segala kehangatan dan kesederhanaan. Kamu bisa pergi ke sana lagi, untuk mengenangnya."

Aku mengangguk, meskipun tahu tidak akan pernah sama tanpa nenek.

***

Seminggu sebelumnya, di hari yang panas itu, aku menemukan sebuah kotak kayu kecil di bawah tempat tidur nenek. Kotak itu terbungkus kain batik lusuh, terlihat sudah sangat tua. Dengan rasa penasaran, aku membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat beberapa benda yang sangat familiar---sebuah sisir kayu, cermin kecil, dan... foto.

Foto itu sudah mulai memudar, tapi aku masih bisa mengenali wajah di dalamnya. Itu adalah nenek saat muda, mengenakan kebaya dan tersenyum di depan sebuah lapak pasar kue. Di belakangnya, berdiri seorang pria yang aku kenali sebagai kakek. Aku tidak pernah tahu bahwa nenek dan kakek punya kenangan bersama di pasar kue ini. Dan tiba-tiba, aku merasa pasar itu menjadi lebih dari sekadar tempat belanja. Itu adalah penghubung mereka, dan sekarang menjadi penghubung antara aku dan nenek.

***

Beberapa bulan sebelumnya, di hari ketika langit berwarna kelabu dan gerimis turun perlahan, aku berdiri di tepi kuburan, menatap tanah merah yang baru ditutup. Upacara pemakaman nenek selesai. Tangis keluargaku telah mereda, namun air mata di pipiku masih membekas.

"Dia hidup dengan penuh kasih, dan dia meninggal dengan tenang," ucap Ibu, mencoba menenangkan. Aku hanya diam, tidak tahu harus berkata apa.

Yang jelas, aku merasa kehilangan besar. Seakan-akan ada bagian dari diriku yang ikut terkubur bersama nenek. Aku tidak tahu bagaimana aku akan menjalani hari-hari ke depan tanpa kehadirannya, tanpa panggilan lembutnya di pagi hari, tanpa tawanya saat kami berjalan di pasar kue.

***

Hari terakhir nenek masih di rumah sakit adalah hari paling sulit. Aku duduk di samping tempat tidurnya, memegang tangannya yang sudah semakin lemah. Nafasnya terengah-engah, tapi dia masih berusaha tersenyum kepadaku.

"Jaga dirimu baik-baik, ya. Jangan lupa apa yang nenek ajarkan. Dan..." Dia berhenti sejenak, menarik napas panjang, "...datanglah ke pasar kue, kalau kamu rindu nenek."

Aku menahan tangis saat mendengarnya. "Nek, jangan bicara begitu. Nenek akan sembuh dan kita akan pergi lagi ke pasar, seperti biasa, kan?"

Nenek hanya tersenyum. "Mungkin tidak, Sayang. Tapi itu tidak masalah. Kamu tetap bisa pergi ke sana... dengan kenangan nenek bersamamu."

***

Aku kembali duduk di bangku kayu di ujung pasar. Onde-onde yang tadi kubeli tergeletak di sampingku, setengah dimakan. Angin pagi masih berhembus lembut. Aku memandangi lapak-lapak yang semakin ramai, pedagang mulai menawarkan dagangan mereka kepada para pembeli yang baru tiba.

Seorang perempuan tua, yang dari kejauhan tampak mirip dengan nenek, berjalan melewati lapak tempat aku duduk. Untuk sesaat, aku hampir memanggilnya. Tapi kemudian, aku tersadar, bukan nenekku lagi yang ada di sini.

Aku menutup mata, membiarkan angin membawa kenangan itu kembali. Dan di tengah-tengah hiruk pikuk pasar, aku mendengar suara nenek, lembut dan hangat seperti biasanya.

"Ayo, Sayang. Kita beli onde-onde kesukaanmu."

Aku tersenyum kecil, meski mataku berkaca-kaca.

"Iya, Nek. Aku akan terus datang ke sini. Aku tidak akan lupa."

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun