Aku membeli beberapa apem. "Untuk apa?" tanyaku pada diri sendiri. Mungkin sekadar mengenang nenek, atau mungkin ini caraku melanjutkan tradisi kecil kami. Saat apem itu berpindah ke tanganku, terasa aneh, tidak ada tawa nenek yang menemaniku seperti dulu.
***
Kemarin sore, aku duduk di teras rumah. Udara terasa berat, seperti hujan yang hampir turun tapi enggan tiba. Pikiran tentang nenek tidak pernah benar-benar jauh dariku sejak pemakamannya beberapa bulan lalu. Setiap sore, aku selalu mengingat waktu-waktu bersamanya.
"Nenekmu itu perempuan yang kuat. Dia membesarkan kita sendirian setelah kakekmu meninggal," ucap Ibu suatu sore. Aku mendengarnya dengan setengah hati, pikiranku terjebak di pasar kue.
Aku ingat betapa nenek selalu memastikan aku merasa istimewa, dengan membawa aku ke pasar kue setiap Minggu pagi. Itu bukan hanya sekadar ritual belanja, itu adalah waktu kami, waktu untuk berbagi cerita, tawa, dan terkadang nasihat-nasihat kecil yang baru sekarang aku sadari nilainya.
"Kenapa kamu sering melamun belakangan ini?" tanya Ibu yang tiba-tiba muncul di sebelahku.
Aku menoleh, kemudian menunduk. "Aku rindu Nenek, Bu. Aku bahkan merindukan pasar kue itu, tempat kami biasa pergi bersama."
Ibu tersenyum lembut. "Pasar kue itu selalu menjadi tempat kesukaan nenekmu. Mungkin karena di sana, dia merasa hidup dengan segala kehangatan dan kesederhanaan. Kamu bisa pergi ke sana lagi, untuk mengenangnya."
Aku mengangguk, meskipun tahu tidak akan pernah sama tanpa nenek.
***
Seminggu sebelumnya, di hari yang panas itu, aku menemukan sebuah kotak kayu kecil di bawah tempat tidur nenek. Kotak itu terbungkus kain batik lusuh, terlihat sudah sangat tua. Dengan rasa penasaran, aku membuka kotak tersebut. Di dalamnya terdapat beberapa benda yang sangat familiar---sebuah sisir kayu, cermin kecil, dan... foto.