Aku tertawa sambil menulis balasan, "Ah, Bu Yani, kalau aku yang jadi menteri, mungkin sekolah anak-anak bakal libur tiap Jumat biar bisa bantu ibu di rumah!"
Para ibu langsung merespons dengan emotikon ketawa. Senangnya bisa berbagi keluh-kesah sambil sesekali melucu. Sehari-hari memang begini, obrolan politik dibalut canda, meski sedikit-sedikit kami berharap semoga keputusan-keputusan besar di sana bisa berdampak ke dapur kita juga.
Hari itu, prediksiku berkembang. Di layar, reporter berita mengabarkan kemungkinan susunan baru di kementerian, dan aku langsung mengetik, "Eh, itu kayaknya si Pak Damar bakal ditunjuk jadi Menteri Pemberdayaan Desa. Siapa tahu bisa bantu fasilitas ibu-ibu perdesaan biar nggak ribet urusan kesehatan!"
Ibu-ibu merespons riuh.Â
_"Hihi, Bu Laila, calon menteri kita, nih."_Â
_"Iya, Bu Laila harus sering update, siapa tahu beneran, kita ikut senang kan."_
Sore itu, di taman komplek
Setelah berjam-jam bercengkerama di grup, aku dan beberapa ibu sepakat bertemu di taman komplek untuk ngobrol langsung. Ada Bu Wati, Bu Diah, Bu Yani, semuanya membawa anak-anak kecil yang lari-larian di sekitar.
"Jadi, Bu Laila, serius nih, menurut kamu siapa Menteri Pendidikan yang cocok buat bikin kurikulum lebih sederhana? Anak saya udah mulai keluh soal PR aja tiap hari!" kata Bu Diah.
Aku nyengir, "Kalau aku sih maunya menteri yang nggak suka bikin ribet, Bu. Anak-anak kasihan belajar banyak, tapi hasilnya apa ya? Lupa semua! Yang penting ilmunya bisa buat mereka mandiri dan kritis."
Bu Yani menimpali, "Betul tuh! Itu juga soal kesehatan, kita ini kan cuma minta fasilitas rumah sakit yang layak buat ibu dan anak. Masa tiap mau imunisasi anak kudu antri panjang, belum lagi obat mahal, ih! Kalau Bu Laila yang ngatur, bisa kali ya lebih ramah kantong kita?"