Aku tertawa, "Kalau aku yang ngatur mah, ibu-ibu bisa konsultasi kesehatan langsung dari rumah, gratis! Mau nggak?"
Mereka ngakak. Memang, kami ini cuma ibu rumah tangga, tapi siapa bilang suara kami nggak punya arti? Meski seringkali komentar kami cuma berupa lelucon, ada juga sisi seriusnya. Entah kenapa, aku merasa banyak ibu-ibu di sekitar sini sebenarnya punya ide brilian untuk membuat hidup lebih baik, lebih nyaman, dan sederhana.
Dua minggu kemudian
Pagi itu aku sedang menyuapi Bima ketika notifikasi dari grup WhatsApp muncul lagi. Mata langsung terbelalak baca pesan dari Bu Tati, seorang ibu di komplek yang ternyata punya saudara kerja di salah satu instansi pemerintah.
_"Bu Laila, tahu nggak, tebakan manggis kamu soal kabinet kemarin beneran lho! Bener-bener, itu si Prof. Tono jadi Menteri Kesehatan!"_
Aku sampai terbatuk menahan tawa. Rasanya lucu juga. Dari obrolan sambil nyuapin bayi, kok bisa nyaris tepat prediksinya?
Ibu-ibu di grup ramai mengucapkan selamat. "Bu Laila, jagoan nih tebakannya. Kok bisa sih?"
Dengan iseng, aku membalas, "Wah, feeling aja kali, Bu. Atau mungkin Ibu Laila ini memang berbakat jadi peramal politik."
Komentarku disambut canda tawa ibu-ibu, mereka mulai memanggilku "Bu Menteri." Aku senyum-senyum sendiri, merasa sedikit bangga.
Tapi tiba-tiba ada pesan dari Bu Wati, yang paling tua di antara kami. Dia bilang, "Bu Laila, kalau benar feeling ibu kayak begitu, coba tebak, siapa yang bisa bener-bener ngerti keperluan kita-kita ini? Sapa yang cocok buat urusin pendidikan anak-anak kita biar nggak ribet kayak sekarang?"
Aku terdiam sejenak. Kalau dipikir-pikir, obrolan kami ini bukan cuma soal tebak-tebakan kabinet. Ada harapan besar ibu-ibu seperti kami untuk masa depan yang lebih baik, untuk anak-anak kami yang belajar dari layar buku hingga layar tablet, untuk kesehatan yang bisa dijangkau tanpa harus jual kalung.