Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tebakan Buah Manggis Ibu Rumah Tangga

16 Oktober 2024   16:55 Diperbarui: 16 Oktober 2024   16:58 122
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sudah pukul tujuh pagi, dan seperti biasa, aku berusaha multitasking---nyuapin Nisa yang masih kelas satu SD sambil mengayun-ayun si Bima di stroller. Pagi itu, layar TV menampilkan berita soal reshuffle kabinet, yang buatku lebih menarik ketimbang sinetron pagi. 

"Eh, itu Menteri Pendidikan bakal diganti lagi, lho, Nis. Gimana tuh nasib buku pelajaran kamu?" tanyaku sambil mengarahkan sendok berisi nasi ke mulutnya.

Nisa hanya melirik sekilas, lalu lanjut melahap nasi sambil asik dengan pensil warna-warni di depannya. Ya sudah, kayaknya Nisa lebih tertarik sama gambar unicorn-nya daripada prediksiku soal menteri.

Baca juga: Resume Kosong

Di grup WhatsApp komplek, sudah ramai percakapan para ibu-ibu. Aku mengetik cepat, tanpa melepas pandangan dari layar TV.

_"Ibu-ibu, aku feeling nih, yang jadi Menteri Kesehatan nanti bisa jadi si Prof. Tono dari UI. Kayaknya lebih cocok, soalnya dia perhatian banget sama kesehatan ibu dan anak."_

Pesanku langsung disambut komentar-komentar lucu.

_"Wih, Bu Laila, kapan masuk dunia politik nih?"_

_"Aduh, Bu Menteri prediksi siapa lagi nih yang mau diganti?"_

Aku nyengir sendiri. Mereka mungkin pikiranku ini cuma "tebakan buah manggis." Aku paling senang, kalau sedang menonton berita, iseng nebak-nebak siapa yang bakal jadi pejabat baru. Sebenarnya aku punya sedikit 'bocoran' dari adik sepupu suamiku, yang kerja di salah satu kementerian. Tapi cuma sedikit sih, kebanyakan aku memang suka tebak-tebakan ala "manggis" ini.  

TING!

Pesan baru masuk dari Bu Yani. Katanya, "Laila, coba deh kamu yang jadi menteri, kan lebih tahu apa yang ibu-ibu butuhkan! Haha."

Aku tertawa sambil menulis balasan, "Ah, Bu Yani, kalau aku yang jadi menteri, mungkin sekolah anak-anak bakal libur tiap Jumat biar bisa bantu ibu di rumah!"

Para ibu langsung merespons dengan emotikon ketawa. Senangnya bisa berbagi keluh-kesah sambil sesekali melucu. Sehari-hari memang begini, obrolan politik dibalut canda, meski sedikit-sedikit kami berharap semoga keputusan-keputusan besar di sana bisa berdampak ke dapur kita juga.

Hari itu, prediksiku berkembang. Di layar, reporter berita mengabarkan kemungkinan susunan baru di kementerian, dan aku langsung mengetik, "Eh, itu kayaknya si Pak Damar bakal ditunjuk jadi Menteri Pemberdayaan Desa. Siapa tahu bisa bantu fasilitas ibu-ibu perdesaan biar nggak ribet urusan kesehatan!"

Ibu-ibu merespons riuh. 

_"Hihi, Bu Laila, calon menteri kita, nih."_ 

_"Iya, Bu Laila harus sering update, siapa tahu beneran, kita ikut senang kan."_

Sore itu, di taman komplek

Setelah berjam-jam bercengkerama di grup, aku dan beberapa ibu sepakat bertemu di taman komplek untuk ngobrol langsung. Ada Bu Wati, Bu Diah, Bu Yani, semuanya membawa anak-anak kecil yang lari-larian di sekitar.

"Jadi, Bu Laila, serius nih, menurut kamu siapa Menteri Pendidikan yang cocok buat bikin kurikulum lebih sederhana? Anak saya udah mulai keluh soal PR aja tiap hari!" kata Bu Diah.

Aku nyengir, "Kalau aku sih maunya menteri yang nggak suka bikin ribet, Bu. Anak-anak kasihan belajar banyak, tapi hasilnya apa ya? Lupa semua! Yang penting ilmunya bisa buat mereka mandiri dan kritis."

Bu Yani menimpali, "Betul tuh! Itu juga soal kesehatan, kita ini kan cuma minta fasilitas rumah sakit yang layak buat ibu dan anak. Masa tiap mau imunisasi anak kudu antri panjang, belum lagi obat mahal, ih! Kalau Bu Laila yang ngatur, bisa kali ya lebih ramah kantong kita?"

Aku tertawa, "Kalau aku yang ngatur mah, ibu-ibu bisa konsultasi kesehatan langsung dari rumah, gratis! Mau nggak?"

Mereka ngakak. Memang, kami ini cuma ibu rumah tangga, tapi siapa bilang suara kami nggak punya arti? Meski seringkali komentar kami cuma berupa lelucon, ada juga sisi seriusnya. Entah kenapa, aku merasa banyak ibu-ibu di sekitar sini sebenarnya punya ide brilian untuk membuat hidup lebih baik, lebih nyaman, dan sederhana.

Dua minggu kemudian

Pagi itu aku sedang menyuapi Bima ketika notifikasi dari grup WhatsApp muncul lagi. Mata langsung terbelalak baca pesan dari Bu Tati, seorang ibu di komplek yang ternyata punya saudara kerja di salah satu instansi pemerintah.

_"Bu Laila, tahu nggak, tebakan manggis kamu soal kabinet kemarin beneran lho! Bener-bener, itu si Prof. Tono jadi Menteri Kesehatan!"_

Aku sampai terbatuk menahan tawa. Rasanya lucu juga. Dari obrolan sambil nyuapin bayi, kok bisa nyaris tepat prediksinya?

Ibu-ibu di grup ramai mengucapkan selamat. "Bu Laila, jagoan nih tebakannya. Kok bisa sih?"

Dengan iseng, aku membalas, "Wah, feeling aja kali, Bu. Atau mungkin Ibu Laila ini memang berbakat jadi peramal politik."

Komentarku disambut canda tawa ibu-ibu, mereka mulai memanggilku "Bu Menteri." Aku senyum-senyum sendiri, merasa sedikit bangga.

Tapi tiba-tiba ada pesan dari Bu Wati, yang paling tua di antara kami. Dia bilang, "Bu Laila, kalau benar feeling ibu kayak begitu, coba tebak, siapa yang bisa bener-bener ngerti keperluan kita-kita ini? Sapa yang cocok buat urusin pendidikan anak-anak kita biar nggak ribet kayak sekarang?"

Aku terdiam sejenak. Kalau dipikir-pikir, obrolan kami ini bukan cuma soal tebak-tebakan kabinet. Ada harapan besar ibu-ibu seperti kami untuk masa depan yang lebih baik, untuk anak-anak kami yang belajar dari layar buku hingga layar tablet, untuk kesehatan yang bisa dijangkau tanpa harus jual kalung.

Aku membalas, "Mungkin yang cocok jadi pemimpin itu ya yang bisa mikir kayak kita, Bu. Yang ngerti bahwa yang kita mau itu sederhana, nggak muluk-muluk. Cukup bikin hidup kita sedikit lebih mudah."

Di akhir obrolan, Bu Wati menulis, "Iya, Bu Laila, siapa tahu nanti ibu beneran dipilih jadi menteri. Kita doain aja."

Aku tertawa sambil membalas pesan itu, "Aamiin, Bu. Tapi, biar gimana pun, Bu Laila tetaplah cuma ibu rumah tangga biasa. Tapi yang penting, walau kita cuma ibu-ibu, suaranya tetap penting."

Di antara candaan mereka yang memanggilku "Bu Menteri" dan harapan-harapan sederhana itu, aku menyadari kalau ternyata kami, ibu-ibu di sini, bukan sekadar menonton atau menebak. Kami ikut berharap, menyuarakan impian sederhana yang mungkin suatu saat bisa didengar. 

Dengan senyum, aku mengetik pesan terakhir di grup, "Ayo, ibu-ibu, kita tetap semangat! Biar kita cuma di rumah, suara kita tetap bisa menggetarkan dapur politik negeri ini."

Dan di situ, Bu Yani langsung menimpali, "Lapor, Bu Menteri!"

Aku hanya tertawa, mengakhiri pagi itu dengan bahagia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun