Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Resume Kosong

9 Oktober 2024   14:59 Diperbarui: 9 Oktober 2024   15:10 39
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Selamat siang, Ibu Dina. Saya, Arka, pelamar posisi Analyst yang sudah mengirimkan CV beberapa waktu lalu," suara di ujung telepon terasa gemetar, sedikit serak, mungkin lelah. Di sudut kamar kosnya yang sempit, Arka duduk bersandar pada dinding dengan tatapan kosong.

Di layar laptop, email berderet tanpa tanda "Accepted" yang ia harapkan. Penuh dengan kata-kata "Kami menghargai minat Anda, tetapi saat ini kami memutuskan untuk melanjutkan dengan kandidat lain."

"Maaf, Mas Arka. Kami sudah menemukan kandidat yang lebih sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan. Terima kasih untuk waktunya," suara wanita di seberang tak mengurangi kekecewaan yang terasa mendesak di tenggorokan Arka.

"Apa yang kurang?" gumamnya. Pertanyaan itu terus bergaung di kepalanya setiap kali pintu peluang tertutup. Tiga tahun menuntut ilmu di universitas ternama, nilai memuaskan, berbagai organisasi, bahkan satu-dua kali menang kompetisi. Resume-nya sempurna, namun entah mengapa tetap tak mampu membukakan pintu impian.

---

Di dalam kamar kosnya, Arka menarik napas panjang, menatap secarik kertas berisi daftar mimpi-mimpi yang mulai terlihat asing. *Pekerjaan tetap*, *apartemen kecil di tengah kota*, *membahagiakan orang tua*. Semua masih tertulis rapi, tanpa tanda dicoret atau centang. Mimpinya terasa semakin menjauh, seperti bayangan yang pudar di tengah kabut.

"Arka, aku dengar kamu ngelamar di tempatku? Kenapa nggak bilang?" pesan dari Raka, teman lama semasa kuliah yang kini bekerja di perusahaan impian Arka, membuat dada Arka semakin sesak.

"Aku nggak mau ngerepotin, Kak," balasnya pendek, tanpa berniat panjang lebar. Ia tahu, dalam diam Raka mungkin mengasihani.

Tak lama, panggilan masuk dari Raka muncul. Arka ragu, namun ia angkat.

"Arka, dengerin ya. Jangan nyerah. Lihat aku, dulu juga rasanya mustahil bisa dapat kerja di sini. Tapi, tetap harus coba, ngerti?"

"Ngerti, Kak. Tapi capek," suaranya terselip nada getir.

"Aku tahu, tapi jangan biarin kegagalan ini jadi tembok. Harus tembus!" Raka mengakhiri panggilannya dengan semangat yang justru membuat Arka merasa semakin kosong.

---

Malam itu, Arka terjaga lebih lama dari biasanya. Dalam hening, ia kembali membuka laptop dan menatap resume-nya. Sebuah dokumen setebal dua halaman, penuh prestasi, pengalaman organisasi, dan sertifikasi. Namun, mendadak semua itu terasa hambar dan kosong.

Ia teringat kata-kata ibunya beberapa bulan lalu, saat ia pertama kali menyampaikan kegagalannya, "Nak, jangan hanya cari kerja, cari sesuatu yang berarti. Pekerjaan itu bukan sekadar apa yang ada di kertas. Mungkin kamu harus mulai dari apa yang kamu suka." Waktu itu, ia hanya mendengus pelan, merasa bahwa kata-kata itu terlalu sederhana untuk dunia yang rumit seperti sekarang.

Namun malam ini, di tengah heningnya kamar kos, kalimat itu menggema di kepalanya. Apa artinya bekerja yang 'berarti'? Apakah mungkin selama ini ia hanya sibuk mengejar bayangan orang lain, tanpa benar-benar menemukan dirinya sendiri?

Tangan Arka mulai mengetik. Resume-nya ia ganti judul: *Resume Kosong*. Lembar itu ia bersihkan dari segala prestasi, posisi organisasi, sertifikasi. Semua hilang, meninggalkan ruang kosong.

Di bagian bawah, ia mulai menulis dengan suara yang entah dari mana munculnya. Jujur dan tanpa filter.

---

Keesokan paginya, Arka bangun dengan rasa sedikit lebih ringan. Ia kembali ke layar laptop dan membaca ulang apa yang telah ia tulis:

> "Nama: Arka Satria.  

> Pendidikan: Lulus dengan ilmu yang masih terus ingin belajar.  

> Pengalaman: Gagal berulang kali namun terus mencari makna.  

> Misi: Menemukan pekerjaan yang bukan hanya memadai secara finansial, tetapi juga penuh makna." 

Ia ragu sejenak, namun tetap menekan tombol "Kirim". Resume baru itu ia kirimkan ke beberapa perusahaan yang menurutnya tak hanya sekadar 'besar,' tapi punya nilai yang selaras dengan apa yang ia tulis tadi malam. Ia tahu risiko itu besar, tapi entah kenapa kali ini ia tak merasa takut.

Dua minggu berlalu tanpa kabar. Arka nyaris menyerah lagi, namun kali ini ia merasa lebih damai. Hingga satu pagi, sebuah panggilan masuk mengguncang dunianya.

"Selamat pagi, ini Arka Satria?" suara wanita muda di seberang terdengar ramah.

"Iya, betul," jawabnya setengah bingung.

"Kami dari The Insight Collective, organisasi nirlaba yang bergerak di bidang pemberdayaan pemuda. Kami tertarik dengan resume Anda yang berbeda. Bisakah Anda datang untuk wawancara?"

Arka menelan ludah, tak percaya. Dengan suara hampir tercekat, ia menjawab, "Tentu. Terima kasih atas kesempatan ini."

---

Dua hari kemudian, Arka duduk di depan seorang wanita bernama Maya, manajer di The Insight Collective. Maya mengamati resume kosong Arka yang berbeda dari pelamar biasanya. Tak ada daftar prestasi, hanya kalimat jujur dan misi hidup.

"Arka, boleh saya tanya, kenapa mengirimkan resume seperti ini?" tanya Maya, menatapnya dengan penuh minat.

Arka menghela napas panjang, mengumpulkan keberanian, "Saya pernah kirim ratusan lamaran, semuanya penuh prestasi, pengalaman, tapi kosong di hati. Saya sadar, mungkin itu bukan yang saya cari. Kali ini, saya ingin jujur, mencari pekerjaan yang benar-benar saya butuhkan, bukan sekadar untuk memenuhi standar orang lain."

Maya tersenyum, ada keteduhan di matanya. "Kami mencari seseorang yang bisa menggerakkan pemuda, bukan hanya orang dengan resume sempurna. Mungkin kamu adalah orang yang kami cari."

Dengan kalimat itu, Arka merasa seperti menemukan jalan yang selama ini ia cari. Kali ini, tak hanya 'kerja' yang ia temukan, tapi sebuah panggilan, sesuatu yang lebih berarti dari sekadar resume penuh prestasi.

---

Di luar ruangan, ia menatap langit Jakarta yang tampak lebih cerah dari biasanya. Untuk pertama kalinya, ia merasakan arti sebuah perjuangan yang sebenarnya. Ia paham, resume-nya memang kosong, tapi kali ini ia tahu bahwa hatinya telah terisi penuh.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun