Aku tidak tahu harus mengatakan apa. Ini pertama kalinya ada seseorang yang benar-benar melihatku. Matanya yang penuh perhatian membuat hatiku terasa sesak. Aku ingin menangis, ingin berteriak, tapi yang keluar dari mulutku hanya satu kalimat.
"Pernahkah kamu melihat aku?"
Dia terdiam sejenak, tampak bingung dengan pertanyaanku. Tapi aku tahu dia mulai menyadari sesuatu. Matanya bergerak, melihat bekas luka di pipiku, lututku yang berdarah, dan wajahku yang penuh kesakitan.
"Bima, kamu baik-baik saja?" suaranya penuh kekhawatiran.
Aku menggeleng. Untuk pertama kalinya, aku jujur. Aku tidak baik-baik saja. Aku telah menahan semua ini terlalu lama, berharap ada yang memperhatikanku, berharap ada yang bertanya, berharap ada yang melihat.
***
Keesokan harinya, di ruang bimbingan konseling, aku duduk berhadapan dengan Bu Retno dan Pak Heru, konselor sekolah. Setelah beberapa detik keheningan yang canggung, aku akhirnya mulai bicara, suaraku bergetar. Aku menceritakan semuanya---tentang bullying, tentang ketakutanku, tentang bagaimana aku merasa diabaikan oleh semua orang, termasuk para guru.
"Semua ini... semuanya sudah berlangsung lama. Setiap hari aku harus menghadapi mereka, Bagas dan teman-temannya. Mereka selalu mengejek, memukul... dan aku tidak pernah bisa melawan."
Bu Retno menatapku dengan mata penuh perhatian. "Mengapa kamu tidak pernah melaporkannya, Bima?"
Aku menghela napas. "Aku takut. Takut mereka akan semakin jahat kalau tahu aku melapor. Lagi pula... siapa yang akan peduli? Setiap kali aku mencoba memberi tahu seseorang, mereka seolah-olah tidak mendengarkan. Tidak ada yang melihatku. Tidak ada yang peduli. Bahkan guru-guru..."
Pak Heru menyela dengan nada lembut, "Apa maksudmu, Bima? Kamu merasa guru-guru tidak memperhatikan?"