Aku hanya terdiam, tubuhku gemetar.
"Hei, lemah! Jawab dong!" Bagas menendang kakiku, membuatku tersungkur ke tanah. "Kenapa diem aja? Nggak ada yang bisa kamu katakan?"
Aku mencoba membuka mulut, tapi suara itu tetap tidak keluar. Suara hatiku berteriak, namun yang keluar hanyalah bisikan, "Tolong..."
"Tolong? Siapa yang mau nolong kamu?" Bagas tertawa sinis, disambut dengan tawa teman-temannya.
---
"Tolong," aku berbisik, hampir tidak terdengar. "Tolong lihat aku."
Tapi tidak ada yang datang.
Hari itu, sesuatu dalam diriku patah. Semua rasa sakit yang kutahan, semua ketakutan yang kupendam, seakan meledak bersamaan. Aku tidak peduli lagi. Aku hanya ingin semuanya berakhir.
Ketika aku akhirnya berdiri, tubuhku gemetar. Aku berlari keluar dari sekolah, melewati gerbang tanpa melihat ke belakang. Aku ingin pergi, jauh dari semua ini. Tapi langkahku terhenti ketika melihat sosok seseorang di depanku.
"Bima!" Itu Bu Retno, guru Bahasa Indonesiaku. Dia menatapku dengan mata terbelalak, melihat ke arah wajahku yang lebam.
"Apa yang terjadi padamu?" tanyanya panik, mendekatiku.