Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pernahkah Kamu Melihat Aku?

4 Oktober 2024   20:36 Diperbarui: 5 Oktober 2024   00:42 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.istockphoto.com/id/foto/anak-sekolah-menangis-di-halaman-sekolah-gm1057913464-282721655

Aku hanya menunduk, tidak tahu harus menjawab apa.

"Kalau kamu tidak bisa menghargai pelajaran ini, lebih baik kamu keluar dari kelas."

Aku tidak bergerak. Pikiranku terasa kacau, tetapi tubuhku mati rasa. Ada begitu banyak yang ingin kukatakan, begitu banyak hal yang ingin kuungkapkan. Tapi kata-kata itu selalu terhenti di tenggorokanku. Rasanya, tidak ada gunanya.

Aku berdiri pelan, mengambil tas, dan berjalan keluar kelas. Setiap langkah terasa berat, tapi lebih baik di luar, di mana aku bisa sendirian, daripada tetap di dalam kelas dan menjadi pusat perhatian yang tidak diinginkan.

Aku berjalan ke taman belakang sekolah, tempat di mana aku biasa bersembunyi dari dunia. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku, dan untuk sesaat, aku merasa sedikit lega. Tapi rasa sakit di dalam dadaku tidak kunjung hilang. Seolah ada sesuatu yang terus menekanku, membuatku sulit bernapas.

Aku duduk di bawah pohon besar, mencoba menghilangkan rasa sakit itu dengan memejamkan mata. Namun, suara tawa itu kembali menggema di kepalaku. Suara tawa yang selalu menghantuiku.

***

Hari itu adalah hari yang tak akan pernah kulupakan. Aku baru saja keluar dari kelas, mencoba menghindari kerumunan di kantin, ketika tiba-tiba aku didorong dengan keras dari belakang. Aku terjatuh, menabrak tembok dengan keras, dan lututku berdarah.

"Hei, lemah! Masih berani datang ke sekolah?" suara itu milik Bagas, salah satu siswa yang selalu membuat hidupku seperti neraka.

Aku menatap Bagas dan teman-temannya yang mengepungku. Hati ini ingin berteriak, ingin melawan, tapi tenggorokanku terasa tercekat. Kata-kata yang ingin kuberikan tidak pernah keluar.

"Apa? Mau bilang sesuatu?" Bagas mengejekku, mendekatkan wajahnya ke arahku. "Ayolah, tunjukkan kalau kamu punya nyali!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun