Aku hanya menunduk, tidak tahu harus menjawab apa.
"Kalau kamu tidak bisa menghargai pelajaran ini, lebih baik kamu keluar dari kelas."
Aku tidak bergerak. Pikiranku terasa kacau, tetapi tubuhku mati rasa. Ada begitu banyak yang ingin kukatakan, begitu banyak hal yang ingin kuungkapkan. Tapi kata-kata itu selalu terhenti di tenggorokanku. Rasanya, tidak ada gunanya.
Aku berdiri pelan, mengambil tas, dan berjalan keluar kelas. Setiap langkah terasa berat, tapi lebih baik di luar, di mana aku bisa sendirian, daripada tetap di dalam kelas dan menjadi pusat perhatian yang tidak diinginkan.
Aku berjalan ke taman belakang sekolah, tempat di mana aku biasa bersembunyi dari dunia. Angin sepoi-sepoi menerpa wajahku, dan untuk sesaat, aku merasa sedikit lega. Tapi rasa sakit di dalam dadaku tidak kunjung hilang. Seolah ada sesuatu yang terus menekanku, membuatku sulit bernapas.
Aku duduk di bawah pohon besar, mencoba menghilangkan rasa sakit itu dengan memejamkan mata. Namun, suara tawa itu kembali menggema di kepalaku. Suara tawa yang selalu menghantuiku.
***
Hari itu adalah hari yang tak akan pernah kulupakan. Aku baru saja keluar dari kelas, mencoba menghindari kerumunan di kantin, ketika tiba-tiba aku didorong dengan keras dari belakang. Aku terjatuh, menabrak tembok dengan keras, dan lututku berdarah.
"Hei, lemah! Masih berani datang ke sekolah?" suara itu milik Bagas, salah satu siswa yang selalu membuat hidupku seperti neraka.
Aku menatap Bagas dan teman-temannya yang mengepungku. Hati ini ingin berteriak, ingin melawan, tapi tenggorokanku terasa tercekat. Kata-kata yang ingin kuberikan tidak pernah keluar.
"Apa? Mau bilang sesuatu?" Bagas mengejekku, mendekatkan wajahnya ke arahku. "Ayolah, tunjukkan kalau kamu punya nyali!"