Mohon tunggu...
Fransisca Dafrosa
Fransisca Dafrosa Mohon Tunggu... Lainnya - Guru

saya orang yang sedang belajar menulis Fiksiana.Humaniora.Lyfe

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Menyibak Selimut Kenangan

4 September 2024   00:01 Diperbarui: 4 September 2024   00:05 100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Kenapa kamu masih duduk di sini, Andi? Paus Fransiskus akan tiba sebentar lagi. Kita harus ke depan," kata Renata sambil menggenggam erat tangannya.

Andi memandangi Renata sejenak, menarik napas panjang, dan akhirnya berkata, "Aku tak tahu, Renata. Aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam harapan ini. Aku takut semuanya hanya akan menjadi acara seremonial tanpa arti."

Renata menatapnya dengan lembut, "Kunjungan ini bukan hanya soal seremonial. Ini tentang harapan. Harapan untuk perdamaian, untuk penyembuhan luka-luka di negeri kita ini. Jangan biarkan keraguan menghancurkan harapan kita."

Baca juga: Cinta Tak Bersama

Andi menunduk, merasakan beban yang tak bisa ia jelaskan. "Aku ingin percaya, Renata. Tapi ketika aku melihat keadaan sekarang... semuanya terasa seperti mimpi yang terlalu jauh dari kenyataan."

Renata mengusap punggung Andi dengan lembut, "Terkadang, mimpi besar dimulai dari langkah kecil. Kunjungan Paus adalah langkah kecil itu. Bukankah kita seharusnya mencoba?"

**

Satu jam sebelumnya, suasana di bandara sudah semakin ramai. Bendera-bendera kecil berkibar di tangan para umat yang menanti dengan penuh semangat. Andi dan Renata berdiri di tengah kerumunan, tapi ekspresi Andi tampak tegang. Ia diam saja ketika orang-orang di sekitarnya bersorak gembira saat melihat helikopter kepausan mendekat.

Renata melihat Andi yang tampak terdiam dan berkata, "Apa yang kamu pikirkan, Andi? Bukankah ini momen yang kita tunggu-tunggu? Mengapa kamu terlihat begitu khawatir?"

Andi menarik napas dalam-dalam. "Aku hanya berpikir, apakah kedatangan Paus benar-benar bisa membawa perubahan yang kita harapkan? Atau ini hanya akan menjadi kenangan manis sementara?"

Renata terdiam sejenak sebelum menjawab, "Kamu benar, Andi. Kita tidak bisa mengandalkan satu kunjungan saja untuk mengubah segalanya. Tapi, kunjungan ini adalah simbol, tanda bahwa dunia peduli pada kita, bahwa harapan masih ada."

Andi tersenyum tipis, tapi hatinya masih berat. Ia tidak bisa menyingkirkan bayangan akan konflik yang masih mengakar di berbagai tempat di Indonesia. Bagi Andi, perdamaian terasa seperti janji kosong yang terus dilanggar.

**

Dua jam sebelumnya, Andi dan Renata sedang dalam perjalanan menuju bandara. Di dalam mobil, Renata tampak antusias, terus berbicara tentang persiapan dan pengamanan yang dilakukan untuk menyambut Paus. Namun, Andi hanya menjawab seadanya, pikirannya melayang jauh.

"Kenapa kamu tidak terlalu bersemangat?" tanya Renata tiba-tiba, memecah keheningan.

Andi terkejut, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Aku hanya... tidak tahu apa yang harus aku harapkan. Apakah kunjungan ini benar-benar akan membuat perbedaan?"

Renata menatap Andi dengan cemas. "Kita harus percaya, Andi. Harapan adalah satu-satunya hal yang bisa kita pegang saat ini. Jangan biarkan rasa pesimis merusaknya."

Andi mengangguk pelan, tapi dalam hatinya, ia masih merasakan keraguan yang dalam.

**

Beberapa hari sebelum kedatangan Paus, Andi menerima kabar dari Renata bahwa mereka akan menjadi bagian dari tim penyambut. Renata sangat senang, tetapi Andi ragu-ragu. Baginya, kunjungan ini hanya akan menjadi acara besar lainnya yang penuh janji-janji manis tanpa perubahan nyata.

"Renata, aku tidak yakin aku ingin terlibat," kata Andi di telepon.

Renata terkejut. "Kenapa, Andi? Ini adalah kesempatan langka! Paus Fransiskus datang ke sini untuk membawa pesan perdamaian. Bukankah itu yang selalu kamu harapkan?"

Andi terdiam, kemudian menjawab, "Mungkin aku sudah terlalu lama berharap, hingga aku lupa bagaimana caranya percaya lagi."

**

Keesokan harinya setelah kunjungan Paus, Renata menemukan Andi di gereja, duduk sendiri di bangku paling belakang. Ia mendekat dan duduk di sampingnya tanpa berkata apa-apa. Setelah beberapa saat, Andi mulai berbicara.

"Kamu tahu, Renata, aku tadi malam merenung. Aku melihat kembali semua yang terjadi selama kunjungan ini. Dan aku menyadari satu hal---aku telah salah selama ini. Kedatangan Paus mungkin tidak mengubah dunia seketika, tapi itu mengubah satu hal penting. Itu mengubah aku."

Renata tersenyum, "Bagaimana bisa?"

Andi menatap ke depan, ke arah altar. "Selama ini aku begitu fokus pada semua hal buruk yang terjadi, sampai aku lupa bahwa perdamaian dimulai dari dalam diri kita sendiri. Aku terus berharap perubahan besar, padahal yang aku butuhkan hanyalah perubahan kecil dalam hatiku."

Renata menggenggam tangan Andi dengan erat, "Dan itu adalah langkah pertama yang paling penting."

**

Ternyata, seluruh percakapan ini terjadi hanya dalam benak Andi. Ia sedang duduk di bangku gereja, merenung setelah kunjungan Paus selesai. Renata, yang selama ini ia ajak bicara, sebenarnya telah meninggal dalam konflik beberapa tahun sebelumnya. Renata adalah simbol dari harapannya yang hilang, dan kini, dengan kunjungan Paus, Andi merasa menemukan kembali bagian dari dirinya yang sudah lama ia kubur. Kunjungan itu memang tidak mengubah dunia, tetapi itu memberi Andi keberanian untuk memulai perubahan dari dalam dirinya sendiri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun