Andi tersenyum tipis, tapi hatinya masih berat. Ia tidak bisa menyingkirkan bayangan akan konflik yang masih mengakar di berbagai tempat di Indonesia. Bagi Andi, perdamaian terasa seperti janji kosong yang terus dilanggar.
**
Dua jam sebelumnya, Andi dan Renata sedang dalam perjalanan menuju bandara. Di dalam mobil, Renata tampak antusias, terus berbicara tentang persiapan dan pengamanan yang dilakukan untuk menyambut Paus. Namun, Andi hanya menjawab seadanya, pikirannya melayang jauh.
"Kenapa kamu tidak terlalu bersemangat?" tanya Renata tiba-tiba, memecah keheningan.
Andi terkejut, tetapi ia berusaha tetap tenang. "Aku hanya... tidak tahu apa yang harus aku harapkan. Apakah kunjungan ini benar-benar akan membuat perbedaan?"
Renata menatap Andi dengan cemas. "Kita harus percaya, Andi. Harapan adalah satu-satunya hal yang bisa kita pegang saat ini. Jangan biarkan rasa pesimis merusaknya."
Andi mengangguk pelan, tapi dalam hatinya, ia masih merasakan keraguan yang dalam.
**
Beberapa hari sebelum kedatangan Paus, Andi menerima kabar dari Renata bahwa mereka akan menjadi bagian dari tim penyambut. Renata sangat senang, tetapi Andi ragu-ragu. Baginya, kunjungan ini hanya akan menjadi acara besar lainnya yang penuh janji-janji manis tanpa perubahan nyata.
"Renata, aku tidak yakin aku ingin terlibat," kata Andi di telepon.
Renata terkejut. "Kenapa, Andi? Ini adalah kesempatan langka! Paus Fransiskus datang ke sini untuk membawa pesan perdamaian. Bukankah itu yang selalu kamu harapkan?"