"Aku lagi lihat-lihat mesin cuci," jawab Nisa santai.
"Oh ya? Sudah punya pilihan?" tanya Arman sembari mengambil secangkir kopi.
"Belum sih, tapi aku condong ke front loading. Lebih hemat air dan detergen, desainnya juga lebih elegan." Nisa tersenyum puas.
Arman merenung sejenak. "Tapi bukankah top loading lebih praktis? Kita bisa menambah cucian saat mesin masih jalan, dan kita nggak perlu ngebungkuk."
Diskusi pagi itu masih berlangsung santai, tapi saat mereka menyadari betapa pentingnya keputusan tersebut, nada percakapan mulai berubah. Tak satu pun dari mereka mau mengalah, dan argumen terus dilontarkan tanpa henti.
Hari ini
"Kita gak bisa berdebat kayak gini terus, Man," ujar Nisa dengan nada frustasi. "Ini cuma mesin cuci! Kenapa jadi ribet banget?"
"Bukan masalah mesinnya, Nisa. Ini tentang apa yang kita inginkan dan gimana kita harus kompromi dalam setiap keputusan," Arman mencoba menjelaskan.
"Tapi aku merasa, sejak awal kita selalu mengikuti keinginanmu," Nisa melontarkan keluhannya. "Dari memilih tempat tinggal sampai warna cat dinding, semuanya sesuai kemauan kamu."
Arman terdiam. Apa yang dikatakan Nisa ada benarnya. Sejak awal, ia memang cenderung memaksakan pendapatnya. Namun, dalam hatinya, ia tidak bermaksud buruk. Ia hanya ingin memberikan yang terbaik menurut pandangannya.
"Mungkin kamu benar," akhirnya Arman mengakui. "Mungkin aku memang terlalu memaksakan kehendakku. Tapi aku melakukan ini karena aku peduli sama kamu, sama kita."