Di sebuah apartemen kecil di sudut kota, Arman dan Nisa, sepasang pengantin baru, sedang terlibat dalam diskusi yang tampaknya sepele namun semakin memanas. Mereka baru saja pindah ke rumah baru mereka, dan di antara barang-barang yang harus dibeli, mesin cuci adalah salah satu yang paling mendesak. Namun, siapa sangka memilih mesin cuci bisa menjadi topik yang sangat krusial?
"Front loading itu lebih hemat air dan lebih modern, Arman," kata Nisa sambil menunjukkan brosur mesin cuci di tangannya. "Lagi pula, mesinnya tidak membuat pakaian cepat rusak."
"Tapi top loading lebih praktis," balas Arman. "Kita bisa menambah pakaian kapan saja kalau ada yang ketinggalan, dan tidak perlu membungkuk untuk memasukkan atau mengeluarkan cucian."
Nisa mengerutkan alisnya. "Tapi bukankah kita harus berpikir panjang ke depan? Front loading itu lebih efisien dalam jangka panjang. Lagipula, sekarang ini banyak yang beralih ke front loading."
"Aku tetap merasa top loading lebih cocok buat kita," jawab Arman dengan nada keras kepala. "Kita tidak perlu mengikuti tren, yang penting nyaman."
Perdebatan ini berlanjut selama beberapa menit. Mereka saling mengeluarkan argumen, dan tidak ada tanda-tanda salah satu dari mereka akan mengalah.
Dua hari sebelumnya
Nisa dan Arman baru saja pulang dari bulan madu mereka di Bali. Segalanya terasa begitu sempurna. Matahari terbenam di pantai, makan malam romantis di tepi laut, dan janji-janji manis yang mereka ucapkan kepada satu sama lain. Di hari-hari itu, hidup terasa begitu indah dan tanpa beban. Namun, begitu mereka kembali ke kehidupan sehari-hari, kenyataan mulai menyapa.
Pagi itu, Nisa sedang membuka-buka katalog elektronik di dapur ketika Arman keluar dari kamar dengan setelan kantor yang rapi. "Kamu mau sarapan?" tanya Nisa tanpa mengangkat pandangan dari katalog.
"Aku sudah makan tadi di perjalanan. By the way, apa yang kamu lihat?" Arman menghampiri Nisa dan melihat ke layar laptop di depannya.