Ketika dituding melakukan penistaan agama oleh lawan politiknya, Ahok membantah. Tudingan ini berhubungan dengan pernyataan Ahok yang mengutip Al Quran Surat Al Maidah Ayat 51.
"Saya tidak mengatakan menghina Al Quran. Saya tidak mengatakan Al Quran bodoh. Saya katakan kepada masyarakat di Pulau Seribu kalau kalian dibodohi oleh orang-orang rasis, pengecut, menggunakan ayat suci itu untuk tidak milih saya, ya silakan enggak usah pilih," kata Ahok kepada wartawan di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (7/10/2016).
Sampai di sini, warga melihat sikap Ahok masih orisinil. Berbicara tandas. Bersikap tegas. Pantang mundur. Tak ada rona kekhawatiran di wajahnya. Dia sangat yakin tidak bersalah.
Namun, tiga hari berselang, Ahok minta maaf. Banyak yang tercengang, nyaris tidak percaya. Ini sungguh di luar dugaan. Ahok yang acap “berkacamata kuda”, “membuldozer” siapa saja, tanpa kompromi, tanpa takut, sekarang menyatakan minta maaf?
Bagi banyak warga Jakarta, berita besarnya justru permintaan maaf Ahok ini, bukan penistaan Al Maidah. Siapa gerangan pembisik yang sangat berjasa menjungkirbalik sikap sang gubernur, dari yang semula tak mau mengalah, sekarang malah mohon maaf secara terbuka? Si pembisik pastilah bukan orang biasa.
“Saya sampaikan kepada semua umat Islam atau kepada yang merasa tersinggung, saya sampaikan mohon maaf. Tidak ada maksud saya melecehkan agama Islam atau apa,” kata Ahok di Balai Kota DKI Jakarta, Senin (10/10/2016).
Bagi anggota masyarakat Jakarta, perubahan sikap Ahok ini mengherankan sekaligus mengharukan. Si “temperamental” yang tak kenal gentar ini ternyata tidak sungkan mengakui kesalahan.
Kesan bahwa Ahok jemawa perlahan mulai sirna. Di balik tampilannya yang garang dan suka menantang, dia adalah orang lembut. Sebab, hanya orang lembut yang siap mengaku bersalah, sekaligus minta maaf di muka semesta.
Harap dicatat, permintaan maaf itu disampaikan di depan media massa nasional, cetak dan elektronik, dan pasti direkam yutub. Tentu saja dibaca dan dipirsa rakyat seluruh Indonesia, sekaligus disaksikan warga seantero dunia. Hanya dengan kebesaran hati tinggi, permintaan maaf seperti ini bisa terjadi. Dan, ini mengundang simpati.
Kemudian, meletus unjuk rasa. Meski Ahok sudah minta maaf, pengunjuk rasa tetap meminta polisi melanjutkan kasus hukumnya. Salah satu tokoh agama yang ikut demo meminta Ahok dihukum mati lantaran menista agama.
Demonstran yang berjumlah ribuan memadati jalan protokol kemudian berlanjut ke Gedung Balai Kota DKI, Jl. Kebonsirih, Jakarta Pusat. Tanaman di taman depan Balai Kota mati terinjak-injak.
Ahok dengan lihai menyorot kerusakan itu. Seolah dia ingin katakan, “inilah akibat unjuk rasa. Fasilitas publik rusak. Pemda rugi. Rakyat juga rugi.” Dia alihkan persoalan ke tanaman mati di dalam fasilitas umum. Esoknya Wagub Djarot bersama relawan memperbaiki taman. Tindakan kecil ini, sekali lagi, mengundang simpati.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj ikut mengingatkan warga muslim. Menurut dia, karena sudah minta maaf, umat harus memaafkan Ahok. “Tuhan saja mau memaafkan, mengapa manusia tidak mau?” katanya.
Pernyataan ini menyejukkan, terutama bagi warga ambang (floating) yang bebas kubu. Kelompok ini kan maunya sejuk, aman, damai, tentram. Kalau perlu gak pake unjuk rasa segala. Sebab, dalam praktiknya, unjuk rasa—di mana pun dan dalam kasus apa pun—suka berubah menjadi unjuk jemawa atau unjuk paksa atau unjuk murka atau unjuk siksa, atau bahkan semuanya.
Apakah demo itu mengakibatkan pendukung Ahok lari ke lain hati? Kalau dia belum minta maaf, mungkin berdampak besar menggeser fans Ahok ke kubu lawan. Tapi, sekarang kan Ahok sudah minta maaf. Fansnya pasti memberi maaf seluas-luasnya. Jadi, rasanya mereka tetap bergeming.
Selain itu, para pendukung mencintai Ahok bukan karena agama, melainkan kinerja. Mereka berpendapat kinerja sudah prima. Demo terus-terusan hanya menimbulkan kesan “si pendemo arogan, tak mau memaafkan orang”. Mereka tentu merujuk pernyataan Said Aqil Siradj tadi.
Ditambah lagi, Ahok bilang “mereka mau memenjarakan saya agar saya tidak bisa ikut Pilkada” untuk mengomentari demo itu dan rencana unjuk rasa berikutnya pada Jumat (21/10/16).
Sekali lagi Ahok piawai. Unjuk rasa yang mengatasnamakan organisasi massa keagamaan nonpolitik digeser menjadi urusan Pilkada. Bagi fans Ahok, pernyataan ini adalah bahan bakar penyulut dan pengobar fanatisme, sekaligus laksana lem yang merapatkuatkan barisan. Mereka siap melawan siapa pun yang akan melengserkan Ahok dari Pilkada.
Kalau unjuk rasa berlanjut, dan Ahok terus disudutkan dengan mengatasnamakan penistaan agama—padahal dia sudah minta maaf ke seluruh dunia—bukan mustahil warga akan berpendapat bahwa Ahok menjadi orang yang teraniaya. Dampak politiknya cukup besar.
Pastilah kita ingat, Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 menang dalam kontestasi presiden melawan Megawati, salah satu faktor kemenangannya adalah SBY dianggap sebagai orang yang teraniaya.
Menurut pakar, warga Jakarta terbelah jadi empat kubu, yaitu kubu Ahok, kubu Anies, kubu Agus, dan kubu ambang. Pertarungan menang kalah, boleh jadi ditentukan si ambang ini (di dalamnya termasuk golput). Menurut perkiraan, jumlahnya 15%-20% dari total warga pemilik hak pilih.
Jika Ahok terus menerus dianiaya, bukan mustahil warga ambang bersimpati besar kepadanya. Sebaliknya bagi Anies Baswedan dan Agus Harimurti. Pekerjaan mungkin makin berat.
Demo diikuti Habiburrohman, salah satu petinggi Gerindra, pengusung utama Anies, dan Amien Rais, petinggi PAN yang mengusung Agus. Meski Habib dan Amien menyatakan kehadiran mereka atas nama ormas keagamaan, warga ambang tetap mencium aroma politik.
Ditambah lagi Ahok sudah terang-terangan menggeser demo ini ke ranah Pilkada. Bila warga ambang tak bersimpati, Anies dan Agus akan kehilangan potensi suara cukup berarti. Warga ambang yang sudah jatuh hati pada program lapangan kerja Anies, dan sudah terpesona oleh tampilan cool Agus, bisa saja meninggalkan mereka.
Jadi, buat Anies dan Agus selamat memutar otak untuk mencari inovasi baru guna mematri “kebocoran” akibat unjuk rasa ini. Sebagai orang-orang yang dikenal cerdas, keduanya pastilah sudah punya resep untuk itu semua. ****
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H