Ahok dengan lihai menyorot kerusakan itu. Seolah dia ingin katakan, “inilah akibat unjuk rasa. Fasilitas publik rusak. Pemda rugi. Rakyat juga rugi.” Dia alihkan persoalan ke tanaman mati di dalam fasilitas umum. Esoknya Wagub Djarot bersama relawan memperbaiki taman. Tindakan kecil ini, sekali lagi, mengundang simpati.
Ketua Umum PBNU Said Aqil Siradj ikut mengingatkan warga muslim. Menurut dia, karena sudah minta maaf, umat harus memaafkan Ahok. “Tuhan saja mau memaafkan, mengapa manusia tidak mau?” katanya.
Pernyataan ini menyejukkan, terutama bagi warga ambang (floating) yang bebas kubu. Kelompok ini kan maunya sejuk, aman, damai, tentram. Kalau perlu gak pake unjuk rasa segala. Sebab, dalam praktiknya, unjuk rasa—di mana pun dan dalam kasus apa pun—suka berubah menjadi unjuk jemawa atau unjuk paksa atau unjuk murka atau unjuk siksa, atau bahkan semuanya.
Apakah demo itu mengakibatkan pendukung Ahok lari ke lain hati? Kalau dia belum minta maaf, mungkin berdampak besar menggeser fans Ahok ke kubu lawan. Tapi, sekarang kan Ahok sudah minta maaf. Fansnya pasti memberi maaf seluas-luasnya. Jadi, rasanya mereka tetap bergeming.
Selain itu, para pendukung mencintai Ahok bukan karena agama, melainkan kinerja. Mereka berpendapat kinerja sudah prima. Demo terus-terusan hanya menimbulkan kesan “si pendemo arogan, tak mau memaafkan orang”. Mereka tentu merujuk pernyataan Said Aqil Siradj tadi.
Ditambah lagi, Ahok bilang “mereka mau memenjarakan saya agar saya tidak bisa ikut Pilkada” untuk mengomentari demo itu dan rencana unjuk rasa berikutnya pada Jumat (21/10/16).
Sekali lagi Ahok piawai. Unjuk rasa yang mengatasnamakan organisasi massa keagamaan nonpolitik digeser menjadi urusan Pilkada. Bagi fans Ahok, pernyataan ini adalah bahan bakar penyulut dan pengobar fanatisme, sekaligus laksana lem yang merapatkuatkan barisan. Mereka siap melawan siapa pun yang akan melengserkan Ahok dari Pilkada.
Kalau unjuk rasa berlanjut, dan Ahok terus disudutkan dengan mengatasnamakan penistaan agama—padahal dia sudah minta maaf ke seluruh dunia—bukan mustahil warga akan berpendapat bahwa Ahok menjadi orang yang teraniaya. Dampak politiknya cukup besar.
Pastilah kita ingat, Susilo Bambang Yudhoyono tahun 2004 menang dalam kontestasi presiden melawan Megawati, salah satu faktor kemenangannya adalah SBY dianggap sebagai orang yang teraniaya.
Menurut pakar, warga Jakarta terbelah jadi empat kubu, yaitu kubu Ahok, kubu Anies, kubu Agus, dan kubu ambang. Pertarungan menang kalah, boleh jadi ditentukan si ambang ini (di dalamnya termasuk golput). Menurut perkiraan, jumlahnya 15%-20% dari total warga pemilik hak pilih.
Jika Ahok terus menerus dianiaya, bukan mustahil warga ambang bersimpati besar kepadanya. Sebaliknya bagi Anies Baswedan dan Agus Harimurti. Pekerjaan mungkin makin berat.